Gus Farhan menunda laju kendaraan. Ia masih berada di depan pintu gerbang pabrik roti, sementara Koh Akong dan karyawan yang memberinya roti telah pergi ke tempat tanggung jawab masing-masing. Pemuda itu berambut sewarna malam, mengenakan kaos putih sehingga terlihat amat mencolok di tengah kegelapan. Ia mengikuti pergerakan Gus Farhan mulai dari rumah Bunda sampai ke pabrik roti. Menurutnya ada hal yang tidak semestinya dilakukan oleh Gus Farhan, terlebih dirinya adalah putra kyai. "... em, kenapa diam saja?" geretak pemuda itu —Agam. Adik kandung Shofi yang lama merantau keluar kota demi mencukupi kebutuhan hidupnya. "Maaf, Anda ini siapa?" "Nah, bahkan dirimu belum tahu betul latar belakang keluarga Shofi, kenapa berani bertindak senekad ini untuk mencari Shofi?" Agam memutar balik pertanyaan. "Mohon maaf, perkenalkan diri Anda terlebih dahulu agar saya bisa memberi alasan," tutur Gus Farhan dengan sabar. "Aku Agam, adik Shofi." Keterangan yang membuat Gus Farhan melenguh p
Seketika rona wajah Bunda dipenuhi dengan mendung. Barangkali memang benar, tidak boleh sembarangan mempercayakan sesuatu kepada orang asing, sekalipun orang tersebut terpandang baik atau pun alim. Pasalnya, di masa yang dahulu pernah dikatakan indah, kepercayaannya lenyap di tangan orang yang dikenal baik. Ayahnya Shofi meninggal dunia usai difitnah menggelapkan anggaran amal untuk pembangunan masjid. Pria dengan kumis tipis dalam benak Agam itu seketika terkena serangan jantung, meninggal tanpa bersalah tetapi dihujani umpatan dan makian menyakitkan. Tragisnya, tidak seorang pun datang ke pemakaman untuk mengantar jenazah almarhum. Bunda memutuskan pindah dari kota kelahiran, mengungsi ke kota yang lebih sibuk supaya bisa menentramkan kenangan buruk dalam pikiran. Bunda membawa Agam juga Shofi ke Jawa Timur demi menimbun masa lalu yang teramat getir. Ia menjual rumah sekaligus tanah yang diwariskan orang tua di Porworejo, Jawa Tengah kemudian membeli rumah sederhana di Malang Jawa
Meski kedengarannya aneh, tetapi faktanya itu memang pesan dari Shofi, Bu." Urai Anggi kemudian. Ia menangkap manik mata Agama yang dipenuhi dengan ketidakpercayaan. Semalam yang lalu, tangan dan kepalanya sibuk menjiplak tulisan tangan Shofi. Rupanya bukan hal mudah meniru gerak-gerik jari-jari orang. Namun, ia tidak mau menjadi bodoh, jika membiarkan Bunda terus-menerus menanyakan kabar Shofi, maka tidak sedikit orang yang akan menaruh curiga kepadanya. Lebih-lebih jika sampai kasus itu terseret ke ranah hukum. Barangkali Bos Bagong bisa mengelak, mencari alasan dengan sejuta dalih atau sogokan uang, tetapi bagi Anggi? Ia terlalu miskin untuk membungkam mulut keadilan. Anggi mencari cara supaya pencarian Shofi diberhentikan. Ia berinisiatif meniru tulisan tangan Shofi, memberi kabar bohong perihal Shofi yang memilih hidup mandiri, katanya; 'Teruntuk Bundaku tersayang, maaf dan terima kasih karena telah merawatku sampai detik ini. Aku sangat beruntung menjadi putrimu, setidak embu
"Kau mutiara di antara tumpukan tahi kambing, teramat bersinar tetapi tetaplah beraroma busuk," kata pria berkaca mata tebal sambil melonggarkan kancing. "Sementara aku adalah tahi kambing di antara tumpukan mutiara, sisi gelapku tidak begitu tampak karena mutiara-mutiara itu bersinar terang, Gadis Manis!" sambungnya kemudian. Shofi hanya mengembuskan napas lelah. Ia tidak mau pasrah apalagi menyerah. Harga dirinya teramat mahal jika harus diobral di atas kasur Bos Bagong dengan pria berpenampilan rapi, tetapi hatinya keji. Dari cerita Bawon, sosok yang ada di hadapannya kemarin malam adalah seorang pemimpin di kota sebelah. Shofi amat terkejut melihat paras orang separuh renta yang menjilat kekuasaan dengan pembodohan dan kebohongan di hadapan publik. Ia tidak menyangka akan berhadapan langsung dengan orang-orang bejat seperti itu. Biasanya Shofi hanya menyaksikan di televisi. "Kenapa Anda bangga menjadi kotoran, Tuan?" tanya Shofi retoris sembari memandang tajam. Ada hasrat menika
