Malam harinya Aji kembali menghubungi Laila tapi beberapa kali dihubungi ponsel anaknya itu tidak aktif. Karena tidak enak hati khawatir ada apa-apa, akhirnya Aji menghubungi ponsel Rani.
Wanita 40 tahunan itu merasa heran kenapa malam-malam Aji menghubunginya. Ragu dia menerimanya apalagi tadi siang keduanya sempat terjebak dalam situasi canggung.
"Ha-lo .... " sapa Rani ragu.
"Eum, ya, Rani. Aku ... apa Laila sudah tidur?" Pria di ujung telepon juga terdengar gugup.
"Sepertinya belum, "jawab Rani sambil mendongak ke arah kamar Laila.
"Aku menghubunginya tapi tidak aktif."
"Sebentar." Rani bangkit dan berjalan menuju kamar Laila. Ini masih jam 8, Rani yakin Laila pasti belum tidur.
Benar saja, ketika Rani masuk ke kamarnya, gadis itu belum tidur.
"Ayah kamu telepon, katanya ponselmu tidak aktif." Rani memberikan ponselnya pada Laila lalu pergi.
"Maaf, Yah, aku lupa isi baterai," kata Laila pada Ayahnya begitu pons
"Kiriman dari siapa?" tanya Rani ketika melihat Laila membawa dua kantong plastik.Karena terlihat kerepotan, Rani berdiri dan mengambil alih bawaan dari tangan Laila."Di luar masih ada satu dus lagi Bun," katanya sambil memberi isyarat dengan kepalanya."Biar nanti Bunda yang ambil. Kamu duduk saja!"Setelah meletakkan dua kantong plastik besar itu, Rani bergegas keluar. Benar saja disana ada satu buah dus berukuran sedang. Yang ternyata cukup berat.Susah payah Rani membawanya ke dalam rumah. Setelah itu dia menghempaskan tubuhnya ke atas sofa."Isinya apa, sih? Berat banget." Rani mengatur nafasnya yang tersengal."Buka aja, Bun!" Laila tersenyum lucu melihat Bundanya kecapean seperti itu.Meskipun masih cape, tapi Rani memaksakannya diri untuk bangkit karena di dorong oleh rasa penasarannya. Tangannya cekatan membuka tali dan selotip yang menutup kardus tersebut."Beras? Minyak? Ini dari siapa, Nak? Apa bantuan dari
curkan Gosip Miring"Berita itu sudah menyebar, bukan tidak mungkin rumah ini akan menjadi sorotan." Rani terlihat khawatir."Bunda tenang dulu, ya. Jangan panik, aku mau hubungi ayah dulu." Laila mengusap tangan Rani untuk menenangkan.Kemudian ia meraih ponselnya dan segera menghubungi Aji."Ya, ada apa, Laila?""Ayah sudah baca berita hari ini?""Berita tentang apa? Ayah belum cek ponsel pagi ini.""Tentang Ayah dan Bunda.""Apa?! Tentang Ayah dan Bunda? Berita apa?" Aji terdengar kaget."Ayah baca sendiri, ya. Nanti aku kirim link-nya.""Baiklah, Ayah tunggu."Panggilan berakhir, beberapa detik kemudian Laila mengirimkan link berita yang baru saja dia baca pada ayahnya.Aji segera membacanya dan sontak kaget membaca berita tentang dia dan Rani yang dituduh kumpul kebo lagi."Heran dengan para pencari berita itu tidak pernah mewawancarai aku tahu-tahu berita sudah tayang.
"Hey! Kalian wartawan 'kan?" Suara seseorang terdengar dari belakang mereka.Ketiganya serentak menoleh, dan terlihat kaget."Kenapa kaget? Seharusnya kalian senang bertemu dengan saya.""Anda .... ""Saya orang yang beritanya kalian posting pagi ini. Saya ke sini untuk menawarkan diri supaya besok kalian bisa memajang berita tentang saya di halaman paling depan."Ketiga wartawan itu saling pandang, ucapan pria dihadapan mereka terdengar seperti sindiran. Tapi dia adalah Aji, yang pagi ini beritanya jadi trending topik."Bagiamana?" Aji mengangkat sebelah alisnya."Maksad Anda?" Salah satu dari wartawan itu bertanya."Kalian tahu, apa yang kalian tulis itu fitnah. Saya sama sekali tidak melakukan seperti apa yang kalian tuduhkan. Berati kalian telah memfitnah saya dana Rani.""Maaf, Pak Aji. Kami memang tidak mewawancarai Anda, karena selama ini baik anda maupun Bu Rani terkesan menghindar dari wartawan. Tapi menurut pen
"Pernyataan apa? " tanya Aji heran karena seingatnya dia tidak berkata yang menyinggung Rani."Pernyataan bahwa kita akan segera menikah, 'kan tidak lucu." Rani memberanikan diri menatap Aji."Oh itu, aku tidak sedang bercanda, kok. Aku memang serius ingin menikahimu," ucap Aji pelan sambil balas menatap Rani.Ucapan Aji tersebut membuat Rani dan Laila terkejut. Keduanya berpandangan heran."Ayah serius?" tanya Laila antusias.Aji hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Ia mengamati wajah Rani yang tanpa ekspresi. Ada sedikit perasaan kecewa, karena dia berharap Rani akan menyambut niatnya dengan senang. Setidaknya wanita itu akan tersenyum atau bahkan tersipu.Tapi kenyataannya, Rani hanya terdiam dengan ekspresi datar."Bun?" Laila mengguncang lengan Rani."Ah, iya!""Aku setuju kalau kalian rujuk," lanjut Laila penuh harap."Kamu main setuju saja, enggak nanya pendapat Bunda dulu?""Memangnya Bunda ...
