Penasaran, aku segera menerobos mendahuluinya ketika pintu di buka. Kamar dengan cat abu-abu, senada dengan seprai dan sarung bantal, terlihat serasi. Gaya maskulin terasa kental, ditambah gitar yang menggantung di dinding.Yang membuatku terkejut, rak buku yang tinggi dipenuhi buku-buku tebal. Dari buku fiksi sampai buku filsafat. Dari yng berbahasa Inggris sampai bahasa Jawa. Aku baru mengerti, ternyata dia suka membaca.Aku berdiri di depan jajaran buku ini, seperti menciut bagaikan anak ayam di lumbung padi. "Ternyata suka baca novel, juga?" tanyaku meraih buku tebal. Aku membaca sampul belakang, diterangkan isi novel tentang romantika percintaan. Pantas saja dia pintar merayu. Aku menoleh ke arahnya, menatap dengan tatapan menyelidik sambil berpikir, 'Berapa perempuan yang sudah bertekuk lutut di hadapannya?'Yang aku curigai malah sibuk mengambil buku di rak satunya. "Ini novel yang sudah aku baca. Kalau mau, bawa aja." Dia menaruh tumpukan buku tebal di depanku."Aku baca no
Mahardika memegang kedua bahuku, menatapku lewat cermin. "Lintangku sekarang sudah dewasa, sudah siap untuk menjadi istri. Selamat, ya."Aku membalas dengan senyum sambil mengusap tangannya yang di bahu ini. Ucapan terima kasih tidak cukup untuknya, dia begitu banyak berbuat untukku. Perhatian, kesempatan, dan cintanya tercurah untukku. "Eits! Tidak boleh nangis. Nanti riasannya luntur. Walaupun waterproff tetap tidak boleh nangis," teriaknya, kemudian memanggil perias untuk memperbaiki riasanku kembali.Aku sudah selesai dirias. Baju kebaya putih yang berekor panjang. Rancangan Mahardika khusus di hari indah ini. Perpaduan antara tradisional dan modern. Peyet-payet berkilau bertaburan berpusat di bagian atas. Riasan juga mengusung tema natural, hanya sesikit sentuhan berkilau untuk menyesuaikan acara di malam ini. Sanggul sederhana dicepol berhias permata sederhana, menunjukkan leher jenjangku yang dihias kalung pemberian Mahardika. Aku bersikukuh memakainya, walaupun disarankan
"Kamu cantik dengan rambut terurai," ucapnya, kemudian menghapus jarak kami. Mencium kening dan berlanjut dengan sentuhan indahnya. "Langit, aku ganti baju dulu. Gerah." Aku dorong dia untuk menjauh. Belum sempat aku berganti baju. Inginku, aku ingin mempersiapkan malam ini dengan baju yang dititipkan Mahardika. Baju putih panjang bertali dan menerawang, menonjolkan sisi kedewasaanku. Memegangnya saja, sudah berasa lain, apalagi saat aku menggenakannya. Mengenakan lengerie sexy, parfum wangi dan bersikap lembut, itu kubaca untuk mempersiapkan diri di malam pertama. "Aku bantu," bisiknya tanpa melepaskan aku. Dengan satu tangannya, dia berhasil melepas gaunku. "Langit ...." "Hmm ...," jawabnya tanpa menghentikan sentuhannya. Memaksaku terdiam dan terhanyut kemudian tenggelam. Hilang membersamai dengusan napasnya. Aku sudah tak ingat lagi, yang aku tahu sekarang kami bergelung di selimut yang sama. Tersenyum bersama setelah melewati malam tanpa kekawatiran yang keliru. ***
Sekarang sudah jalan tiga bulan lebih pernikahan kami. Masih dalam masa bulan madu. Apapun dikerjakan berdua. Dia ditinggal dikit, tidak mau. Bahkan, makanpun kalau tidak berdua tidak enak, katanya. Sisi manja Mas Langit mulai kentara.Mas Langit, panggilan baruku kepadanya. Semenjak menikah, aku dipaksa harus memanggil suamiku itu, Mas Langit. Awalnya membantah, karena kami seumuran. Namun setelah dipikir-pikir memang sebaiknya seperti itu, didengar telinga juga lebih enak. Mas Langit.Kami seperti mini lan mintuno, hewan laut yang selalu berjalan berpasangan kemana-mana. Saat kerjapun, aku harus ikut pergi ke pabrik. Walaupun dia sudah tidak membutuhkan aku untuk bekerja seperti dulu, karena sekarang sudah mempunyai asisten. Yang siap menunggu perintah dengan meja di depan ruangan kantor. Namanya Pak Parji. Terpaksa, aku mengerjakan pekerjaan garmen di sini juga, membuat rancangan untuk periode depan, mengecek laporan dan melakukan meeting online dengan para manager. Bahkan, aku
