"Nyonya muda Ivy tidak apa-apa, Tuan muda Race. Dia hanya kelelahan dan butuh istirahat," terang ahli kesehatan paviliun."Benar kataku, 'kan? Aku, tidak apa-apa," timpal Ivy yang kemudian mengambil posisi duduk dan melihat ke arah Race yang terus memandangnya dengan wajah khawatir."Lalu, kenapa badannya begitu dingin?" tanya Race tanpa sedikit pun melihat ke arah ahli kesehatan itu dan hanya menatap Ivy saja."Sepertinya kondisinya dari terakhir kali belum benar-benar membaik. Sepertinya Nyonya muda perlu terapi lagi dengan penyihir penyembuh," ujar ahli kesehatan itu memberikan saran.Ivy menggeleng cepat lalu melihat ke arah ahli kesehatan itu."Aku, tidak apa-apa, Doha. Berikan saja aku obat yang bisa menghilangkan sakit kepala dan lemas saja," pinta Ivy."Panggil penyihir itu lagi, Doha! Jangan menunggu lama lagi, hari ini juga panggil dia!" potong Race yang tidak berpikir dua kali untuk memberikan yang terbaik untuk istrinya.Ivy menoleh ke arah Race dengan wajah tidak percaya,
Ivy membungkukkan badannya pelan saat melihat Winter datang mengunjunginya."Selamat datang di paviliunku, Putra mahkota Winter," ucap Ivy sopan.Sejak hari itu mereka berdua memang tidak saling bertemu satu sama lain. Ivy sedikit merasa canggung dan juga takut bertemu Winter. Hingga Ivy sekarang merutuki kelakuannya yang sedikit aneh menurut dirinya sendiri."Apa yang aku lakukan," ujar Ivy dalam hati.Winter sendiri menautkan alisnya merasa heran melihat tingkah Ivy."Hei! Apa yang kau lakukan, Iv?" tanyanya tidak berlama-lama menyimpan rasa anehnya."Entahlah, akupun bingung," tukas Ivy lalu memukul-mukul keningnya sendiri.Winter terkekeh pelan melihat tingkah laku Ivy, dia lalu meraih tangan Ivy dan menahan gadis itu supaya tidak memukul-mukul keningnya sendiri."Hei! Itu akan menyakitimu," ucap Winter.Ivy sedikit terkejut dengan apa yang Winter lakukan, Ivy bisa merasakan betapa hangatnya tangan Winter yang memegang tangannya sekarang. Ivy melihat ke arah tangannya lalu sejurus
Ivy baru saja bangun, semalaman penuh dia tertidur. Ivy meringis saat merasa luka di dada kirinya berdenyut sakit. Ivy memegangi dadanya dan ternyata sudah di perban."Sakit," lirihnya.Ivy lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh area kamar. Tidak ada siapapun di kamarnya selain dirinya, entah kenapa Ivy justru merasa sedikit kecewa."Biasanya Race selalu menemaniku kalau aku sedang terluka atau sakit. Apa dia tidak tahu?" gumam Ivy lalu membuka selimutnya pelan.Ivy turun dari ranjang dan berjalan pelan menuju jendela kamarnya, entah kenapa jendela adalah tempat favorit Ivy. Gadis itu lalu melihat keluar jendela dan melihat para pelayan sedang membersihkan taman. Ivy tersenyum senang karena mereka merawat bunga-bunga kesukaannya tanpa ada perintah sedikitpun darinya.Sejurus kemudian Ivy kembali memegangi dadanya yang sakit."Kenapa sakit sekali, aku harus menggunakan sihir ku untuk menyembuhkan luka ini," ujarnya bermonolog.Ivy lalu memilih duduk di kursi dan kemudian mulai merapa
"Pipimu pasti sakit ya? Sudah lukamu belum membaik, sekarang justru menerima tamparan dari ibu," ucap Race sembari mengompres pelan pipi Ivy.Sebenarnya Ivy bisa menggunakan sihirnya untuk segera menyembuhkan bekas tamparan ibu mertuanya. Hanya saja Ivy tidak mungkin melakukannya sekarang, dia takut kalau ibu mertuanya nanti justru curiga jika tamparannya tidak berbekas."Sudahlah, aku bisa mengompresnya sendiri, Race."Ivy menahan tangan Race yang kembali akan menempelkan ice bag ke pipi Ivy.Race menatap Ivy lalu menurunkan tangannya, dia bisa melihat kalau sang istri sedang sedih. Race menghela napas dalam lalu kemudian mengangkat kepala Ivy untuk menatap wajahnya."Kau, kenapa?""Memangnya aku kenapa, Race?""Ck,,,kenapa justru bertanya? Wajahmu ini tidak bisa berbohong, Iv. Kau, memikirkan ucapan ibu?"Ivy tidak menjawab pertanyaan Race, kepalanya kembali menunduk lalu terdengar helaan napas berat dari bibir Ivy."Bagaimana kalau ibu tahu aku ini penyihir, Race? Ayah dan Ibu tida
