"Ma, kenapa tadi Mama nggak maksa Mas Pandu buat talak aku, Ma," tanyaku saat aku sudah berada di dalam kamar. Ya, setelah kepergian para benalu dan juga Pak RT, aku dan Mama bergegas masuk ke dalam rumah. Pastinya setelah mengunci pintu rumah. "Kalau talak nanti waktu di pengadilan juga bisa, Vit. Yang terpenting para benalu itu sudah keluar dari rumah ini," ucap Mama. Aku mendengarkan apa yang dikatakan oleh Mama. "Kan memang itu rencana Mama. Biarkan mereka berharap bisa kembali. Padahal sidang pengadilan telah menanti," lanjut Mama lagi. "Iya, sih, Ma. Apa yang Mama katakan memang benar. Selama kepergian Mas Pandu kita bisa melancarkan aksi kita, Ma. Setelah semua aset aman, Vita akan menggugat cerai Mas Pandu," ucapku.Mama mengangguk mendengarkan penuturanku. "Kita akan tinggal di sini sampai semua aset berpindah nama pemiliknya dan kamu sudah menggugat cerai suami kamu. Kapan katanya akan jadi, Vit?" tanya Mama. "Paling lambat katanya sih satu minggu lagi. Kemarin aku tan
Cepat kualihkan pandanganku dari sana– pura-pura tidak melihat keberadaannya lalu aku melangkah masuk ke dalam rumah, namun saat tubuh ini hampir melewati ambang pintu, suara lelaki itu terdengar memanggil namaku. Kuhentikan langkahku lalu memutar tubuh. "Kamu di sini, Mas?" ucapku. Lelaki itu berjalan mendekat ke arahku lalu berdiri di teras rumah– tak jauh dari tempatku berdiri. "Iya. Vit, tolong ambilkan ponselku di dalam dong," pinta Mas Pandu."Tapi di dalam ada Mama, Mas," ucapku. "Ponsel saja, Vit. Aku butuh nomor seseorang.""Untuk?""Aku membutuhkan uang, dan hanya temanku itu lah yang akan meminjamiku. Aku kemarin sudah ke sana, tapi dia nggak di rumah. Sedang di luar kota. Jadi aku harus menghubunginya via telepon. Kamu tahu sendiri kan besok acara pernikahan kami digelar. Dan harus segera dibayar. Kalau tidak mereka akan membatalkannya," ungkap Mas Pandu."Aku bolak-balik ke sini. Tapi selalu ada Mama kamu di depan. Tapi syukurlah kali ini kamu yang menemui. Tolong am
Pov Pandu**Lidya– satu-satunya perempuan di masa lalu yang kembali membuatku jatuh cinta. Setelah sekian lama tak pernah jumpa, akhirnya Tuhan mempertemukan aku dan perempuan di masa laluku. Perempuan yang mambuatku mengenal apa artinya cinta– untuk pertama kalinya. Masih teringat dengan jelas di dalam benakku, saat mau tak mau kita harus berpisah. Sungguh ... hal yang kita mimpikan sama. Membawa hubungan itu ke jenjang pernikahan. Namun harapan hanyalah suatu harapan. Hubungan kami harus kandas begitu saja karena tak ada restu dari orang tua Lidya. Sedih, kecewa melebur menjadi satu.Masih teringat dengan jelas saat-saat kedua orang tua Lidya menolakku. Menolak saat aku mengatakan niatku yang ingin melamar dan mempersunting putrinya. "Kamu lelaki miskin, mau di bawa ke mana masa depan Lidya jika hidup bersamamu?!" Begitulah satu kalimat yang terus terngiang di telingaku. Padahal aku tahu betul latar belakang keluarga Lidya pun tak jauh berbeda denganku– sama-sama dari kalanga
Pov Pandu***Aku, Lidya dan Mama berjalan menuju ke rumah. Mataku menyipit ketika netra ini melihat seorang perempuan bergaun merah tanpa lengan sedang duduk di sofa ruang tamu. Namun aku kembali terhenyak saat tangan Papaku melingkar di atas pundak perempuan itu. Bahkan terlihat dengan jelas pemandangan di depan mata saat mereka saling melempar senyum. Lelaki yang merupakan Papa kandungku itu sesekali menyentuh dagu perempuan itu. "Ndu, siapa perempuan itu?!" pekik Mama saat beliau baru saja melihat ada seorang wanita di dalam sana. "Nggak tau, Ma," lirihku. Kulirik Lidya yang hanya menatap ke arah mereka melalui jendela kaca yang tirainya pum masih terbuka. "Kenapa di larut malam seperti ini ada perempuan?" Kini nada suara Mama terdengar bergetar. Dengan langkah panjang dan cepat, bergegas Mama melangkah masuk. Brak!Pintu yang tak terkunci itu terhempas menabrak tembok saat Mama mendorongnya dengan keras. Kutarik tangan Lidya agar berjalan dengan cepat untuk menghampiri M
