Pintu mobil ditutup dengan kencang. Sedetik kemudian sosok lelaki itu memutar tubuh lalu berjala mendekati rumah. Jantungku berdetak lebih kencang saat melihat rahang wajah itu menegang dengan kedua telapak tangannya terkepal dengan kuat. Melihat raut wajah itu membuatku yakin adanya ketidak beresan yang terjadi. Mungkinkah Lidya menceritakan semuanya papa kedua orangtuanya?Terlihat dengan jelas wajah itu seperti sedang menahan amarah yang luar biasa dan ingin segera diledakkan. Cepat aku memutar tubuh dan berjalan dengan langkah panjang dan cepat. "Mau ke mana kau b*jingan?!" Tiba-tiba suara Papa Lidya terdengar. Suara yang mampu membuat jantung ini seperti ingin melompat dari tempatnya. Suara berat itu dengan terpaksa membuatku menghentikan langkahku. Aku berhenti, kuraup udara sebanyak-banyaknya, berharap mampu menormalkan kembali degup jantung yang kian tak beraturan ini. Aku memutar tubuh, berusaha menampilkan wajah setenang mungkin lalu melempar senyum ke arahnya. Harapa
Pov Vita***"Ma, aku ambil susunya Daffa dulu ya," ucapku berpamitan pada Mama yang sedang menimang Daffa– cucunya di sofa yang ada di ruang keluarga."Iya. Kasihan kalau cucu Oma kehausan," ucap Mama tanpa menoleh ke arahku. Bergegas aku bangkit dari tempat dudukku lalu berjalan menuju ke kamar untuk mengambil susu Daffa yang baru kubuat beberapa menit yang lalu. Aku terus melangkah hingga akhirnya aku berhenti di depan pintu. Kuraih gagang pintu lalu perlahan kudorong daun pintu. Kedua mataku membelalak sempurna saat mendapati sosok lelaki yang beberapa hari ini tak terlihat sedang ada di kamar, lelaki itu sedang mengutak-atik laptop yang masih menyala. Mungkin karena menyadari kedatangan seseorang, membuat lelaki itu menoleh ke arahku. "Kamu ngapain di sini, Mas?!" pekikku tak bisa menyembunyikan rasa gugup."Emang apa salahnya aku di sini? Bukannya ini juga kamarku?" ucapnya dengan enteng. Seketika aku menoleh ke arah laptop yang masih menyela itu.Ada rasa khawatir jika Mas
Pov VitaAku terkejut saat Mama sudah ada di depanku. Bukan keberadaan Mama, tapi ada belasan orang yang berdiri di belakang Mama. Mereka adalah tetangga di sekitar rumahku. Bahkan, mereka masing-masing membawa alat-alat dapur. Pun juga Mama, ia membawa gebukan kasur yang terbuat dari rotan. Cepat aku berjalan menghampiri Mama dengan perasaan lega. Meskipun ada timbul pertanyaan di mana Daffa berada. Setelah terjadi perdebatan, akhirnya Mas Pandu lari terbirit-birit. Mungkin ia takut dihajar oleh kami yang anggotanya banyak sekali. "Kita ke dalam, Bu Ibu," ucapku setelah melihat Mas Pandu keluar halaman."Bentar dong. Masih ada kejutan nih," celetuk salah satu seseibu. Tak berselang lama Bu Wina berjalan menghampiri Mas Pandu yang sepertinya masih berada di depan gerbang. Entah apa yang ia ucapkan. Namun seketika aku menyadari saat mereka tertawa. Menertawakan Mas Pandu yang memanjat ke atas pohon.Aku dibuat melongo saat aku tahu ternyata mereka telah menyembunyikan kunci motor mi
Lelaki dengan jas hitam dan celana berwarna senada turun dari mobil. Terlihat ia melangkah lalu tersenyum ke arah kami. "Selamat pagi, Bu Vita," ucap Pak Romli– pembeli rumahku seraya menjabat tanganku. "Selamat pagi, Pak. Perkenalkan ini Mama saya," ucapku memperkenalkan Mama yang masih berdiri di sampingku seraya menggendong Daffa. Mama dan Pak Romli saling mengangguk lalu berjabat tangan. "Mari masuk, Pak," ucapku yang dibalas anggukan oleh Pak Romli. "Begini Bu Vita ... sebelumnya saya mohon maaf. Maaf sebanyak-banyaknya ... ternyata istri saya sudah tidak sabar untuk segera pindah ke rumah ini," ucap Pak Romli dengan memasang raut wajah tidak enak. "Nggak apa-apa, Pak. Kebetulan juga saya akan berpindah dari rumah ini secepat mungkin. Paling lambat kami akan keluar dari rumah ini besok," ucapku. "Baik, Bu Vita. Sebelumnya saya mohon maaf sekali lagi. Untuk pembayarannya sudah saya transfer ke rekening Bu Vita," ucap Pak Romli seraya menyerahkan bukti transfer reski dari ba