Nyonya Maria meminum teh herbalnya pelan, wajahnya terlihat serius seperti sedang memikirkan sesuatu. Sejurus kemudian Nyonya Maria meletakkan cangkir yang dia pegang lalu memanggil Miranda yang ada di dapur. Dengan sedikit tergopoh Miranda masuk ke ruang tengah dan membungkukkan badannya hormat."Ada apa, Nyonya besar memanggil saya?" ujar Miranda."Aku, memiliki tugas untukmu," sahut Nyonya Maria to the point."Tugas apa, Nyonya besar?" tanya Miranda lagi.Nyonya Maria tidak segera menjawab dan hanya menatap Miranda sekarang. Dia berdehem pelan lalu kemudian berdiri dari posisi duduknya. Dia mendekat pada Miranda lalu membisikkan sesuatu pada pelayan yang begitu membenci Ivy itu.Di tempat lain Ivy sedang berjalan-jalan keliling paviliun bungalo tempat tinggal Race selama ini. Ivy begitu menyukai taman belakang paviliun ini. Ada kolam ikan ukuran besar di tengah-tengah taman, di bagian tengahnya juga ada patung yang mengeluarkan air yang berbentuk seseorang yang sedang menuangkan ai
Selina terus memikirkan apa yang dia lihat semalam, dia masih mencoba mencerna apa yang dia lihat itu. Selina lalu menggeleng-gelengkan kepalanya pelan lalu menarik napas dalam."Lupakan saja! Lagi pula pagi ini Nyonya muda ternyata ada di kamarnya, berarti semalam aku mungkin sedang bermimpi," ujar Selina bermonolog dan kembali memotong-motong sayuran yang akan dia masak untuk sarapan.Tidak berapa lama, Selina justru melempar pisaunya kasar dan mengerang frustasi."Tapi, aku sangat yakin tidak sedang bermimpi semalam," tukasnya kemudian."Hei! Apa yang kau gerutukan sendirian?"Suara Miranda yang entah sejak kapan datang membuat Selina menoleh ke asal suara. Selina menautkan alisnya merasa heran."Kenapa pagi-pagi sudah disini? Apa Tuan muda Race juga kesini?" tanya Selina."Em,,,dia datang sepagi ini kesini dengan Putra mahkota Winter juga," sahut Miranda membenarkan."Apa? Bukankah itu berarti aku harus menambah menu sarapan?" ujar Selina mulai panik."Kau, tidak usah panik sepert
"Masuk!" titah Nyonya Maria singkat lalu kemudian meminum tehnya.Tidak lama pintu kamar Nyonya Maria dan Tuan Milano itu terbuka, Miranda masuk dengan sopan lalu membungkukkan badannya."Miranda? Ada apa, kau datang kesini?" tanya Nyonya Maria dengan kening mengkerut heran."Saya datang kesini untuk melaporkan apa yang anda minta, Nyonya," ujar Miranda.Wajah Nyonya Miranda terlihat sumringah. Ibu Race itu lalu membetulkan duduknya dan juga menyuruh Miranda untuk duduk di depannya."Duduk dan laporkan semua yang kau tahu, Miranda!"Di paviliun lain, Winter sedang memegang benda kecil yang terikat rapi dari Ivy kemarin. Winter menatap lekat benda jimat yang sudah dibacakan mantra oleh Ivy."Apa benda ini akan benar-benar berguna bagiku? Kenapa bukan Ivy saja yang menjadi tamengku?" gumam Winter bermonolog.Winter lalu membuka ikatan benda itu hingga bisa dijadikan gelang. Winter menggunakan jimat itu di tangan kanan lalu kemudian kembali menatap jimat itu lekat."Kali ini mungkin jima
"Tidurlah! Besok pagi, aku akan mengajakmu ke basecamp," ucap Race sembari menyelimuti Ivy.Bukannya menuruti Race, Ivy justru terus menatap Race lalu meraih tangan Race pelan. Kening Race mengkerut heran."Kenapa?" tanyanya kemudian."Maaf, karenaku ayah dan ibu tadi memarahimu. Seharusnya mereka memarahiku saja, karena aku yang berbohong disini," ujar Ivy sangat menyesali apa yang Race alami tadi saat di paviliun Tuan dan Nyonya Agnito.Race tersenyum mendengar ucapan Ivy, Race lalu mengusap pelan rambut Ivy."Tidak apa-apa, bukankah ini juga kesalahan mereka sendiri? Mereka menjodohkan kita, jadi seharusnya mereka sudah tahu asal-usulmu yang sebenarnya. Kalau sudah seperti ini bukan lagi tanggung jawab kita, Iv."Ivy kembali bangun dari posisi tidurnya, dia mendekat pada Race lalu memeluk sang suami tanpa permisi."Race, apa kau menyesal menikah denganku?""Kau, bicara apa? Kalau, aku menyesal untuk apa aku sekarang disini?""Benar juga.""Ivy, jangan berpikiran yang tidak-tidak! A