"Sudahlah, Ma .... Mungkin Papa sedang khilaf. Mudah-mudahan Papa akan sadar dengan kesalahannya. Mama yang sabar. Pasti Mama akan bisa menerima semuanya. Seperti yang Vita lakukan."Tiba-tiba Mama melepaskan pelukannya lalu menatapku dengan tajam. Apakah ada yang salah dengan perkataanku? Bukankah yang kukatakan itu benar adanya? Vita bisa menerima kehadiran Lidya dalam hitungan hari. Jadi begitu pun dengan Mama. Mama pasti akan bisa bersabar untuk sementara waktu seraya berusaha menyadarkan kembali Papa yang telah berselingkuh. Terasa Lidya menyenggol lenganku. Aku menatapnya, sedangkan Lidya terlihat melotot ke arahku. "Apa sih?! Bukannya benar yang aku katakan? Bahkan dengan terang-terangan aku minta izin nikah sama Vita. Tapi lihatlah Vita bisa nerima kamu. Kan Mama cuma diselingkuhin, bukan berati mau nikah lagi," ucapku menjelaskan apa yang ada di kepalaku. Lagi-lagi Lidya menyenggol lenganku seraya mata yang masih mendelik. "Ma ...," panggilku saat melihat Mama yang sedan
Saat langkahku semakin dekat, kedua orang lelaki yang sedari tadi berdiri di depan rumah itu langsung menoleh ke arahku. "Bapak kenapa ada di rumah saya ya?" tanyaku saat aku sudah berdiri di depan mereka. Kini hanya berjarak satu meter saja. Bukannya menjawab, kedua lelaki itu malah saling berbisik lalu melenggang pergi begitu saja tanpa permisi. Entah kenapa ada yang sedang tidak beres saat ini. Kedua orang itu masuk ke dalam mobil yang terparkir di bahu jalan– tepat di depan rumahku. Ketika mobil itu telah melaju, aku kembali melanjutkan langkahku yang sempat terhenti. "Ma ... kita sarapan, yuk," ucapku saat melewati kamar Mama. Tanpa menunggu jawaban bergegas aku melangkah menuju ruang makan dengan membawa tiga bungkus makanan tersebut. Luletakkan makanan itu di atas meja. Kedua netraku menangkap Lidya yang sedang berdiri seperti sedang membuat sesuatu. Dari aroma yang menguar, aroma kopi menerobos indra penciumanku. Aku berjalan mendekat ke arahnya dengan langkah mengendap
Hanya membutuhkan waku tiga puluh menit untuk sampai di rumah Andi. Namun keningku berkerut dengan alis yang saling bertautan saat melihat ada mobil yang sangat tak asing telah terparkir di halaman rumah itu. "Bukankah itu rumah milik kedua orang yang tadi berdiri di depan rumahku?" lirihku seraya berusaha mengingat kembali. Memastikan kalau aku tak salah tebak. "Ya, itu milik kedua lelaki tadi. Aku tak salah lagi," ucapku lagi. Akhirnya aku memutuskan memarkir motor di halaman lalu melangkah menapak ke lantai teras rumah. Rumah berlantai empat dan dipadupadankan dengan cat berwarna emas ini selalu terlihat sepi. Aku berhenti di balik pintu, lalu tanganku terulur memencet bel yang terpasang di sisi pintu. Aku berdecak kesal saat dua kali memencet bel dengan jeda yang lumayan lama namun tak kunjung ada yang membuka pintu. Kuulangi untuk memanggil penghuni rumah ini. Tak berselang lama terdengar seperti ada seseorang yang membuka pintu dari dalam. Tak berselang lama terlihatlah so
Pov Pandu***Aku duduk di atas motor seraya jemariku memainkan benda pipih itu. Kubuka aplikasi berlogo telepon dan berwarna hijau itu. Tak butuh waktu lama untuk mencari nomor Andi. Lalu kupilih menu panggil.Tersambung.Bergegas kutempelkan benda pipih itu di telinga kananku saat panggilan sudah diangkat olehnya."Halo, Bos. Ada apa?" tanya Andi dari seberang sana. "Kamu di mana?" tanyaku. "Di rumah. Ada apa?""Oh, baguslah kalau kamu udah pulang. Aku ke rumah kamu sekarang ya. Ada urusan penting yang ingin kubicarakan sama kamu," ucapku kemudian. "Pasti soal duit kan?" Aku tergelak saat mendengar tebakan yang dilontarkan oleh Andi. "Yaudah. Ke sini lah," perintah Andi. "Ok. Aku meluncur ke sana sekarang ya."Panggilan kumatikan. Bergegas kunyalakan motor maticku lalu kukendarai menuju rumah Andi. ****"Sebanyak itu, Ndu? Lah, yang dua puluh juta saja belum kamu kembalikan, malah sekarang kamu pinjam sebanyak itu," ucap Andi setelah kujelaskan apa tujuanku datang padanya.