Di lobi hotel, beberapa kariawan berkumpul membuat kejutan untuk Aluna. Ada dekorasi bunga cantik dan balon-balon bertuliskan namanya, dilengkapi dengan ucapan selamat atas pernikahan mereka. "Mas yang merencanakan ini semua?" tanya Aluna masih dengan sedikit gemetar. Wanita bercadar itu kembali memeluk suaminya dengan erat di depan banyak orang. Orang-orang itu pun memberikan ucapan selamat kepada Aluna dan Hamzah. Setelah acara penyambutan selesai, Hamzah dan Aluna diantarkan ke sebuah kamar dengan tipe presiden suite. Aluna berjalan ke arah jendela kamar yang langsung melihat taman serta kolam renang yang besar. Aluna masih tidak percaya dengan kejutan demi kejutan yang diberikan oleh suaminya. "Apa kamu menyukainya, Sayang?" Hamzah memeluk tubuh mungil Aluna yang masih berdiri di depan kaca jendela kamar hotel. "Sangat, Mas. Aku tidak pernah sekali pun membayangkan kalau mas bakalan bikin kejutan demi kejutan seperti ini, ini benar-benar luar biasa, Sayang!" Aluna Melepas cadar
Aluna pun menangis sendirian di kamar. Akhirnya hal yang ia takutkan pun terjadi. Benar apa yang ia pikirkan, jika memang tidak akan ada orang yang bisa menerimanya, jika orang itu tau bagaimana keadaannya sebenarnya. Aluna menengok ke belakang saat ia mendengar suara pintu kamar hotel yang terbuka. Wanita cantik itu melihat suaminya yang baru saja masuk kamar. Ia pun langsung berlari ke arah Hamzah. "Mas dari mana? Aku cariin?" tanya Aluna sambil bersiap memeluk suaminya, tapi sayangnya, belum sempat wanita itu memeluk Hamzah, laki-laki itu langsung menyingkir. "Mas kenapa? Mas marah sama aku?" Aluna berdiri terdiam sambil melihat punggung suaminya yang terus berjalan masuk ke kamar tanpa mempedulikannya. "Mas!" ucap Aluna sambil mendekati suaminya, duduk di atas sofa yang beru sore tadi menjadi saksi betapa romantisnya hubungan mereka berdua. "Aku cape, Lun!" Hamzah menghela napas panjang. Dari caranya berbicara, Aluna tau pasti jika suaminya saat ini benar-benar dalam keadaan
"Aku tidak tau, Lun. Aku pun sebenarnya belum siap kehilangan kamu, tapi apa aku mampu mengingat hari ini?" "Demi Allah, aku tidak pernah berselingkuh darimu, Mas!" ucap Aluna sambil memegang kedua belah tangan Hamzah. "Sudah lah, Lun. Jangan terlalu banyak bersumpah. Baiklah, aku akan mencoba untuk kembali mencintaimu, tapi apa kamu bisa membantuku menumbuhkan cinta lagi kepadaku?" Hamzah menatap wanitanya dengan tatapan mata penuh tanya. "Aku akan sabar menemani, Mas. Aku janji." "Tapi ini berat!" Hamzah memaksakan diri untuk tersenyum kepada wanita yang saat ini masih memegangi kedua belah tangannya. "Aku tau, Mas. Tapi aku mohon, aku tidak ingin bercerai, Mas." Aluna kembali memohon kepada suaminya agar dia tidak diceraikan hari itu juga. Ini adalah permohonan yang kedua kalinya. "Sudah lah, sebaiknya besok kita segera pulang ke Jakarta. Di rumah banyak orang, mungkin itu bisa menghilangkan pikiranku untuk terus mengingat tentang itu. Kita juga akan sibuk dengan pekerjaan ma
"Tidak Mas, aku jalan-jalan sendiri aja, ke sekitaran sini aja naik bentor, aku liat kemarin banyak bentor di jalanan. Sebelum ke Jakarta, aku pengen keliling Jogja naik becak motor." Aluna berbicara sambil tersenyum kepada suaminya yang tidak melihat ke arahnya sama sekali. "Everything is okay!" bisik Aluna pada dirinya sendiri sambil berjalan ke arah kopernya untuk berganti pakaian. Setelah berganti pakaian, Aluna pun berpamitan kepada Hamzah. Hamzah hanya menjawab sekadarnya saja. Aluna pun keluar kamar hotel dengan langkah yang sedikit gontai. Wanita cantik itu terus berjalan lurus tanpa menengok ke arah belakang sama sekali, ia yakin sekali jika Hamzah tidak mungkin mengejarnya. Aluna masuk ke dalam lift yang kosong, ia baru menyadari jika ternyata ada orang di belakangnya, takut wanita cantik itu tidak menghiraukannya sama sekali. Bahkan ia pun tidak melihat ke arah orang itu, Aluna hanya melihat kakinya saja. Laki-laki itu ternyata tidak sendiri, ada empat orang laki-laki lai
"Kok Mas tiba-tiba ada di sini?" tanya Aluna kaget. Wanita itu tidak merasa diikuti dari tadi sama sekali. Ia pun tidak melihat pengawal Hamzah mengikutinya. "Kenapa? Kamu kaget, ya?" Dari gaya dan nada bicara Hamzah, Aluna sudah faham betul bahwa laki-laki itu sedang marah dan emosi kepadanya. "Ya, nggak papa kaget aja, sih, aku yakin Mas pasti udah salah paham, deh." "Salah paham? Di bagian mana aku salah paham? Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kamu sedang berjalan dengan laki-laki lain, ini salah paham? Apanya lagi yang salah? Apa orang ini pelakunya?" Hamzah mencengkeram kerah baju Brian. "Jangan, Mas! Bukan dia, Mas!" ucap Aluna sambil menghalangi pukulan kepalan tangan Hamzah yang hampir saja melesat ke arah wajah Hamzah. Kali ini Hamzah benar-benar marah kepada Aluna dan Brian. Hamzah berpikir akhirnya Hamzah bisa bertemu dengan laki-laki selingkuhan Aluna dan mengambil kesucian istrinya tanpa pernikahan. "Dia siapa?" teriak Hamzah tepat di samping telinga Aluan.
