Wajahnya masih menunjukkan lengkungan senyum. Sedangkan aku menangkup pipiku yang tak kunjung terlepas dari hangat yang mendera. Kemudian menggosokkan telapak tangan, pura-pura kedinginan.Sambil menatapku sejenak, dia mengangkat dua contoh kain sambil berucap, "Lihat ini, kamu suka yang mana?"Aku mencondongkan tubuh mendekat, menajamkan pandangan untuk menilik yang dimaksud. Potongan kain dengan motif batik yang sama, hanya berbeda dominan warna berbeda, oranye dan hijau."Semuanya cantik dan bagus. Tetapi ... kalau secara pribadi, saya suka orange karena itu warna favorit yang melambangkan semangat. Makanya saya suka tim Belanda," celetukku setelah memberi penilaian."Kamu suka sepak bola?" tanyanya, sambil mengambil cangkir teh setelah meletakkan contoh kain tadi.Aku mengerjapkan mata, tersadar apa yang terucap tidak tepat. Bukankah aneh, seorang pembantu dari kampung, tetapi suka sepak bola luar negeri. Begitulah aku, kalau melihat warna oranye menjadi begitu semangat, sampai l
Walaupun tanpa ucap, aku tahu Den Langit kesal. Kutatap punggung yang menjauh dengan langkah tergesa, meninggalkan diriku bersama menguatnya rasa sesal. Kenapa saat ini omelan dan marahnya aku rindukan? Inginku, dia memaksaku untuk tinggal. Ini lebih baik daripada diam, seperti rasa yang diabaikan. Hati ini tidak rela kalau perhatiannya begitu saja tanggal.Segera aku tepis rengekan kata hati yang mencuat. Aku harus kembali menjadi perempuan kuat. Itu artinya, apapun yang terjadi aku harus semangat. "Tik, kamu keluar kerja? Kenapa? Tidak kerasan di sini?" Pertanyaan Bulek Ningsih memberondong saat aku bergabung di meja dapur bersama mereka. "Yu Ningsih, makan dulu," sela Pak Salim sambil menyenggol lengan Bulik. "Setelah itu, kita ngobrol. Wes, Ti. Ayo kita makan. Pecelnya uenak, ada timun dan kemangi kesukaanmu!" Pak Salim menyodorkan piring dan toples berisi rempeyek kacang. "Jawabnya setelah makan, ya, Ti. Tadi di pasar, Bulek beli tempe mendoaan. Ingat kamu suka ini."Aku meng
Mata ini terpaku pada jaket yang dikenakan, berwarna biru dengan garis oranye di pundak memanjang sampai lengan. Di punggung tertulis, NEDERLAND. Itu jaket tim Belanda saat World Cup 2014. Jaket tim bola kesayanganku.Aku ingat benar, karena ini pertandingan bola terakhir yang aku ikuti. Karena beberapa hari setelahnya, kedua orang tuaku mengalami musibah. Musim pertandingan berikutnya, aku tidak sempat karena disibukkan dengan pekerjaan dan kesendirianku."Cepetan naik!" teriak Den Langit. Dia sudah keluar dengan kuda besi kesayangan. Ini berarti dia mengajakku naik motor? Pak Salim menyenggol lenganku sambil berkata, "Tik! Cepetan, sebelum dia marah lagi. Sana!" Kemudian dia tergopoh membuka gerbang dan berdiri bersiap di sana.Dengan masih ragu, aku mengenakan helm dan menaiki motor yang sudah meraung-raung. Beruntung aku menggunakan celana panjang komprang. Tidak lusuh, hanya cukup pantas untuk jalan beli gorengan. Berbanding terbalik dengan penampilannya yang maksimal.Kami me
Baru saja aku membuka cerbungku di platform. Kebiasaanku setelah malam hari posting, paginya aku memastikan respon pembaca. Bagiku, respon pembaca menyuntik semangat untuk terus menulis. Ada rasa bangga dan puas di hati. Apalagi saat pembaca menyatakan ikut bahagia, hati berbunga-bunga, senyum-senyum, atau mengatakan tidak sabar menunggu bab selanjutnya. Aku mendapatkan tenaga ekstra dengan menebar energi positif kepada pembaca.Seperti sekarang. Tadi malam sepulang keluar dengan Den Langit, tulisan aku sempurnakan dan langsung aku posting di platform.Menceritakan tentang persamaan kedudukan antara majikan dan pembantu. Si pembantu berusaha up-grade dirinya dengan prestasi, sehingga saat bersama majikan yang mencintainya dia bisa berjalan dengan tegak dan membanggakan.Hubungan laki-laki dan perempuan, tidak sekadar berdasarkan cinta apalagi hasrat, namun ada rasa kebanggaan saat membersamainya.Dalam semalam, bab ini mendulang ratusan like. Beberapa komentar mengatakan ini cerita
