"Sebenarnya setelah itu harusnya ada dokter yang datang untuk memeriksamu, aku menghubungi Riko saat itu untuk mengurus semua itu," papar Hendra kepada Aluna dan Umar yang mendengarkan penjelasannya dengan seksama.
"Riko?" tanya Aluna bingung."Iya, cleaning service yang biasanya mengganti galon di ruangan ini." Hendra masih mengelus pipinya yang sedikit terasa sakit dan panas akibat tamparan Aluna."Lun! Kamu mau ke mana?" tanya Umar sambil mengikuti gadis bercadar itu keluar dari ruangan kantornya."Bertemu Mira!" jawab Luna ketus. "Pasti dia tau tentang semua ini!""Aku ikut denganmu!" Umar berjalan mendampingi Aluna yang melaju dengan cepat. bahkan gadis itu setengah berlari ke arah sahabatnya yang baru saja datang."Mir! Aku mau bicara serius sama kamu!" ucap Aluna sambil menarik tangan Mira dan menyeretnya ke arah ruangan Umar. Walau dalam keadaan emosi, tapi Aluna masih memikirkan nama baiknya dan nama baik orang-orang terdekatnya."Ada apa, Lun? Apa aku melakukan kesalahan?" Mira tampak bingung, wanita cantik berambut sebahu itu sejenak melirik ke arah Umar."Siapa yang sudah menyuruhmu, Mir? Katakan, Mir!""Melakukan apa?" Wajah Mira terlihat lebih pucat dari biasanya. Jantungnya pun berdetak dengan sangat cepat, bahkan ia pun beberapa kali mengepalkan telapak tangannya. Ini pertama kali Mira melihat Aluna marah sampai urat matanya yang merah terlihat dengan sangat jelas."Siapa yang menyuruhmu memberikan minuman itu padaku? Apa kamu sendiri yang memang berniat ingin menghancurkan aku, Mir? Kalau kamu masih mencintai Hamzah, bukan begini caranya, Mir!" Aluna menarik kerah kemeja Mira dengan kasar."A ... Aku nggak tau apa-apa, demi Tuhan aku tidak pernah ingin menyelakaimu, Lu." Mira memegangi kalung salip yang ada di lehernya. Aluna yang melihat hal itu pun langsung melepaskan genggaman tangannya dari kerah baju Mira. "Aku kemarin membeli itu memang untukmu. Aku nitip minuman itu ke Riko.""Riko? Riko cleaning service?""Iya, Lun," jawab Mira dengan gugup."Di mana dia sekarang?""Dia Meninggal, Lun!" ucap Mira pelan. Aluna pun melotot, ia tidak terima orang yang menjadi saksi kunci ataupun tersangka dalam kasus itu justru meninggal sebelum ia mendapatkan informasi apa pun."Meninggal?" tanya Aluna tidak percaya. "Kalian jangan berbohong kepadaku. Apa kalian ingin melindunginya, lantas membuat pemalsuan kematian?""Tidak, tidak ... Lun," ucap Mira gugup sambil membuka pesan di W******p miliknya. Sepertinya perempuan cantik itu masih ketakutan melihat emosi Aluna yang menyala-nyala. "Dia meninggal sepulang dari hotel, setelah mengantarkan dokter yang memeriksamu. Pulang dari rumah dokter itu, ia mengalami kecelakaan tunggal.""Tidak ... tidak mungkin. Kalian pasti berbohong kepadaku, apa yang kalian sembunyikan dariku?" Aluna masih tidak percaya dengan semua cerita yang sedang ia dengar. Di dalam hati kecilnya, ia tidak percaya dengan cerita yang terdengar terlalu mengada-ada."Tidak, Lun. Ini keluarganya yang menghubungiku langsung! Untuk apa aku berbohong kepadamu. Aku adalah sahabatmu Lun. Kalo masalah aku yang mencintai Hamzah, itu hanya masalalu, dan aku sudah melupakannya dari lama, Lun. Kamu orang yang sangat baik, aku tidak mungkin berbuat jahat kepadamu!" Mira memeluk Aluna. Namun, Aluna tidak membalas pelukan itu, mata Aluna hanya menatap kosong ke tembok yang ada di belakang Mira."Sudah lah, Lun. Semua ujian itu pasti datang kepada orang yang tepat." Umar mencoba menenangkan sepupunya itu."Tepat? Apa menurutmu pantas seseorang melakukan hal serendah itu padaku?" Aluna berteriak kepada Umar sambil menggenggam kedua telapak tangannya."Bukan begitu maksudnya, Allah memberikan ujian kepadamu karena kamu mampu, Lun! Sudah lah, ini sudah