"Wanita cantik dan baik nggak akan membuat pria setia, Istriku. Wanita yang cantik, baik, pintar dan perhatian pun belum tentu akan membuat seorang pria setia.""Begitu ya? Lantas apa yang bisa membuat mereka setia?" Raline makin penasaran. Kalau yang baik, cantik, pintar dan perhatian saja tidak akan membuat laki-laki setia, lantas apa? Awas saja kalau Axel menjawab tidak akan ada!"Jawabannya adalah dirinya sendiri," jawab Axel yakin."Heh, maksudnya?" Raline terduduk. Ia tahu cara berpikirnya mungkin memang sedikit di bawah rata-rata. Ia menginginkan penjelasan yang lebih dalam lagi."Begini, Sayang. Seorang pria akan setia, jika dia memang ingin setia. Kalau tidak, yang diberi wanita cantik, baik, pintar, perhatian dan sesempurna apapun, ia tidak akan pernah merasa cukup. Sebaliknya jika dia memang ingin setia, wanitanya tidak cantik, tidak pintar, tidak perhatian dan segala minusnya, ia akan tetap setia. Seperti gue yang tiap hari dikelilingi oleh wanita-wanita cantik di club. Ta
"Ayo kebut, Pak!" Raline menyemangati Pak Hamid. Ia memindai ada dua buah mobil yang mengejar tepat di belakang mereka."Lo santai aja, Raline. Pak Hamid dan mobil itu ibarat darah dan nadinya. Cara mengemudi Pak Hamid nggak usah lo raguin lagi." Ali memperingati Raline. Ali paham apabila sedang berkendara dirusuhi akan membuat si pengemudi gugup."Astaganaga!" Raline terperanjat saat laju mobil melaju kencang dengan ritme tidak biasa. Selain kencang, Pak Hamid berbelok tanpa mengurangi kecepatan sedikit pun. Suara decit ban yang bergesekan dengan aspal, membuat gigi Raline linu. Pengejarnya pasti kaget karena Pak Hamid berbelok dengan kecepatan seperti cahaya. Sejurus kemudian mobil berjalan zig zag demi menghindari tabrakan dengan pengguna jalan lainnya. Selanjutnya Pak Hamid kembali melesat kencang, meninggalkan penguntit di belakangnya. Kedua mobil penguntitnya sudah tidak terlihat lagi. "Selamettt..." Raline mengelus dada. Ia baru berani menghembuskan napas dengan lega. Selama
"Kita langsung pulang aja ya, Nya? Kita harus segera melaporkan peristiwa penyerangan ini pada boss besar. Penjagaan pada Nyonya boss harus diperketat lagi," usul Pak Hamid."Bagaimana bagusnya menurut Bapak sajalah. Sebenarnya sih saya tidak suka menyusahkan Mas Axel. Masalah Mas Axel sudah banyak. Saya tidak ingin membebani pikirannya lagi. Lagi pula toh kita sudah selamat." Raline memberikan pendapatnya pada Pak Hamid."Tidak bisa, Nya. Kalau kita menyembunyikannya, justru akan membahayakan diri Nyonya sendiri. Lagi pula boss besar bilang, masalah sekecil apapun yang menimpa Nyonya, harus saya laporkan. Ini Nyonya sampai mau ditembak orang. Masa tidak saya laporkan?Boss besar takut kecolongan. Ingat, saat ini musuh-musuh boss besar sedang berkolaborasi untuk menyerang boss besar. Biasakan untuk tidak menyembunyikan sesuatu apalagi bertindak ceroboh. Nyawa taruhannya, Nya." Pak Hamid menasehati Raline tegas."Iya juga. Nanti kita sama-sama saja melaporkannya. Saya juga akan meminta
Raline seperti sedang berjalan di atas awan. Langkahnya mengawang, tidak menginjak bumi. Ia sedang berada di mana sebenarnya? Sayup-sayup ia mendengar suara langkah-langkah kaki mendekat diiringi beberapa orang berbicara dari kejauhan. Tidak... tidak... jauh. Rasanya malah berada di sampingnya. Saat Raline ingin menggerakkan tubuhnya, ada sesuatu yang aneh. Ia tidak bisa bergerak sama sekali!"Jadi kami bawa ke mana gadis ini, Pak?"Suara Pak Fandy!Ingatan Raline yang tercecer mulai terkumpul satu persatu. Ia tengah diculik oleh Pak Fandy cs. Saat ini ia sedang berada di dalam mobil, sementara Pak Fandy menelepon seseorang. Demi keamanan jiwa raga, Raline memilih untuk pura-pura masih pingsan saja. Dengan begitu ia bisa menguping lebih lama."Apa? Dibunuh saja? Apa tidak lebih baik kita sandera saja, sampai Axel masuk dalam jebakan. Setelahnya kita siksa dia pelan-pelan. Apa? Sebentar, suara Bapak tidak jelas. Saya mengaktifkan speaker dulu. "Mereka ingin melenyapkannya ternyata! Si
