Ivy sedikit gelisah duduk disamping Winter. Sejak tadi Ivy terus saja berdoa supaya Race baik-baik saja. Setelah sedikit lebih lama menunggu, akhirnya terdengar derap langkah kuda yang sepertinya sangat ramai. Ivy reflek berdiri untuk melihat apakah suaminya itu baik-baik saja, atau tidak. Melihat itu Winter ikut berdiri dan kembali membuat Ivy untuk duduk tenang di sampingnya."Tenanglah! Berdiri pun tidak akan membuatmu melihat Race. Gunakan teropong ini!"Winter menyodorkan teropong yang sejak tadi di pegang Winter pada Ivy. Tangan Ivy tidak serta merta menerima benda itu, Ivy justru menatap Winter dengan wajah bingung."Jangan terus memandangku seperti itu! Gunakan cepat!" titah Winter.Ivy akhirnya mengambil teropong itu dan menggunakannya. Winter tersenyum tipis melihat Ivy yang sedikit kesusahan menggunakan teropong itu. Winter lalu membantu Ivy untuk menggunakan teropong itu."Seperti ini, lalu arahkan seperti ini," ujar Winter.Mata Ivy melebar saat bisa melihat Race yang men
Sesampainya di istana, Ivy lalu membungkukkan badan menyapa Raja Michel dan Ratu Nami begitu pula dengan Winter."Kalian sudah kembali? Bagaimana dengan perlombaannya?" tanya Raja Michel."Semuanya lancar, Ayah. Lalu, bagaimana persiapan untuk pesta malam nanti?" tanya Winter."Semuanya sudah 100% selesai, ngomong-ngomong dimana Race?" tanya Raja Michel yang tidak melihat keponakannya kembali bersama Winter dan Ivy."Race, harus menyelesaikan acara disana, Raja Michel dan karena semua persiapan disini sudah selesai. Ijinkan saya untuk kembali ke arena perlombaan," ujar Ivy menjawab pertanyaan Raja Michel.Raja Michel lalu melihat ke arah Ivy dan Winter bergantian. Wajahnya terlihat mencurigai sesuatu."Apakah ada yang terjadi tanpa sepengetahuanku?" tanya Raja Michel kemudian.Winter melihat ke arah Ivy lalu kemudian menggenggam tangan Ivy cepat. Hal itu membuat Ivy reflek melihat ke arah Winter."Tidak ada, Ayah. Ivy hanya ingin menemani Race menyelesaikan semuanya, bukankah ayah bil
Winter minum air putih yang baru saja Ivy tuangkan untuknya, begitu juga dengan Race. Setelah acara puncak festival tahunan selesai, mereka memilih pergi ke paviliun Race bersama. Race masih mengenakan perban di tangan dan juga dahinya. Lukanya cukup dalam hingga harus ditutup supaya tidak kena air ataupun kotoran."Beruntung kau tidak apa-apa, Race," ujar Winter setelah minum air putihnya.Race yang masih minum hanya menganggukkan kepalanya saja. Ivy sendiri memilih duduk di antara mereka dan menghela napas dalam."Tidak apa-apa bagaimana? Dahi dan tangannya terluka, Winter," protes Ivy kemudian."Iya, aku tahu, tapi itu sudah biasa terjadi padanya," tukas Winter."Em, Winter benar. Hanya saja kali ini aku lebih beruntung lagi, Winter," timpal Race sambil meletakkan gelas kosong miliknya di meja.Winter dan Ivy sama-sama melihat ke arah Race sekarang."Apa?" tanya mereka bersamaan.Race melihat kedua orang dihadapannya bergantian. Race lalu tertawa kecil dan meraih tangan Ivy yang ad
Race baru saja mengganti bajunya dengan baju tidur. Sejak kemarin Race seperti sedang menghindari Ivy, padahal Ivy sendiri tidak tahu kenapa suaminya bersikap seperti itu. Ivy mendekat pada Race yang sedang merapikan piyamanya."Race," panggil Ivy pelan sambil memegang lengan Race pelan.Tanpa sadar Race justru menepis tangan Ivy sedikit kasar. Ivy tertegun dengan sikap Race, Ivy menatap Race dengan wajah tidak percaya. Sedangkan Race sendiri menghela napas dalam dan merutuki dirinya sendiri yang bersikap kasar pada Ivy."Maaf, aku hanya terkejut, Iv," ucap Race memberikan alasan tanpa Ivy minta."Ah,,,begitu rupanya. Maaf, aku tidak bermaksud mengejutkanmu," ujar Ivy yang kemudian menurunkan tangannya dan mundur selangkah.Ivy tersenyum getir lalu kemudian kembali melihat ke arah Race."Mau aku bersihkan lukamu? Sepertinya perbannya harus diganti," ucap Ivy.Race merasa bersalah melihat ekspresi wajah Ivy sekarang, tapi mengingat apa yang dia dengar malam itu justru membuat Race mera
Ivy berdiri di belakang Race yang sedang melihat keluar jendela. Hujan masih deras mengguyur sejak kemarin malam. Hari ini bahkan Ivy dan Race tidak bisa pergi kemanapun karena hujan tidak kunjung berhenti. Ivy berjalan mendekat pada Race lalu kemudian memegang ujung baju Race pelan."Race," panggil Ivy.Race terkejut dan reflek menepis tangan Ivy. Race melihat ke arah Ivy yang lagi-lagi terkejut dengan sikap Race padanya."Ada apa? Kenapa tiba-tiba mengejutkanku seperti itu?" tanya Race yang terlihat merasa bersalah.Ivy menatap Race dengan mata bergetar, Ivy sedang memaksakan dirinya untuk tidak menangis. Ivy tidak mau Race semakin marah padanya jika melihat Ivy menangis."Race, apakah kita bisa berdiskusi sedikit?" tanya Ivy dengan suara bergetar."Tentang apa?" tanya Race dengan kening mengkerut bingung. Tidak biasanya Ivy bertanya seperti ini sebelum bicara."Ini semua tentang Winter," ucap Ivy dengan suara semakin pelan karena takut Race marah lagi jika membahas Winter."Winter?