terjadi.""Iya, aku menerima semua ini sebagai takdir Allah untukku, Qodarullahi wa masha'a fa'ala, tapi aku tidak akan pernah memaafkan pelakunya, siapa pun itu!" Aluna menunjukan telunjuknya kepada Mira. "Oya, aku akan membawa kasus ini ke ranah hukum!""Aluna!" teriak Umar."Apah?" jawab Aluna dengan culas. Gadis bercadar itu yakin sekali jika Riko hanyalah alat, dan dalang utama dari kasus ini masih hidup dan masih berkeliaran dengan santai tanpa rasa berdosa."Apa kamu akan memenjarakan orang yang sudah mati? Sudah lah, kamu jangan mempersulit dirimu sendiri. Kalau kamu melaporkan ini ke kepolisian, kamu pun nggak punya bukti yang kuat, Lun. Belum lagi ketika proses penyelidikan, orang akan tau kasus ini, apa kamu nggak malu?" tanya Umar, laki-laki itu mencoba menasehati Aluna agar memikirkan lagi tentang tindakan yang akan dia ambil. Ia tidak mau jika tindakan Aluna justru akan mempersulit Aluna sendiri di masa yang akan datang."Keluar, Mir! Aku tidak ingin melihatmu lagi saat ini! Keluar!" teriak Aluna mengusir Mira dari ruang kantor milik CEO muda itu. Kali ini, Aluna merasa bahwa Mira tau segalanya, ia yakin sekali jika Mira terlibat dalam masalah ini, tapi Aluna tidak memiliki bukti yang kuat. Apalagi botol minuman itu pun tidak ia simpan.Aluna berjalan gontai dan duduk di kursi kerja milik Umar."Keluar lah dulu," ucap Umar pelan kepada Hendra. "Tinggalkan kami berdua saja!" lanjut laki-laki keturunan Arab itu."Sudah lah, Lun. Apa pun dan bagaiaman pun keadaanmu, aku berjanji, aku akan terus melindungimu seperti sebelum-sebelumnya!" Umar menatap lembut gadis bermata teduh yang masing menenggelamkan wajahnya di antara kedua tangannya yang terlipat di atas meja."Terima kasih Umar, kamu selalu ada saat aku dalam keadaan begini, saat ini aku benar-benar merasa sangat hampa. Aku tidak tau siapa diriku. Aku merasa seperti seonggok sampah yang tidak memiliki harga diri, Umar!" Aluna berbicara dalam isak tangisnya. "Wallahi aku telah menjaga diri dan kehormatanku karena Allah, tapi kenapa Allah membiarkan manusia jahanm merampas kehormatanku seperti ini? Apa dosaku Umar?""Lun jangan berprasangka buruk kepada Allah, Lun. Ingat Lun, tidak ada sesuatu apa pun yang terjadi di dunia ini karena kebetulan. Semua ujian yang telah terjadi sudah kita sepakati di hadapan Allah. Pasti ada faedah yang bisa kita ambil setelahnya. Allah mencintaimu, Allah mengijimu dengan hal yang berat, karena kamu mampu." Umar menasehati Aluna dengan nada bicara yang sangat lembut dan penuh kasih sayang seperti biasanya. Umar memang selalu melindungi Aluna dari mereka masih kecil. Ia tidak pernah membiarkan orang lain menyakitinya, Aluna adalah sepupu kesayangan Umar.Umar menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan kasar. Hatinya terasa hancur melihat Aluna yang terus saja menangis. Bahkan mata Aluna terlihat bengkak dan sangat merah, Kelopak mata bagian bawahnya tampak sedikit gelap karena kurang tidur."Umar, tapi aku tidak mampu dengan semua ujian ini!" ucap Aluna, tangan kanannya mengambil sebuah cutter yang ada di tempat pulpen di ujung meja kerja Umar."Lun, apa yang kamu lakukan? Itaqillah!" ucap Umar kaget."Astagfirullah!" teriak Aluna sambil melempar pisau cutter yang ada di tangan kanannya. Aluna dengan sepontan melepas kain penutup wajahnya untuk menutup luka sayatan di nadi tangan Umar. "Maafkan aku, Umar!" ucap Aluna yang ketakutan ketika melihat darah yang mengalir dengan sangat cepat dari nadi tangan kiri Umar yang entah bagaimana bisa tersayat saat ia berusaha mencegah Aluna menyayat nadinya sendiri. Kejadian itu sangat cepat. "Jangan panik, aku baik-baik saja, antar aku ke rumah sakit!" Umar yang memiliki kelainan darah pun segera meminta Aluna mengantarnya ke rumah sakit. Ia memiliki penyakit hemofilia, sehingga ia harus mendapatkan penanganan yang tepat dari petugas medis. Di dalam mobil Aluna terus saja berdoa sambil menekan luka sayatan di tangan Umar menggunakan es batu yang di balut dengan kain. Saat itu wajah Umar sudah tampak sedikit pucat dan lemas. Kali ini Aluna sudah merasa sangat bodoh. "Umar bertahanlah! Aku mohon! Aku tidak akan memaafkan diriku jika kamu kenap