Dari sudut mataku menangkap dia yang tersenyum sambil menyunggar rampurnya yang panjang. Seakan tahu gerakan itu menunjukkan pesonanya."Memang siapa yang menanyakan pekerjaan? Saya sudah lihat dan pekerjaanmu rapi. Terima kasih," ucapnya dengan tatapan sendu. Aku tidak berani menerjemahkan tatapan ini, yang aku tahu, ini tidak seperti biasanya. "Sebenarnya, saya tidak menganggapmu pembantu di rumah ini. Bersama kamu, saya seperti mempunyai teman kembali. Bisa berbicara apa saja tanpa ada batasan. Sayang sekali kamu akan segera pergi." Dia menghela napas dan melanjutkan berbicara. "Bisakah malam ini menjadi waktu bebas buat kita. Saya bukan majikan dan kamu juga bukan orang yang bekerja di sini. Kita menjadi teman, dan tidak ada panggilan Den, cukup panggil namaku saja. Toh, kita juga seumuran."Aku menatapnya, mencerna apa yang dimaksud. Jujur, aku merasa bungah, karena ini berarti aku bisa menjadi diriku sendiri. Walaupun hanya malam ini, karena besuk aku sudah tidak di sini.*S
Aku pergi meninggalkan rumah yang sarat dengan kenangan setelah dia pergi. Diantarkan Bulek Ningsih dan Pak Salim, saat mobil jemputan yayasan datang. Tentu saja ini kerjaan Laila sahabatku sekaligus pemilik yayasan ini.Seperti yang dibilang Mbak Rahmi, setiba di rumah dia melarangku ke kantor. Aku harus menanggalkan peran Astuti si tukang bersih-bersih, dan itu membutuhkan dua sampai tiga hari. Itu waktu tercepat.Kemarin, aku dipaksa seharian di spa. Mulai, pijat, lulur, berendam, bahkan manicure pedicure. Aku tidak boleh keluar sebelum perawatan usai. Memang, badan menjadi segar dan wangi. Namun, diriku seperti dipenjara, sampai-sampai makan pun sudah disiapkan di dalam. Hari berikutnya, jadwalnya perawatan wajah. Kegiatan yang paling membosankan. Kecantikan yang dibayar dari rasa sakit, dan jenuh. Aku harus pasrah dengan apa yang dilakukan mereka. "Kamu ini seorang Lintang Astuti, wajah dari perusahaan ini. Sebagai pemilik sekaligus designer fashion, penampilan itu sangat perlu
"Yang akan aku ceritakan, merupakan jawaban pertanyaan ini. Aku akan bercerita nanti malam, setelah kegiatanmu usai. Karena ini membutuhkan waktu lama," ucapku merasa di atas angin. "Jadi, aku tunggu nanti!""Dasar anak nakal! Pinter menjebak orang! Aku turuti kemauan kamu, asal besuk malam mau mendampingiku gala dinner," pintanya dan akupun mengangguk riang. Barter yang menyenangkan, toh aku juga sudah rindu keriuhan acara itu."Jangan terjebak dengan ketenaran, nanti tidak sempat mendapatkan pasangan beneran. Buruan pilih satu, jangan ganti terus. Kalah sama sandal jepit, yang sepasang selamanya!" selorohku sambil tertawa. Dia diam menatapku sesaat, memicingkan mata, kemudian tertawa lebih keras dibandingkan aku."Kamu mentertawakan aku? Bukankan kamu sendiri juga begitu? Sandal jepit yang masih teronggok sendirian! Ha-ha-ha!"***Semalam, kami begadang saling bercerita tentang keseharian selama tidak bertemu. Mahardika menceritakan kesibukan mengembangkan butik dengan membuka beb
Kaki ini pegal, berkeliling mengikuti kemanapun Mahardika menyapa rekan-rekannya. Beberapa aku mengenalnya, namun banyak juga wajah-wajah asing. Tempat pertemuan ini begitu luas dan dihias megah. Hotel yang menjadi lambang kemewahan di kota ini. Walaupun sesama designer baju, aku tidak terlalu mengikuti acara seperti ini. Semua sudah ditangani tim pemasaran garmen. Bahkan, beberapa menjadi pembeli tetap di Lintang Soul, namun tidak pernah bertemu denganku. "Dika, aku capek sekali. Aku duduk dulu, ya. Kamu lanjutin tebar pesona, sana!" Aku merengut, memaksanya untuk mengerti. Dia terkekeh dan berputar akan mengantarku ke meja kami. Namun, sebelum melangkah ada seseorang memanggil Dika. "Sudah. Tidak usah diantar. Kamu temuin mereka saja. Pasti ada yang penting. Good luck, ya!" Aku mendorong pelan, memaksanya untuk pergi. "Tapi ...." "Sst! Go!" Aku mendelik dan disambut anggukan menyetujuiku. Meja kami lumayan di ujung depan. Aku harus melewati beberapa meja dengan keadaan ka