"Mas mau apa, sih? Igh!" Aluna mendorong tubuh Hamzah dengan sekuat tenaga, tapi Hamzah hanya bergerak mundur satu langkah saja. "Bukankah kamu sudah biasa melayani laki-laki itu? Kenapa kamu menolak denganku, bukankah aku suamimu?" Hamzah memegang tangan sebelah kanan Aluna dengan cengkraman yang sangat keras. Aluna tidak pernah membayangkan jika dia akan direncanakan seperti itu hanya karena dia tidak berkata jujur tentang keadaan dirinya yang sebenranya. "Mas, tolong jangan begini!" Aluna memohon kepada suaminya agar bertingkah lebih lembut dan baisa saja. Hamzah menarik cadar Aluna hingga benar-benar terlepas. Perempuan itu pun mulai menangis, dan terus memohon kepada suaminya agar berhenti. Namun, sepertinya rengekan Aluna itu tidak dihiraukan sama sekali oleh Hamzah. Ia seperti orang lain, jauh sekali dari Hamzah yang dikenal oleh Aluna saat ini. Kelembutan, kesopanan, dan rasa hormat kepada perempuan, kini telah hilang dari diri Hamzah. Aluna tau, jika Hamzah memang sudah k
"Apa kamu ragu padaku?" tanya Sofia sambil menggenggam tangan Aluna. Gadis itu sepertinya sangat mengerti jika keadaan Aluna saat ini sedang tidak baik-baik saja. "Tidak, tapi aku hanya butuh waktu untuk tidak membicarakan tentang itu, Sof. Aku harap kamu mengerti," ucap Aluna lirih sambil meneteskan air matanya. "Iyah, aku bisa mengerti!" Sofiyah memeluk Aluna. "Ingat, kamu tidak sendiri, ya! Kamu orang yang sangat baik, semua pasti akan baik-baik saja." Sofiyah mengecup kedua telapak tangan Kaka iparnya. "Terima kasih!" Aluna tersenyum menahan sakit di dalam hatinya. Saat ini ia merasa seperti sedang berdiri di dalam kegelapan tanpa cahaya dan ia hanya berjalan sendiri di tepi jurang. "Jika kamu mau, aku bisa mengantarmu!" "Tidak perlu, aku bisa diantar sopir, kok. Ya udah aku berangkat dulu, ya!" Aluna berpamitan kepada Sofia untuk segera berangkat ke kantor Umar. Sampai saat ini dia masih bekerja di tempat itu. Setelah menikah, Aluna selalu diawasi oleh pengawal Hamzah tanpa s
"Apa kalian digaji di sini untuk bergosip?" tanya Umar sambil melipat kedua belah tangannya di depan dada. Beberapa kariawan di sana saling menatap dan berbisik satu sama lain, mereka saling menerka-nerka kira-kira setelah ini apa yang akan terjadi kepada Mira dan Aluna. Akan tetapi, karyawan yang sudah lama bekerja di sana mengatakan bahwa, tidak akan terjadi apa pun kepada dua perempuan itu. Semua itu tentu saja karena Mira dan Aluna bukan hanya sekedar karyawan baisa. "Maaf, Bos, kami kelepasan karena saking bahagianya!" ucap Aluna sambil mendongak ke atas, melihat ke arah Hamzah berdiri. Laki-laki itu berdiri tepat di samping kanan meja Aluna. "Untuk hukumannya, setelah jam istirahat, kalian harus ikut sama aku!" "Siapa?" tanya Aluna dengan nada bicara sedikit di tekan. "Kalian berdua, lah. Pagi-pagi udah gibah!" ucap Umar. Pagi itu Aluna di UK bekerja dan dibantu oleh Mira, saat itu Mira menang tidak banyak pekerjaan, tidak semangat pekerjaan Aluna yang menumpuk karena libur