Baru hari ini kami tidak bersama. Aku tetap di rumah tidak ikut ke pabrik. Bangun tidur terasa berat kepala ini. Padahal, kami semalam tidak bersama seperti biasanya. Kami hanya menghabiskan malam dengan sibuk membuka kotak-kotak kayu milik Mas Langit. Ternyata dahulu dia berbeda sekali dengan sekarang. Aku semakin tahu tentang lelakiku ini."Ini bola hadiah dari Romo, karena masuk di tim junior sepak bola di kota ini. Dan, ini seragam pertamaku. Tuh, lihat ada tanda tangan pelatihku," tunjuknya dengan bangga.Pantas saja dia mengerti tentang tim kesayanganku. Satu kotak ini pun, kami bahas panjang lebar. Mulai dari tim kesayangan, pemain favorit, sampai tendangan yang masih kita ingat dahulu. Ada kotak yang berisi peralatan band dan aja juga kotak perlengkapan saat dia aktif di taekwondo.Yang membuat jantung berdebar saat membuka kotak kayu besar yang berisi barang-barang mantan. Mulai, topi, jaket, sepatu, tas, buku, pena, dan banyak lagi. Sempat kedua alisku bertaut menatapnya,
Tidak ada lagi yang tidak aku tahu tentang Mas Langit, begitu juga dia.Kesenangannya sekarang bertambah lagi, membaca semua tulisanku. Bahkan menjadi orang nomor satu saat aku update cerita, dan selalu diakhiri kalimat, kapan bab berikutnya?Kehamilanku tidak hanya disambut gembira oleh Mas Langit dan Ibu beserta keluarga besar, Mahardika dan Mbak Rahmi juga. Bahkan saat pemeriksaan pertama, ruang pemeriksaan heboh dipenuhi mereka. Mahardika dan Ibu sampai terbang ke sini untuk menyaksikan kabar gembira. Aku benar-benar beruntung dikelilingi orang yang menyayangiku. "Lintang, aku harus ikut menyambut keponakanku. Biar dia tahu kalau pamannya sangat merindukan kehadirannya," bantah Mahardika saat aku keberatan dia datang hanya sekedar ikut ke dokter Kehebohan bertambah riuh saat hasil USG menunjukkan ada dua kantong kehamilan, pertanda ada dua janin yang bersemi di perutku. Kata alhamdulillah terpanjatkan bersamaan Dokter memberi kami peringatan untuk ekstra hati-hati. Karena inil
Sesampai di rumah sakit, Mahardika dengan sigap mengambil kursi roda. Dia yang mendorongku sedangkan suamiku sibuk mendaftar untuk pemeriksaan. "Mas Dika itu sayang sama Mbak Lintang, ya?" celetuk Bulek Ningsih, mungkin dia mengamati perlakuan kepadaku selama ini. "Iya Bulek. Kami berteman dari dulu banget. Keadaan yang sendiri, membuat kami sudah seperti saudara."*"Syukurlah, janinnya sehat. Berat badan juga normal, hanya di batas ambang bawah. Makannya tolong ditambah porsinya. Sedikit-sedikit tetapi sering, ya," jelas Ibu Dokter."Siap, Dokter!" jawab Mas Langit dan Mahardika. Aku sempat tersenyum melihat raut wajah Bu Dokter yang mengernyitkan dahi. Mungkin dia heran dengan sosok satunya yang antusias juga. "Nah, sekarang kita lihat jenis kelaminnya apa." Bu Dokter segera bersiap bersama suster. "Pasti cowok-cewek," guman Mas Langit."Bukan! Cewek-cewek!" sela Mahardika.Perdebatan dimulai lagi dan berakhir setelah aku menyeringai dan mendelik ke arah mereka."Sabar ya, bap
Rasanya kesepian. Keadaanku tidak memungkinkan ikut Mas Langit. Aku lebih banyak di rumah hanya berdua dengan Bulek Ningsih yang sudah diboyong ke rumah. Pekerjaan di garmen juga sudah selesai. Rancangan musim ini sudah jadi dan mulai tahap pemasaran. Tim marketing sudah mulai sibuk pameran di dalam ataupun di luar negeri. Waktu luang ini aku habiskan untuk menulis. Targetku, cerbung tentang Maharani dan Tuan Kusuma selesai sebelum aku melahirkan. Tidak hanya menulis, akupun tenggelam dalam hobi membaca. Buku novel maupun non fiksi aku lalap habis, dan berakhir ke cerita bersambung di aplikasi. Hati ini kadang curiga dengan Mas Langit. Gara-gara cerita tentang suami yang selingkuh. Semua potensi ada pada lelakiku itu. Ganteng, badannya ok, punya bisnis yang bagus, pinter, dan yang membuatku ketar-ketir, mempunyai istri yang hamil besar, yaitu aku. Apa mungkin Mas Langit juga seperti itu, ya? Kekurangan nafkah batin yang menyebabkan keterpaksaan. Memiliki kisah satu malam dan b