Erin kembali ke kamarnya setelah melihat matahari terbenam sedangkan David berkata ingin berkeliling sendiri selama beberapa waktu. Ia menghela nafas lalu membaringkan dirinya di kasur. Matanya fokus menatap langit-langit ruangan dengan ekspresi sendu. Ruangan dengan kombinasi kayu itu tampak hangat sekaligu sepi karena hanya ada dirinya sendiri. Meski sudah mengingatkan dirinya berkali-kali, ia ingin sekali memeluk David dan melepas rasa rindunya. Ada keinginan egois yang muncul dan meminta ia mempertahankan semuanya. Namun pikirannya lagi-lagi berusaha menepis semua perasaan tersebut. Tangannya meraih ponsel lalu membuka galeri. Ia mengamati fotonya dengan David yang dikirmkan kepada Harsano. ‘Bagaimana caranya menghentikan perasaan ku?’ keluhnya dalam hati. Setelah cukup lama mengamati fotonya dengan David, Erin akhirnya membuka pesan lama dan membaca ulang percakapannya dengan David. Dulu pria itu sangat baik dan ha
Usai liburan yang singkat tersebut, Erin dan David kembali ke Yogyakarta setelah dua hari berada di Bali. Keduanya langsung kembali sibuk dengan pekerjaan tanpa mengambil jeda untuk istirahat. Harsano sudah menyarankan putri dan menantunya untuk istirahat selama satu hari. Namun dengan berbagai alasan mereka tetap memaksa bekerja. Erin dan David menjauh secara alami karena kesibukan berbeda dan hal tersebut membuat perempuan itu merasa lebih lega. Keduanya hanya bertemu di rumah saat sudah dalam keadaan lelah sehingga komunikasi antara Erin dan David semakin berkurang. Saat makan malam pun David sering tidak ikut karena pulang terlambat. Peluncuran produk dengan model terbaru mendapat sambutan hangat sehingga pria itu harus bekerja ekstra. Dalam seminggu ini, beberapa kali David harus ke luar kota karena undangan dari mitra bisnis yang ingin membicarakan kerjasama lebih lanjut. “David menginap lagi?” “Ya, kali ini ke Jakarta,” balas Erin yang kemudian menyendokkan makanan ke mu
Tatapan mata David memandang ke arah Erin berkali-kali. Ada ketidakrelaan yang disembunyikan dalam ekspresinya yang datar. Makan bersama tersebut berlangsung hangat diselingi obrolan. Namun bagi Erin maupun David, semua itu terasa hambar. Meski sudah menyiapkan hati untuk semua hal termasuk perpisahan sementara sebelum perceraian, Erin tetap selalu merasa tidak siap. “Ehmm, boleh David ajak Erin berkeliling sebentar?” ucap David tiba-tiba. Erin memandang David dengan ekspresi bingung. ‘Ada apa?’ “Terserah kalian saja, tapi pastikan Erin sudah di bandara 1 jam sebelum waktu keberangkatan,” balas nenek Elisa dengan ekspresi datar. “Saya mengerti…” Harsano hanya mengangguk pelan. Ia terlihat lega tanpa sebab saat melihat cara David menatap Erin. Setelah berpamitan, David melangkah diikuti Erin meninggalkan resto tersebut setelah berpamitan sebentar. “Kamu nggak bertanya kita mau kemana?” “Nggak, aku tau mas David punya alasan sendiri untuk nggak mengatakannya…” Pria berkumis t
Pertanyaan dari Harsano membuat tatapan mata David menjadi lebih hangat. “Ya, saya mencintainya.” Jawaban kali ini sama sepertinya yang diucapkan dulu. Namun sekarang ia mengatakannya dengan perasaan berbeda. Kali ini David tidak lagi berbohong tentang apa yang dikatakannya kepada Harsano. Pria itu benar-benar mencintai Erin. “Bicarakan dengannya kalau ada keputusannya yang tidak kamu suka.. Erin itu seperti papa, perlu ditunjukkan dan dijelaskan langsung supaya tidak seenaknya mengambil keputusan. “Jangan buat dia menyesal di kemudian hari karena baru menyadari tindakan bodohnya setelah mengambil keputusan yang ia pikir adalah jawaban terbaik.” Suasana menjadi hening selama beberapa saat karena David mencoba mencari kalimat yang tepat untuk merespon. Namun ada beban berat di hatinya ketika mengingat kembali semua kesepakatannya dengan Erin. “Ya… David akan mencobanya.” Hanya jawaban itu yang bisa ia berikan meski dalam hati ia