Suasana dapur di paviliun Ivy tidak terlalu ramai. Di dapur hanya ada Selina dan Gareta yang sedang menyiapkan makan malam. Sedang memotong-motong bahan masakan, Gareta lalu tiba-tiba berhenti dan melihat ke arah Selina."Selina," panggil Gareta."Apa?" jawab Selina tanpa menoleh ke arah Gareta."Kau, merasa ada yang aneh tidak?" tanya Gareta kemudian.Selina menghentikan tangannya memotong daging lalu kemudian melihat ke arah Gareta."Apa yang aneh?" tanyanya kemudian."Tuan muda Race," ucap Gareta sedikit berbisik."Tuan muda? Memang apanya yang aneh?" tanya Selina lagi.Gareta tidak langsung melanjutkan pembicaraannya, dia justru sibuk melihat sekeliling dapur lalu mendekat pada Selina."Kau, ingat ucapan Tuan muda Race? Apa ya maksud dari wanita yang harus dia jaga? Memang Miranda itu siapa?" tanya Gareta kemudian.Selina teringat apa yang Race katakan dan terlihat juga terkejut, kepalanya mengangguk-angguk lalu ikut melihat sekeliling dapur."Apakah kita perlu menanyakan ini pada
"Jadi, karena itu kau sangat baik pada Miranda, tapi maaf, Race bagiku kau sedikit berlebihan," ucap Ivy setelah mendengar semua cerita Race tentang Miranda.Race mengerutkan keningnya bingung mendengar ucapan Ivy."Dia, hanya mantan kekasih Willingga. Bukan berarti kau yang harus menjaganya setelah Willingga tiada. Apakah Willingga memberikan amanah itu padamu?" tanya Ivy pada sang suami.Race menggelengkan kepalanya pelan menanggapi. Ivy sendiri terus tersenyum dan kemudian menghela napas dalam."Lihatlah! Willingga saja tidak menitipkan Miranda padamu, lalu kenapa kau merasa harus menjaga Miranda?" tanya Ivy."Karena dia perempuan yang Willingga cintai, Iv. Jadi bagiku dia juga harus aku jaga," jawab Race tanpa ragu sedikitpun.Ivy menatap sang suami yang benar-benar terlihat serius. Entah kenapa Ivy justru merasa cemburu mendengar ucapan Race, baginya Race terlalu berlebihan. Dipandangi sedemikian rupa oleh sang istri membuat Race menautkan alisnya dan menyadari sesuatu."Iv, kau
Setelah ucapan Ivy di dalam kereta kuda yang membawa Ivy dan Race kembali ke paviliun. Race banyak berpikir dan keduanya kembali perang dingin. Ivy sedang merapikan rambutnya dibantu Gareta, sedangkan Race sendiri justru sedang duduk di ranjang dan memperhatikan Ivy dan Gareta. Sesekali Gareta melirik Race dan sadar kalau majikannya itu sepertinya ingin bicara dengan Ivy.Setelah merapikan rambut Ivy, Gareta lalu tersenyum menatap pantulan wajah Ivy di kaca."Semuanya sudah siap, Nyonya muda Iv," ucap Gareta."Iya, terima kasih, Gareta," ucap Ivy sambil tersenyum."Kalau begitu sekarang waktunya sarapan, Nyonya muda Iv. Bukankah sebentar lagi anda harus pergi ke istana," ucap Gareta."Iya, pergilah ke meja makan lebih dulu, Gareta!" titah Ivy.Gareta menganggukkan kepalanya mengiyakan perintah Ivy, Gareta lalu melihat ke arah Race dan membungkukkan badannya untuk berpamitan. Race hanya menganggukan kepalanya yang tahu maksud dari Gareta membungkukkan badannya.Sepeninggal Gareta, Ivy