Agam membaca surat yang diberikan oleh Anggi berkali-kali, ia bahkan menempelkan kertas itu dengan lakban di atas permukaan cermin. Selain meneropong kekesalan melalui pantulan wajahnya, ia terus membandingkan tulisan surat tersebut dengan tulisan tangan Shofi. Agam sedang berusaha keras mencari kejanggalan dari sikap Anggi. Pasalnya ia sulit mempercayai orang, apalagi orang asing yang mengaku-ngaku menjadi teman akrab Shofi di tempat kerja. Baginya itu hal yang aneh, sayangnya ia tidak bisa bicara begitu saja di depan Bunda tanpa bukti. Bunda tentu akan mengira dirinya hanya penaruh curiga kepada orang lain. "Aku yakin, ini bukan tulisan tangan Shofi, meski nyaris sama persis, tetapi mereka hanya mirip bukan satu tangan!" gumam Agam sambil mengelus ujung dagu yang tidak berjanggut.Isi surat yang dibaca Bunda kemarin malam membuat wanita separuh renta itu menemukan semangatnya yang sempat hilang. Pada pagi-pagi selanjutnya ia kembali menjalani rutinitas kehidupan dengan riang dan s
Anggi sungguh muak dengan keberadaan Agam, ia memutuskan berpaling dari hadapan pemuda yang menyimpan banyak kepedulian kepada saudaranya. Anggi menghidupkan mesin sepeda motor lagi, membelokkan roda, mengembalikan arah pada jalan utama. Sejujurnya Agam sangat kesal. Diabaikan merupakan hal paling memuakkan dalam hidupnya. Sayang, ia tidak mau membuang tenaga dengan berontak malam itu. Pilihan terakhir, dirinya mengikuti pergerakan langkah roda motor Anggi, bermaksud membaca pola kehidupan Anggi. Agam ingin tahu tempat-tempat yang dituju oleh Anggi. Maka bukan hanya pada malam itu saja ia menjadi ekor bagi setiap pergerakan langkah perempuan berambut pirang tersebut, melainkan nyaris sepanjang waktu ia mengintai dari lokasi terdekat. Selama itu kegiatan Anggi, hanyalah datang ke tempat kerja–pabrik roti, pulang ke rumah di kawasan rusun milik pemerintah daerah yang disewakan dengan harga miring, kemudian duduk di balkon rumah sempit–memandang langit, menghitung bintang-bintang, seol
"Han, besok gantikan abah ceramah di depan warga ya!" perintah Abah Aziz sambil menatap putra kesayangannya dari ambang pintu. Gus Farhan yang semula rebahan, langsung mengambil posisi duduk. Detik itu malam datang lebih cepat. Rutinitas di pondok Asmaul Khusna yang telah berjalan teratur, mengikis pergerakan waktu. Tak disadari menit menjadi masa lalu. Abah Aziz baru saja pulang dari Demak, silaturahmi ke pesantren salaf milik kyai yang dulu pernah menjadi guru. Raut wajah Abah Aziz terlihat kusut karena disapu angin lelah dan debu-debu selama perjalanan. "Wah … ilmu Farhan masih sekecil pasir di pesisir, tidak ada apa-apanya dengan Abah, alangkah baiknya jika guru lain yang menggantikan," kata Gus Farhan dengan lembut. Abah Aziz mendekat, ia meletakkan tangan kanan di bahu Gus Farhan, menitipkan sebuah kepercayaan melalui gerakan tersurat. "Maka belajarlah, ilmu semakin disebarkan maka akan bertambah manfaatnya, tidak ada yang rugi dari berbagi ilmu, Han. Sekecil apa pun hal ya
"Jadi temannya Shofi memberikan surat ini kepada saya," Bunda mulai membuka suara. Ia menyeka riak tangis kemudian fokus memandang wajah Gus Farhan yang penuh dengan minyak. Lelah pemuda itu tersurat di parasnya yang teduh. Meski demikian ia tidak mungkin mengabaikan tamu yang telah menunggunya sejak tadi. Bunda membenarkan letak kerudung. Surat yang dimaksud diserahkan kepada Gus Farhan dengan meletakkan di atas meja. Gus Farhan menyeret kertas itu sebelum di lembar di ambang udara. Helai-demi helai kata ia baca seksama. "Jadi Shofi tidak hilang, Bu?" Gus Farhan memastikan. "Menurut surat tersebut, begitu Han. Tetapi Agam tidak yakin dengan tulisan itu, saya sempat berusaha tenang, belajar percaya, akan tetapi batin saya terasa tidak tenang. Bisakah Farhan memberi solusi?" Bunda yang sudah terlalu pesimis, mengharap bantuan kepada Gus Farhan lagi. "Haruskah saya melaporkan kepada polisi?" Gus Farhan merenung sejenak. Lapor polisi dibenarkan. Setidaknya ada tim yang akan memban