"Lun, pulang lah, sepertinya keadaanmu sedang kurang baik!" ucap Ummu Mariyah dengan lembut. "Biar Kholah yang nungguin Umar!" lanjut wanita paruh baya itu. "Tidak, Luna baik-baik saja, kok!" ucap Aluna. Ada kesedihan yang menggelayut di dadanya. Keramahan dan kebaikan Ummu Mariyah membuat Aluna merasa semakin bersalah dan rendah. Gadis itu kali ini merasa menjadi manusia paling curang, ia mencari aman dengan berbohong. Andai saja Aluna berbicara jujur, mungkin dia akan lebih tenang, tapi sayangnya gadis itu tidak mampu. Sepertinya ia takut jika bibinya itu menyalahkannya. "Sudah biarkan saja! Nanti Kholah panggilkan petugas kebersihan untuk membereskan!" "Tidak apa, biar Luna aja!" Umar melihat ke arah Aluna yang sedang membereskan pecahan gelas. Laki-laki itu yakin jika Aluna sedang ketakutan. Ia pun mulai berbohong kepada ibunya sendiri hanya untuk melindungi Aluna. "Ini hanya kecelakaan saja, Mi. Hanya karena aku ceroboh. Sudahlah Mi, hal seperti ini tidak akan terjadi lagi. J
"Sudah lah, itu bukan hal yang lucu untuk dibercandakan, Umar!" ucap Aluna sambil kembali menyuapkan makanan terakhir ke dalam mulut Umar. Aluna melakukan itu semata-mata karena ia merasa sangat bersalah. "Aku serius!" ucap Umar. Aluna meninggalkan Umar dan meletakan piring bekas makan di nampan yang ada di ata meja kaca. "Sebaiknya kita tidak membicarakan ini, atau aku akan memutuskan untuk tidak lagi berbicara denganmu!" ancam Aluna tanpa melihat ke arah Umar sama sekali. Gadis itu langsung duduk di sofa, tanpa mengambilkan minum untuk Umar. "Tapi, Lun, kalo Hamzah tidak menerimamu, kamu masih ada waktu untuk membatalkan pernikahan kalian!" Aluna mengambil sebotol air mineral yang ada di atas meja dan menenggaknya hingga nyaris habis. "Sudah lah, berhenti membicarakan itu lagi!" ucap Aluna sambil mengembuskan napas panjang. Saat ini gadis itu merasa sedang berada di tempat yang salah. Seharunya di menuruti saja perintah ibunya untuk berdiam saja di rumah. "Pernikahan itu bukan se
Mira dan Aluna masuk ke dalam ruangan Umar. Saat itu ada Hendra yang sudah bersiap untuk keluar kantor, tapi laki-laki itu memilih untuk tinggal. Sepertinya laki-laki itu khawatir jika terjadi pertengkaran yang berujung petaka di antara keduanya. "Duduk lah!" ucap Aluna dengan suara yang datar dan sedikit lesu. Sebenarnya kali ini hatinya sudah tidak memiliki gairah untuk memperjuangkan keadilan atas miliknya yang telah hilang. Mira yang merasa bersalah pun duduk di sofa panjang, Aluna pun duduk di ujung yang lain. Hendra hanya terdiam, menyimak apa yang akan meraja perbincangkan. "Aku sangat berharap kamu bisa berbicara jujur kepadaku, Mir!" "Apa yang harus aku katakan jika memang aku tidak mengetahui apa pun di belakang ini semua, Lun? Demi Tuhan, Lun. Aku pun merasa sedih atas segala keburukan yang menimpamu. Jika saja aku memiliki mesin waktu, aku akan menahanmu untuk tidak pergi, walau harus berkelahi hingga aku mati. Tatapan matamu padaku sangat menyakitkan, Lun!" Mira kembal