Selang belasan menit kemudian, terdengar suara deru mobil memasuki halaman. Aku melihat ke arah luar melalui jendela kaca, terlihat mobil milik Papa mertua memasuki halaman rumah. Tak berselang lama mobil itu berhenti lalu sedetik kemudian siara deru mobil tak terdengar lagi. Brak!Pintu mobil itu ditutup dengan kuat. Beberapa saat setelah pintu ditutup terlihat Papa berjalan dengan langkah tergesa-gesa. Cepat aku bangkit dari tempat dudukku lalu melangkah ke luar. "Vit, ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi dengan kalian? Apa Pandu berulah lagi?" Papa memberondongku dengan beberapa pertanyaan. Ya, aku memang belum mengatakan pada Papa soal kedatangan papanya Lidya. Aku hanya mengatakan kalau ada sesuatu yang penting dan kuminta Papa mertua untuk lekas sampai datang ke sini. Aku menghubungi Papa, berharap agar papanya Lidya bisa bertemu langsung dengan Papa mertua. Pikirku jangan sampai papanya Lidya berbuat nekat pada Mas Pandu. Aku hanya kasihan, itu saja. "Nggak, Pa. Vita da
Di sepanjang perjalanan aku hanya menatap ke arah depan. Jalanan terasa begitu lengang. Sesekali aku hanya menoleh ke arah luar melalui kaca jendela sebelah samping hanya untuk menghindari tatapan Mama. Tak ingin beliau melihat mataku yang berkaca-kaca. Bukan karena aku akan kehilangan Mas Pandu.Bukan!Tapi aku hanya merasa bersalah pada kedua orang tuaku. Seharusnya di usiaku yang sudah kepala tiga, aku sudah tidak menjadi beban untuknya. Namun nyatanya, semua yang terjadi tak sesuai dengan apa yang aku inginkan. Padahal sewaktu aku masih mengandung, aku pernah membayangkan pergi ke rumah Mama bersama Mas Pandu dan anakku. Namun kini aku benar-benar datang ke sana. Bersama Daffa. Namun tanpa kehadiran Mas Pandu. Bahkan aku pulang membawa status baru.Aku menoleh ke arah Mama, kedua netra itu terpejam. Wajah yang masih menyisakan kecantikan sewaktu muda itu kini sudah mulai dipenuhi dengan keriput halus. Membuat rasa sesak itu menyeruak. Lagi-lagi aku merasa bersalah, merasa malu
Pov Pandu***Aku benar-benar tak menyangka jika aku dalam keadaan seperti ini. Tak pernah sedikitpun ada di pikiranku jika Vita benar-benar akan meninggalkanku. Kupikir perempuan itu benar-benar cinta padaku, kupikir dia benar-benar rela dimadu. Namun ternyata semua tak seperti dugaanku. Apalagi Lidya juga meninggalkanku. Aku yakin, ia saat ini ada di rumah kedua orangtuanya. Namun aku tak cukup punya nyali untuk pergi ke sana. Ponsel yang ada di atas nakas berdering, ada panggilan masuk. Ya, sudah dua hari aku pulang dari rumah sakit. Setiap hari pekerjaanku hanyalah berdiam diri di kamar. Memulihkan kondisi badan yang terasa begitu remuk redam. Kuraih ponsel yang sedari kemarin tergeletak di sana. Nama Andi terpampang sebagai pemanggilnya. Kuhembuskan napas berat lalu kuusap layar pipih itu ke atas, sedetik kemudian kudekatkan benda pipih itu ke telingaku sebelah kanan. "Hm ...," ucapku begitu panggilan itu sudah kuangkat. "Kamu di mana?" tanya Andi dari seberang sana. "D
"Halo, selamat siang," sapa seseorang dari seberang sana setelah mengangkat panggilanku setelah beberapa kali berdering. "Halo, selamat siang juga, Mbak," jawabku. "Ada yang bisa dibantu Pak Pandu?" ucap penata rias yang sempat disewa jasanya oleh Lidya."Mbak, saya mau minta sisa uang pembayaran kemarin. Kan acara batal, jadi uang bisa kembali dong," ucapku. Ya, aku ingat betul kesepakatan yang diucapkan oleh perias itu saat Lidya menanyakan soal pembayarannya. Perisa itu meminta uang full dibayar dimuka. Andai kata ada pembatalan, uang bisa kembali separoh."Baik, Pak. Bisa. Sesuai kesepakatan, uang akan kembali setengah dari harga kesepakatan," ucapnya. "Nggak bisa kembali semuanya, Mbak? Kan bukan saya yang membatalkan," ucapku berusaha menego. Barangkali uang itu bisa kembali sepenuhnya."Maaf, Pak. Semua kembali ke sepakatan awal," ucapnya kekeh dengan pendirian. Kuhembuskan napas berat. "Oke. Saya ke sana sekarang." "Baik, Pak. Saya tunggu," jawabnya. Tanpa berbasa-bas