Suara teriakan Umar menyita beberapa pengunjung yang mendengarnya. Umar pun masuk ke dalam gedung, sebagai keluarga yang cukup dekat, Abu Umar pun langsung mendekati Hamzah dan Ja'far, begitu juga Umar ia mengikuti ayahnya. "Barakallahu laka wa baraka 'alaika wa jama'a bainakuma fi khairin." Umar menjabat tangan Hamzah sambil berdo'a. Laki-Laki itu memaksakan dirinya untuk tersenyum dan menampakan kebahagiaan, walau sebenarnya hatinya merasakan kehancuran yang luar biasa. "Aamiin, terima kasih, Umar!" ucap Hamzah sambil menepuk tangan Umar dengan tangan kirinya. Setelah berbincang sejenak, Umar pun memilih untuk berada di kursi tamu bersama Hendra, sekretaris pribadinya. Mereka berdua duduk berdampingan, padahal sebenarnya, harusnya Umar menjadi salah satu anggota kerabat yang ikut prosesi adat temu pengantin. Namun karena dia baru pulang dari rumah sakit, ayahnya pun membiarkannya duduk di kursi tamu. Semua orang bertepuk tangan dan bersolawat saat tirai penutup pengantin perempua
"Maaf ini acara sakral keluarga saya yang sekaligus adalah marketing kepercayaan saya. Saya tidak mungkin meninggalkan acara ini, jika Anda mau, sekretaris saya bisa mengantarkan Anda sekarang juga!" Umar menolak permintaan Raflesia dengan sangat tegas, tanpa rasa tidak enak sama sekali. "Hendra, tolong antarkan Nona Raflesia ke Hotel Kencana," lanjutnya kepada Hendra yang masih duduk di sampingnya. "Baik, Tuan!" ucap Hendra kepada bosnya. Saat itu wajah Rafflesia terlihat sedikit murung seketika. Rasa kecewanya terlihat sangat jelas dan tidak dapat ia sembunyikan. Umar yang enggan menanggapi gadis itu pun berpamitan untuk bergabung dengan keluarga besarnya. "Saya pamit dulu ke sana!" ucap Umar sambil menunjuk ke arah ibunya. Laki-Laki itu sepertinya sudah memiliki firasat yang kurang baik jika dia menuruti permintaan Raflesia. "Mari saya antar!" ucap Hendra kepada Raflesia yang menghilangkan senyum manis di wajahnya. "Maafkan Tuan Umar, beliau baru saja pulang dari rumah sakit, mun
Hamzah menunggu beberapa detik, kemudian mengulangi salamnya. Laki-laki itu pun masuk ke dalam ruang rias. ia melihat istrinya sudah berganti pakaian dan terlihat tergesa-gesa berjalan ke arah pintu belakang. "Lun!" panggil Hamzah kepada istrinya, di ruangan itu sudah tidak ada siapa pun, termasuk Ummu Habibah, ibunya Aluna. "Eh, iya Mas!" jawab Aluna, gadis itu membelalakkan matanya karena kaget. "Kenapa lewat situ?" tanya Umar lagi sambil mendekati istrinya. "Eh, aku pengen buru-buru ke kamar, Mas, capek banget!" "Kamar kita ke arah depan, Sayang!" Hamzah memeluk mesra istrinya dari belakang. Laki-laki itu kini merasa sangat leluasa menyentuh Aluna. Ia pun membalikan badan Aluna ke arahnya. "Jangan sekarang, Mas! Aku takut ada orang lain yang melihat!" ucap Aluna sambil menundukkan wajahnya. "Kenapa? Apa kamu malu padaku? Aku suamimu, Sayang!" Hamzah menaikan dagu Aluna dengan tangan kanannya. Laki-laki itu tampak sangat tampan dan menawan. Tok ... Tok ...."Astagfirullah!" S
"Hallo! Hallo!" ucap Umar dengan nada yang semakin meninggi. Laki-laki itu melemparkan ponsel ke jok mobil sebelahnya dengan kasar. Saat ini ia tidak mungkin menelpon Aluna untuk mengurus proyeknya dengan perusahaan milik Ayah Raflesia. Umar yang sebenarnya sudah dekat dengan rumahnya pun memutar balik mobilnya menuju PT Bintang Sakti yang ada di daerah Kelapa gading. Sebenarnya Umar tidak suka di tekan seperti itu, jika saja Umar tidak memikirkan kesejah teraan kariawan yang ada di bawah tanggung jawabnya, dia mungkin akan dengan senang hati memutus kontrak kerja antara perusahaannya dengan perusahaan milik ayah Raflesia. Umar tidak terlalu suka hal yang bertele-tele, apalagi ia pun merasa jika sebenarnya yang Raflesia inginkan bukan lah kerja sama perusahaan. Umar melihat ke arah ponselnya yang tiba-tiba kembali berdering, kali ini sekretaris pribadinya menelpon. "Ada apa Hendra?" tanya Umar dengan ketus, ia yakin sekali jika Hendra hanya akan bilang ancaman dari Raflesia. "PT Bi