"Kita menunggu kakak saya ke ruang kerja saja, Tang." Pak Fandy dan Tatang meninggalkan Engkus."Ayo Neng. Lewat sini jalannya." Engkus menghela lengan Raline. Raline tidak langsung berjalan. Ia sengaja menunggu sampai langkah-langkah kaki Pak Fandy dan Tatang tidak terdengar, baru ia melangkah terseok-seok."Pak Engkus. Daripada Bapak nuntun-nuntun saya kayak orang buta, bagusan Bapak buka aja penutup mata saya. Kan kita sama-sama enak jadinya." Raline membujuk Pak Engkus. Pak Engkus ini kelihatannya sedikit lebih baik."Memang lebih enak sih, Neng. Jadi nggak nyusahin saya. Tapi 'kan nanti si Eneng jadi bisa ngeliat suasana rumah. Nanti saya diamuk sama boss besar." Pak Engkus galau. "Ya jangan dibilangin atuh, Pak. Kan jadinya si boss kagak tau." Raline mengikuti logak Pak Engkus. "Iya juga ya? Sini saya bukain kainnya." Pak Engkus membuka kain penutup mata Raline. Ia kemudian menyampirkan kain ke bahunya."Ikuti saya, Neng. Biar cepet selesai urusannya." Pak Engkus berjalan terl
Suara decitan ban yang nyaring menyadarkan Pak Hamid akan satu hal. Bahwa boss besarnya telah tiba di lokasi kejadian. Pak Hamid dan Ali masih shock karena gagal menyelamatkan Raline. Mereka berdua tidak berhasil mengejar mobil yang menculik Raline karena dihalangi dua unit mobil lainnya. Para penculik Raline ini sepertinya terdiri dari banyak orang. Akhirnya mereka kembali ke tempat kejadian, agar Axel bisa memeriksa TKP.Sejurus kemudian terdengar suara pintu mobil yang dibuka dan ditutup secara bersamaan, diikuti dua pasang langkah-langkah kaki yang mendekat. Pasti itu adalah Axel dan Erick. Pak Hamid dan Ali membalikkan badannya. "Apa yang terjadi, Pak Hamid? Bapak punya gambaran tidak siapa yang menculik istri saya?" Axel menghampiri Pak Hamid. Ia mengabaikan Ali. Dari keterangan Pak Hamid saat meneleponnya tadi, Axel tahu kalau Pak Hamid bersama dengan Ali saat ini. Ali telah menyelamatkan Raline saat baku tembak di pasar."Maafkan saya, Boss. Saya tidak berhasil membawa pulan
Axel menghentikan laju mobilnya tepat di Jalan Pertempuran nomor lima belas. Seperti yang dideskripsikan Pak Adjie, ada sebuah pagar hitam tinggi di depannya. Saat ini Axel membawa lima orang bersamanya. Erick, Bang Raju, Beli Made, Kang Endang dan juga Badai Putra Alam. Polisi sekaligus teman baiknya. Saat ini Badai berpakaian preman. Sebenarnya Axel tidak mau membawa Badai. Karena menurutnya, ia bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Namun Erick berpendapat lain. Menurut Erick akan lebih mudah menggoalkan Pak Riswan jika ada Badai dalam operasi ini. Axel akhirnya setuju. Walau ia tahu sebenarnya tujuan utama Erick adalah agar ia tidak memporak-porandakan kediaman Pak Riswan. Dengan adanya Badai, semua hal harus mengikuti prosedur dan tidak boleh melanggar hukum. Badai akan menggerem aksi hukum rimbanya. "Kita hancurkan dengan Excavator atau geruduk langsung saja rumah si Riswan dengan mobil, Dai?" Setelah semua penghuni mobil keluar, Axel menggerak-gerakkan bahunya. Melakukan pe
"Kamu memang tidak tahu diri ya, Raline?" Pak Riswan merebut ponsel dari tangan Raline. Ia kemudian membanting ponsel tersebut ke lantai hingga pecah berkeping-keping. Ia menyesali kecerobohannya melepaskan borgol dari tangan anak si Adjie ini. Ia tidak menyangka kalau dibalik kenaifannya, Raline ini ternyata cerdas juga. "Yang tidak tahu diri itu, Bapak. Sudah diberi Tuhan kesehatan dan umur panjang, bukannya melakukan kebaikan disisa usia, eh Bapak malah terus memupuk kejahatan." Raline balas mengomeli Pak Riswan. "Kalau tidak segera bertobat nanti Bapak ruginya dua kali tahu." Walau Pak Riswan orang jahat, Raline tetap berusaha menyadarkannya. Menurut alim ulama, sampaikanlah kebenaran walau pada orang jahat bukan? Masalah mereka menerima nasehatnya atau tidak, itu urusan belakangan."Rugi dua kali apa maksudmu?" Pak Riswan menjinjitkan alis kombinasi hitam putihnya. "Rugi yang pertama, Bapak akan dihukum di dunia alias masuk penjara. Rugi yang kedua, Bapak akan dihukum di akhir