"Ya serius lah. Masa mau menikah main-main?" Axel merangkul bahu Raline erat. Memperlihatkan pada Lily kedekatan keduanya. Axel tidak menyangka akan bertemu dengan Lily dan Axel di cinema."Baguslah kalau begitu." Lily menepuk punggung Axel gembira. Sekarang ia tidak khawatir lagi akan nasib kakaknya. Ada seorang istri yang akan menjaga dan mencintai kakaknya. "Jagain kakak gue baik-baik ya, calon ipar? Sayangi dan cintai Kak Axel cukup sepenuh hati. Tidak perlu sepenuh jiwa. So, kalau suatu saat, amit-amit... lo sakit jiwa, hati lo akan tetap sama." Lily sekarang ganti merangkul calon kakak iparnya. Akhirnya kakaknya akan menikah juga. "Kamu bicara apa sih, Sayang? Jangan membicarakan hal-hal buruk. Apalagi yang belum terjadi. Ingat, kamu sedang hamil." Heru memperingati Lily. Istrinya ini memang tidak pernah menyaring ucapannya."Tenang, Mas. Lily tidak membatin. Cuma memberi gambaran saja. Sedia payung, sebelum hujan." Lily berdeklmasi."Lanjutkan peribahasa ini calon kakak ipar.
"Apa dua hal itu?" Axel bersedekap. Ia kini menyadari. Bahwa meskipun Heru tidak mencintai Raline, tapi Heru peduli."Bunuh diri atau sisi jahatnya muncul lagi.""Bunuh diri udah berhasil gue cegah beberapa waktu lalu. Sisi jahat? Bukannya Raline ini memang jahat dari sononya? Dia pernah menyakiti Lia dan Lily bukan?" pancing Axel. Ia ingin tahu bagaimana cara Heru memandang Raline."Raline bukan jahat, Xel. Raline itu hanya mencoba mempertahankan apa yang menurutnya adalah miliknya. Dia tidak pernah mendapatkan cinta yang tulus. Makanya, begitu ia merasa mungkin akan mendapatkannya, ia akan berjuang mati-matian. Gue dan Aksa pernah menyakitinya, walaupun sebenarnya kami tidak ingin. Jangan lo tambah lagi penderitaannya.""Lo kenal dengan dosen bule Raline dulu?" Axel tiba-tiba mengubah topik pembicaraan."Nggak kenal, tapi gue tahu. Raline jatuh dalam perangkap si dosen, karena dosennya ini melimpahinya dengan kasih sayang. Maklum saja, selama delapan tahun bersama, Aksa tidak perna
"Ada apa lagi sih ini?" Raline menepuk kening tatkala memindai ribut-ribut di rumahnya. Ibunya tampak beradu mulut dengan Tante Angela, sementara ayahnya menarik-narik lengan ibunya. Ya Tuhan, masalah apalagi yang dibuat orang tuanya sekarang?Dirinya baru saja pulang menonton dan Axel mengantarnya pulang. Kini di pagar, ia sudah disambut dengan pemandangan seperti ini. Akhir-akhir ini hidupnya sangat akrab dengan masalah."Ayo kita lihat apa yang terjadi di dalam sana, calon istri." Teguran Axel memupus lamunan Raline. Ia sampai melupakan kehadiran Axel. Tidak boleh! Axel tidak boleh mengetahui kebobrokan keluarganya lagi."Kagak usah. Gue bisa mengatasi masalah keluarga gue sendiri. Lo pulang aja." Raline meraih panel pintu mobil. Ia harus secepatnya melerai pertengkaran Tante Angela dan ibunya sebelum ramai. Tetangga kanan dan kirinya sekarang mempunyai hobby baru. Yaitu memviralkan aib-aib keluarganya. Mereka kompak membalas dendam pada keluarganya, karena pada saat jaya dulu ked
"Tidak peduli kamu bilang? Kamu ibu lahirkan, ibu beri makan, ibu besarkan dan ibu sekolah hingga kamu sedewasa sekarang. Itu yang kamu sebut sebagai ketidakpedulian?" Bu Lidya mengamuk. Kehilangan tas kesayangan dan dianggap tidak peduli pada anak membuat emosinya membeludak. Anak sekarang memang tidak tahu berterima kasih."Setelah pengorbanan kami untukmu, harusnya kamu bisa membalas budi. Tunjukkan kalau kamu itu adalah anak yang baik." Pak Adjie mendukung pernyataan istrinya. Ia sudah stress terus disindir-sindir sebagai pengusaha bangkrut oleh grup golfnya. Karena ia sudah lama tidak pernah bermain golf, rekan-rekannya beramai-ramai menyindirnya. Menjadikannya bahan olokan, seolah-olah dirinya tidak ada di grup tersebut. Ia sampai keluar dari grup karena tidak tahan dibully. Ia sangat berambisi untuk kembali kaya, agar bisa membungkam mulut-mulut nyinyir yang membullynya. Raline termangu. Ia tidak tahu harus menjawab apa atas tuntutan kedua orang tuanya. "Melahirkan, memberi