"Apa laki-laki itu menelpomu?" tanya Hamzah sambil meraih ponsel milik Aluna."Laki-Laki yang mana?" Aluna mengernyitkan keningnya. "Laki-laki yang ada di foto saat itu." "Astagfirullah, ini Umar Mas, silakan aja Mas angkat teleponnya kalau mas nggak percaya." Aluna yang kesal pun menyodorkan ponselnya kepada Hamzah dengan sedikit kasar. "Baru tadi merasakan kasih sayang, baru beres nikah. Udah begini lagi, Mas?" Aluna duduk di atas sofa yang empuk sambil merajuk. "Ya, sudah angkat saja, siapa tau memang penting, Sayang! Maafin aku, ya!" Hamzah kembali mencoba membujuk istrinya. Laki-laki itu pun tidak mau jika bukan madunya gagal begitu saja hanya karena kesalahan pahaman yang tidak perlu. "Ah, gak usah. Lagian aku udah wa dia kok, cuman masalah kerja. Kalau nggak percaya, coba aja lait pesonanya." Aluna merajuk seperti anak kecil yang sedang kesal kepada ibunya. Hamzah yang merasa gemas pun memeluk istrinya yang masih duduk di tas sofa dengan melipat kedua kakinya dah bersedekap
Di lobi hotel, beberapa kariawan berkumpul membuat kejutan untuk Aluna. Ada dekorasi bunga cantik dan balon-balon bertuliskan namanya, dilengkapi dengan ucapan selamat atas pernikahan mereka. "Mas yang merencanakan ini semua?" tanya Aluna masih dengan sedikit gemetar. Wanita bercadar itu kembali memeluk suaminya dengan erat di depan banyak orang. Orang-orang itu pun memberikan ucapan selamat kepada Aluna dan Hamzah. Setelah acara penyambutan selesai, Hamzah dan Aluna diantarkan ke sebuah kamar dengan tipe presiden suite. Aluna berjalan ke arah jendela kamar yang langsung melihat taman serta kolam renang yang besar. Aluna masih tidak percaya dengan kejutan demi kejutan yang diberikan oleh suaminya. "Apa kamu menyukainya, Sayang?" Hamzah memeluk tubuh mungil Aluna yang masih berdiri di depan kaca jendela kamar hotel. "Sangat, Mas. Aku tidak pernah sekali pun membayangkan kalau mas bakalan bikin kejutan demi kejutan seperti ini, ini benar-benar luar biasa, Sayang!" Aluna Melepas cadar
Aluna pun menangis sendirian di kamar. Akhirnya hal yang ia takutkan pun terjadi. Benar apa yang ia pikirkan, jika memang tidak akan ada orang yang bisa menerimanya, jika orang itu tau bagaimana keadaannya sebenarnya. Aluna menengok ke belakang saat ia mendengar suara pintu kamar hotel yang terbuka. Wanita cantik itu melihat suaminya yang baru saja masuk kamar. Ia pun langsung berlari ke arah Hamzah. "Mas dari mana? Aku cariin?" tanya Aluna sambil bersiap memeluk suaminya, tapi sayangnya, belum sempat wanita itu memeluk Hamzah, laki-laki itu langsung menyingkir. "Mas kenapa? Mas marah sama aku?" Aluna berdiri terdiam sambil melihat punggung suaminya yang terus berjalan masuk ke kamar tanpa mempedulikannya. "Mas!" ucap Aluna sambil mendekati suaminya, duduk di atas sofa yang beru sore tadi menjadi saksi betapa romantisnya hubungan mereka berdua. "Aku cape, Lun!" Hamzah menghela napas panjang. Dari caranya berbicara, Aluna tau pasti jika suaminya saat ini benar-benar dalam keadaan
"Aku tidak tau, Lun. Aku pun sebenarnya belum siap kehilangan kamu, tapi apa aku mampu mengingat hari ini?" "Demi Allah, aku tidak pernah berselingkuh darimu, Mas!" ucap Aluna sambil memegang kedua belah tangan Hamzah. "Sudah lah, Lun. Jangan terlalu banyak bersumpah. Baiklah, aku akan mencoba untuk kembali mencintaimu, tapi apa kamu bisa membantuku menumbuhkan cinta lagi kepadaku?" Hamzah menatap wanitanya dengan tatapan mata penuh tanya. "Aku akan sabar menemani, Mas. Aku janji." "Tapi ini berat!" Hamzah memaksakan diri untuk tersenyum kepada wanita yang saat ini masih memegangi kedua belah tangannya. "Aku tau, Mas. Tapi aku mohon, aku tidak ingin bercerai, Mas." Aluna kembali memohon kepada suaminya agar dia tidak diceraikan hari itu juga. Ini adalah permohonan yang kedua kalinya. "Sudah lah, sebaiknya besok kita segera pulang ke Jakarta. Di rumah banyak orang, mungkin itu bisa menghilangkan pikiranku untuk terus mengingat tentang itu. Kita juga akan sibuk dengan pekerjaan ma