Nathan tiba di bar 10 menit setelah Emmy meneleponnya untuk memberitahu David sedang minum-minum dan hampir tidak sadarkan diri. Ia memandang Emmy yang masih duduk di tempatnya dengan ekspresi lelah. Tatapan matanya tidak seramah biasanya dan cenderung seperti dipenuhi amarah. “Sudah datang kan? Aku mau pulang.” “Kenapa kamu disini dengan mas David?” Emmy memutar bola matanya dengan ekspresi malas. “Aku nggak sengaja bertemu disini.” “Nggak sengaja?” “Ya tentu saja nggak sengaja, memangnya ada urusan apa aku bertemu dengan kakak mu?” tanya Emmy dengan suara agak meninggi. Ia sudah lelah dengan semua drama di keluarganya dan sekarang ia lagi-lagi terlibat masalah dengan orang lain. Beberapa saat kemudian Emmy menggeleng lalu bergumam pelan, “sial aku jadi gampang emosi, ini gara-gara masalah yang belum selesai tapi malah kena masalah lain.” “Apa?” “Sudahlah, aku mau pulang. Aku menelepon mu supaya bukan aku yang harus mengurus kakak mu itu.” Emmy langsung pergi sambil mengom
Italia… . . Erin merebahkan tubuhnya di kasur kamar yang akan ditempatinya sementara itu. Matanya benar-benar berat karena selama perjalanan ia tidak bisa tidur. “Erin! Ayo makan dulu…” Perempuan itu membuka matanya dengan malas lalu menatap neneknya yang sudah berdiri di ambang pintu. “Nenek kan sudah bilang lebih baik kamu tidur, malah baca buku selama perjalanan…” “Aku nggak bisa tidur, nek… jadi sekarang aku ngantuk banget.” “Makan siang dulu, setelah itu kamu bisa istirahat.” “Iya iya…” Setelah mendapatkan jawaban dari cucunya, Elisa melangkah turun. Erin akhirnya bangun lalu berjalan malas menuju kamar mandi kemudian mencuci wajahnya dengan air dingin. Udara kering pada akhir musim panas di negara tersebut membuat Erin selalu ingin membasahi kulitnya dengan air. Usai mencuci muka dan berganti pakaian, Erin langsung turun menuju meja makan. Terlihat kakeknya sudah duduk di kursi samb
Penampilan Nathan terlihat berbeda dari biasanya. Itu pertama kalinya Emmy melihat Nathan memakai jas. Jas hitam tersebut membuat penampilan Nathan tampak lebih dewasa. Penataan rambutnya sekarang juga membuat pria itu terlihat semakin tampan. Kalau David memiliki tampilan pria matang yang menantang, Nathan justru terlihat sebagai pria muda segar yang tenang. “Emmy?” Perempuan berambut pendek itu langsung menggelengkan kepalanya pelan saat menyadari sudah terlalu lama menatap Nathan. “Ah maaf, aku sedang melamun…” “Tumben?” “Biasalah… ngomong-ngomong penampilan kak Nathan sekarang terlihat beda, aku sampai nggak mengenali…” “Aku nggak mau terus-terusan dibilang ngikutin penampilan mas David…” Emmy mengernyitkan keningnya. Tanpa sadar ia mulai membandingkan penampilan David dengan Nathan sebelumnya. Perempuan itu beberapa kali memang pernah melihat tampilan Nathan yang serupa dengan kakaknya. Namun ia tidak menilai buruk karena berpikir Nathan melakukan itu karena mengidolaka
Erin mematung di tempatnya saat mendengar pertanyaan David dari seberang telepon. Ia tidak menyangka akan ditanya tentang hal itu. ‘Kenapa mas David bertanya itu? Apa nenek mengatakan sesuatu? Tentu nggak, aku sudah memintanya untuk berpura-pura nggak tau…’ “Erin?” tanya David memastikan sambungan teleponnya tidak terputus. “Ya… aku masih disini…” “Jadi nenek mu tahu tentang itu?” tanya David lagi. “Nggak… kenapa mas David mikir begitu?” Hening, David yang tidak langsung menjawab semakin membuat Erin merasa cemas. ‘Apa mas David tau sesuatu?’ “Kamu udah janji mau jawab jujur…,” ucap David setelah terdiam cukup lama. “Aku sudah menjawab jujur, mas…” “Erin… kita udah sepakat untuk mengakhiri semua dengan cara baik, aku juga butuh mengetahui keadaan sebenarnya…” Perempuan bermata coklat itu menggenggam erat ponselnya. Matanya terpejam sedangkan ekspresinya tampak semakin cemas. “Kita bicarakan itu nanti ya? Aku sudah harus pergi ke kantor sebentar lagi…” /klik…/ Erin langsu