"Ini setorannya, Bang. Maaf uangnya recehan." Raline mengulurkan uang ribuan yang telah ia gulung rapi dan diikat karet gelang pada Bang Ali. Setelahnya ia duduk di lantai. Meluruskan kakinya yang pegal karena menari-nari seharian di jalanan. "Rapi banget duit lo," Bang Ali membuka karet gelang dari gulungan uang yang diberikan Raline."Lihat nih, anak-anak. Duit setoran dari Raline disusun rapi. Jadi gue nggak perlu susah payah menghitung. Nggak kayak duit lo lo pada. Diuwel-uwel semua." "Bisa mendapat recehan saja sudah syukur alhamdulillah, Bang. Boro-boro sempat disusun-susun. Duit tidak seberapa juga. Buang-buang waktu." Randy ikut menyodorkan uang setoran pada Bang Ali."Taroh di meja aja sana. Lo nggak liat gue lagi ngitung uang dari Raline." Bang Ali memelototi Randy."Abang pilih kasih. Kalau cewek cantik saja, uangnya langsung dipegang. Kalau dari kami cuma dikumpulin di meja," sindir Randy."Etdah ini bocah. Lemes amat mulutnya, yak? Udah taroh sana duitnya. Potong utang
"Bagaimana kalau lukaku ini tidak akan pernah sembuh, Kak?" isak Randy pesimis."Pasti bisa. Karena semua yang ada di dunia ini sebenarnya seimbang. Contohnya ada orang sakit, tapi ada obatnya juga bukan? Obatnya memang pahit, tapi menyembuhkan. Nah lukamu nantinya akan sembuh setelah mengalami kepahitan-kepahitan hidup."Raline berusaha mengingat-ingat kata-kata yang sering dinasehatkan oleh guru-gurunya terdahulu. Seperti inilah nasehat guru-gurunya apabila ia dibully di sekolah sewaktu kecil dulu. Namun khusus untuk Randy ia akan menambahi dengan kalimatnya sendiri."Tapi sebelum si waktu bekerja, Kakak akan mencuri start duluan. Kamu tunjukkan saja di mana alamat rumahmu. Biar kakak yang akan menghadapi ayah beserta ibu dan kakak tirimu." "Jangan!" Randy menggeleng cepat. Ia tidak mau mengemis pada ayahnya. Kalau ayahnya menganggapnya bersalah, biarkan saja. Seperti kata Raline tadi, biarlah waktu yang akan menjawab semuanya. "Saya pulang ke kost-an dulu, Kak, Bang Ali." Randy d
Raline menyetir dengan tangan gemetaran. Suara desingan peluru yang mental terkena badan mobil membuatnya adrenalinnya menggila. Oh Tuhan, begini rupanya rasa deg-degan dikejar-kejar oleh musuh. Raline heran bagaimana jantung Axel bisa tetap normal jikalau ia kerap mengalami kejadian seperti ini. "Gas lagi sekencang mungkin. Kalau kita sudah mendekati jalan besar mereka tidak akan berani lagi ber--beraksi. Di lampu merah persimpangan depan nanti, tolong lo te--telepon Erick. Bilang kalo kita akan segera tiba di ru--rumah. Suruh ia menyiapkan ruang o--operasi." Axel berusaha berbicara dengan napas terengah-engah."Heh, ruang operasi? Ini kita mau ke rumah lo apa ke rumah sakit? Lo kalo ngomong yang bener dong? Jangan bikin gue bingung!" Raline panik. Sepertinya kesadaran Axel makin menurun. Buktinya omongannya sudah tidak sinkron lagi. Katanya mau ke rumah saja. Tapi si Erick disuruh menyiapkan ruang operasi. Perintah mana yang harus ia laksanakan?"Ru--rumah gue ada ruang operasi ber
"Siapa yang bernama Erick?" tanya Raline siaga. Ia bertahan tidak membuka pintu mobil sebelum mengetahui siapa orang yang mendekatinya."Gue! Cepat lo buka pintunya. Nanti si boss bisa kolaps karena kekurangan darah!""Tadi lo bilang temen. Sekarang boss. Yang mana yang bener? Jangan-jangan lo ini musuh!" "Dia Erick. Cepat bu--buka pintunya, ce--cerewet." Raline merasa tubuh di pelukannya bergerak. Axel sudah sadar rupanya."Lo ini udah ditolongin malah ngatain gue cerewet." Raline membuka pintu sambil menggerutu. Tugasnya sudah selesai. Ada para anak buah Axel yang akan mengambil alih tugasnya."Tung--tunggu!" Raline urung turun dari mobil saat Axel mencengkram pergelangan tangannya."Apalagi? Itu si Erick sudah datang. Noh, lihat! Gue mau pulang. Udah malem." Raline berdecak. "Rick," Axel mengedikkan kepalanya pada Erick, sebelum tubuhnya diangkat oleh empat orang pria kekar tatooan. Raline melongo saat pintu mobil besar berwarna hitam itu dibuka. Karena mobil tersebut di desain s