"Warna henanya samar!" ucap Bibi yang membantu melukis hena di tangan Luna. "Emang kenapa, Ammah?" tanya Aluna yang memang tidak paham dengan cerita adat istiadat dari sukunya. Ayah dan ibunya tidak pernah menceritakan apa pun tentang hena. "Jika hena itu tebal dan tegas, itu menandakan pernikahan kalian akan awet dan bahagia, tapi kalau samar, maka sebaliknya." Ucapan wanita itu sebenarnya sedikit menggoyahkan keyakinannya apa kah ia akan bahagia dengan Hamzah, atau justru benar apa yang dikatakan oleh wanita pelukis hena itu."Apa itu pasti terjadi? Atau hanya sebuah mitos saja?" tanya Aluna yang memang tidak percaya dengan cerita mitos atau pun ramalan. "Itu cerita turun temurun di budaya kita, Nona!" "Anda bisa menimpanya lagi?" tanya Aluna santai. Gadis cantik itu sepertinya tidak mengambil pusing dengan cerita mitos itu. Aluna meraih ponselnya yang berdering di atas meja rias dengan tangan kirinya. "Hallo malam, Brian! Ada apa?Nggak biasanya telpon malam-malam begini!" ucap
"Apa kamu bahagia dengan Hamzah?" tanya Sofiyah kepada Aluna. Aluna yang tidak menyangka jika Sofiyah menanyakan hal itu pun mengeryitkan dahinya. Awalnya ia berpikir mungkin Sofiyah akan menanyakan tentang kejadian di Hotel kemarin. "Tentu saja, kenapa kamu menanyakan itu?" Aluna mengambil sepotong kueh kering yang ada di dalam toples yang ada di depannya. "Aku tidak terlalu mengenal Hamzah, kami bukan Kaka adik yang dekat. Kamu tau sendiri kan aku dan dia beda ibu. Aku sangat berharap jika nanti setelah Hamzah menikah denganmu, dia akan bisa lebih dekat denganku dan menerima keberadaan ummiku di rumah. "Iya, doain aku biar bisa menjadi wasilah kedekatan kalian." Perbincangan siang itu berlangsung sangat hangat. Aluna memang sangat baik, walau dia sedikit ketus kepada orang yang baru ia kenal. Namun, setelah saling mengenal, dia adalah orang yang sangat peduli dan tidak enakkan kepada orang lain. ***Hari pun berlalu begitu saja, Umar sudah sehari di rumahnya. Ia sudah pulang dar
Suara teriakan Umar menyita beberapa pengunjung yang mendengarnya. Umar pun masuk ke dalam gedung, sebagai keluarga yang cukup dekat, Abu Umar pun langsung mendekati Hamzah dan Ja'far, begitu juga Umar ia mengikuti ayahnya. "Barakallahu laka wa baraka 'alaika wa jama'a bainakuma fi khairin." Umar menjabat tangan Hamzah sambil berdo'a. Laki-Laki itu memaksakan dirinya untuk tersenyum dan menampakan kebahagiaan, walau sebenarnya hatinya merasakan kehancuran yang luar biasa. "Aamiin, terima kasih, Umar!" ucap Hamzah sambil menepuk tangan Umar dengan tangan kirinya. Setelah berbincang sejenak, Umar pun memilih untuk berada di kursi tamu bersama Hendra, sekretaris pribadinya. Mereka berdua duduk berdampingan, padahal sebenarnya, harusnya Umar menjadi salah satu anggota kerabat yang ikut prosesi adat temu pengantin. Namun karena dia baru pulang dari rumah sakit, ayahnya pun membiarkannya duduk di kursi tamu. Semua orang bertepuk tangan dan bersolawat saat tirai penutup pengantin perempua
"Maaf ini acara sakral keluarga saya yang sekaligus adalah marketing kepercayaan saya. Saya tidak mungkin meninggalkan acara ini, jika Anda mau, sekretaris saya bisa mengantarkan Anda sekarang juga!" Umar menolak permintaan Raflesia dengan sangat tegas, tanpa rasa tidak enak sama sekali. "Hendra, tolong antarkan Nona Raflesia ke Hotel Kencana," lanjutnya kepada Hendra yang masih duduk di sampingnya. "Baik, Tuan!" ucap Hendra kepada bosnya. Saat itu wajah Rafflesia terlihat sedikit murung seketika. Rasa kecewanya terlihat sangat jelas dan tidak dapat ia sembunyikan. Umar yang enggan menanggapi gadis itu pun berpamitan untuk bergabung dengan keluarga besarnya. "Saya pamit dulu ke sana!" ucap Umar sambil menunjuk ke arah ibunya. Laki-Laki itu sepertinya sudah memiliki firasat yang kurang baik jika dia menuruti permintaan Raflesia. "Mari saya antar!" ucap Hendra kepada Raflesia yang menghilangkan senyum manis di wajahnya. "Maafkan Tuan Umar, beliau baru saja pulang dari rumah sakit, mun