Rani menarik nafas dalam-dalam, ia tidak boleh egois hanya memikirkan perasaannya sendiri."Baiklah, Bunda setuju.""Serius, Bun?" Laila berbinar.Rani tersenyum sambil berkaca keduanya lalu berpelukan. Rani sudah mengambil keputusan, apapun yang akan dikatakan netizen, Rani tak peduli. Setelah masa iddahnya habis, ia siap kembali menjadi Nyonya Aji."Makasih, ya, Bun. Aku seneng dengernya. Ayah juga pasti bahagia. Aku akan mengabari ayah dulu." Laila melepas pelukannya lalu segera menghubungi Aji."Ya, ada apa, Laila?" tanya Aji setelah menjawab salam dari anaknya."Aku punya kabar baik, Yah.""Maksud Kamu?""Coba Ayah tebak." Laila sengaja membuat Aji penasaran."Kamu itu, mau bikin Ayah penasaran, ya?""Ayo, tebak saja!""Ayah tutup teleponnya, ya." Aji balik menggoda Laila."Jangan!""Hmmm.""Ya, udah. Ayah pasti akan seneng mendengarnya kalau sebentar lagi kita akan tinggal bersama
Heru berpikir sejenak, ada baiknya mereka diizinkan beristirahat di sini saja. Toh mereka hanya meminta satu malam dan dia tidak akan keluar kamar."Tempatkan mereka di kamar samping!""Baik, Tuan.""Satu lagi, jangan beritahu siapa pun kalau aku ada di sini.""Beres, Tuan. Itu mah Mamang juga mengerti."Mang Juned turun ke lantai bawah, kemudian menemui tamunya di teras."Maaf lama, kata Juragan saya kalian boleh nginep tapi hanya satu malam.""Makasih, Pak. Tidak apa-apa satu malam karena besok kami akan melanjutkan perjalanan ke atas,"kata Aldi."Mari, lewat sini." Mang Juned mendahului mereka berjalan ke arah samping villa.Aldi dan teman-tema nya saling pandang karena ternyata mereka tidak diizinkan masuk ke dalam villa utama.Akhirnya mereka pasrah hanya bisa masuk bagian samping villa."Kalau ada apa-apa, Mamang di sana, ya. Ketuk saja pintunya." Mang Juned menunjuk pintu yang menjadi penghubung bagi
"Helen? Maksud kamu apa?" jawab suara di seberang telepon yang ternyata adalah Rani."Jadi, kamu mau mengelak?" Helen terdengar sewot."Bukannya mengelak, tapi kamu harus tahu dulu apa yang sebenarnya terjadi.""Tidak penting!" jawab Helen ketus."Kakak kamu di penjara itu karena perbuatannya, ia pantas mendapatkannya.""Kenapa kamu sebagai istrinya tidak mau membela suami sendiri? Malah menggugat cerai dan ninggalin suami yang sedang kesusahan di penjara. Istri macam apa?""Apa pantas suami seperti kakakmu itu dipertahankan? Aku kira semua wanita yang berperan sebagai ibu akan memilih anaknya daripada suaminya bejad seperti Heru." Rani tidak bisa tinggal diam ia terus-terusan disudutkan oleh Helen.Tapi bukan Helen namanya kalau dia menyerah begitu saja."Ya, karena kesalahan terbesar kakakku adalah menikahi kamu.""Dan kesalahan terbesarku adalah jika aku bertahan dengan kakakmu."Setelah berkata seperti itu Ran
"Helen!?" seru Rani."Kaget ya, kenapa aku bisa sampai di sini? Bukan hal sulit bagiku untuk menemukanmu. Aku hanya ingin menunjukkan surat gugatan ini padamu. Jadi bersiaplah, Rani!""Surat gugatan!!" Rani kaget begitu pun dengan yang lain."Iya, apa aku perlu mengulanginya?""Gugatan apa? Apa tidak salah kamu yang menggugat?" Rani merasa heran kenapa malah Helen yang menggugat dirinya."Sepertinya justru yang salah adalah otakmu, Rani. Mas Heru harus tersiksa di penjara sementara kamu enak-enakan di rumah dengan pria lain." Helen menatap sinis ke arah Aji."Jangan sembarangan bicara!" Aji yang tadi diam saja, tak tahan akhirnya ikut berbicara."Tidak usah membela diri, karena itu kenyataanya," cibir Helen."Rani sudah resmi bercerai dengan Heru, jadi di bebas menentukan pilihan lain." Aji geram terhadap adiknya Heru itu."Oh, jadi sekarang aku mengerti apa alasannya kamu menggugat cerai kakakku. Karena pria ini 'kan?"