Kamar Ivy dan Race begitu sunyi, Ivy baru saja selesai menyeka keringat dingin yang terus keluar dari badan Race. Wajah suaminya itu begitu pucat, Ivy terlihat begitu bingung. Doha sudah memeriksa Race tadi, tapi panas Race belum juga turun. Ivy terus memandangi wajah pucat Race dengan wajah sedih."Apa seperti ini caramu marah padaku? Aku, lebih suka kau yang dulu. Marah dan membentakku jika kau anggap aku salah," ujar Ivy lalu mengusap pelan surai Race yang masih belum bangun.Ivy menghela napas dalam lalu kemudian melihat ke arah pintu, karena pintu kamarnya diketuk dari luar."Siapa?" tanya Ivy singkat."Ini saya Selina, Nyonya muda Iv," jawab Selina dari luar."Masuklah, Selina!" titah Ivy.Selina langsung membuka pintu kamar lalu kemudian masuk bersama Gareta yang membawa kereta dorong berisi makanan dan minuman."Nyonya muda Iv, saatnya makan malam. Kami membawa makanannya kesini, karena kami tahu, Nyonya muda tidak akan meninggalkan Tuan muda Race sendirian," ucap Gareta setel
Winter menghela napas melihat kondisi Race yang terlihat pucat. Ivy sendiri tersenyum dan duduk di tepi ranjang dengan sembari memegang tangan sang suami."Bagaimana perasaanmu sekarang, Race?" tanya Ivy kemudian."Sudah lebih baik, kau sendiri sudah selesai mengobati Winter? Bagaimana kondisimu sekarang, Winter?" tanya Race melihat ke arah sepupunya.Winter menghela napas dalam lalu memukul lengan Race pelan."Kondisimu sekarang jauh lebih buruk daripada aku. Untuk apa kau mengkhawatirkanku?" ujar Winter.Race tersenyum lalu melihat ke arah Ivy lagi."Kau, pasti lelah. Istirahatlah dulu, Iv! Aku, ingin bicara dengan Winter," ucap Race."Apa yang mau kau bicarakan? Apakah aku tidak boleh tahu hingga kau harus mengusirku?" tanya Ivy karena merasa Race sedikit aneh.Race tersenyum lalu menggeleng pelan."Bukan seperti itu, Iv. Aku, hanya ingin membahas sesuatu dengan Winter," ucap Race lagi."Lalu, apa aku tidak boleh tahu?" tanya Ivy lagi.Winter menghela napas melihat kedua orang dide
"Kenapa sepagi ini kau sudah rapi, Iv?" tanya Race yang baru saja disuapi makanan oleh Ivy.Ivy tersenyum lalu kemudian kembali menyodorkan sesuap makanan pada Race."Apa kau lupa aku harus melakukan sihir penyembuhan pada Winter hari ini?" ujar Ivy kemudian."Ah,,,kenapa cepat sekali?" ujar Race."Tidak juga, itu karena kau hanya ada di kamar. Segeralah sembuh supaya kita bisa pergi bersama menemui Winter," ujar Ivy menguatkan Race."Em, aku pasti segera sembuh. Saat ini juga aku sudah jauh lebih baik.""Em, aku tahu itu."Keduanya lalu saling diam dan memandang satu sama lain. Ivy kemudian menarik napas menghalau perasaan khawatirnya, Ivy meletakkan piring makanan Race yang sudah habis. Sejurus kemudian Ivy menyodorkan segelas air untuk Race."Setelah ini aku akan pergi ke paviliun Winter, tinggallah disini bersama Gareta dan Selina. Ahli kesehatan Doha akan datang setelah makan siang untuk memeriksamu, Race," ujar Ivy sembari menunggu Race selesai minum."Iya, tapi apa Gareta tidak
Race turun dari kereta kuda yang membawanya ke istana dengan susah payah. Race yang masih dalam kondisi sakit pergi mencari Ivy ke istana, karena dia meyakini sang istri ada di tempat yang selalu membuat Race merasa tercekik ini. Race masuk dengan susah payah, dia terus memegangi dadanya yang sakit dan sedang bergemuruh karena khawatir. Sesampainya di depan istana, beberapa pengawal akan membantu Race berdiri."Lepas! Aku, tidak butuh dibantu!"Race menepis dengan kasar tangan pengawal yang akan membantunya itu. Race tidak memikirkan kondisinya sendiri yang sedang sakit."Dimana Ivy? Dia pasti ada disini, 'kan?" tanya Race kemudian pada pengawal itu.Beberapa pengawal yang menjaga pintu masuk istana itu saling memandang satu sama lain. Mereka tidak melihat ivy sejak pagi mereka berjaga disini."Jawab! Kenapa kalian hanya diam saja?" bentak Race yang masih terus emosi."Maaf, Tuan muda Race kami tidak melihat Nyonya muda Ivy sehari ini. Jika memang Nyonya muda Ivy kesini, kami sudah pa
Suasana kamar Race dan Ivy cukup ramai sekarang. Beberapa petinggi kerajaan hari ini datang mengunjungi Race. Mereka mendengar tentang kabar sakitnya Race kemarin saat di istana. Ivy sedang berdiri di dekat pintu dan terus memandangi Race yang mengobrol dengan para petinggi kerajaan itu. Tiba-tiba saja Ivy kembali mengingat ucapan Race kemarin. Ivy menghela napas dalam lalu kemudian mengusap wajahnya pelan. Ivy memilih pergi meninggalkan kamar dan membiarkan suaminya untuk mengobrol dengan orang yang datang menjenguknya.Ivy sekarang duduk di kursi taman belakang. Ivy memandang lurus ke arah hutan dan kembali menghela napas dalam."Jadi dia menyesal menikah denganku?" tutur Ivy lirih."Sejak awal pernikahan ini memang sesuatu yang tidak Race harapkan. Lalu bagaimana sekarang? Bagaimana bisa aku melepas Race, sekarang aku bahkan begitu mencintainya," ucap Ivy lagi.Ivy sepertinya salah mengartikan ucapan Race. Karena rasa khawatir dan bersalahnya, Race jadi menyesali pilihannya menikah
Ivy sedang memasangkan baju Race. Hari ini Race sudah mulai kembali bertugas di istana. Setelah selesai dan merasa baju Race sudah rapi, Ivy melihat ke arah Race lalu tersenyum tipis."Kau, semakin tampan saja, Race," ucap Ivy."Jangan menghiburku, Iv. Seberapapun kau menghiburku, aku tetap tidak rela kau pergi," ujar Race yang masih tidak setuju dengan titah Raja Michel."Race, kita sudah membicarakan ini bukan? Aku, akan baik-baik saja. Bukankah aku ini peramal? Ramalanku tidak pernah salah, Race," ucap Ivy kemudian.Race tidak segera menanggapi dan justru menatap Ivy sekarang. Race menghela napas dalam lalu kemudian memeluk sang istri."Aku, takut kau kenapa-kenapa, Iv.""Race, percaya padaku. Aku, akan baik-baik saja untukmu."Race menghela napas dalam dan berat, Race semakin mengeratkan pelukannya pada Ivy. Dia benar-benar tidak mau berpisah dengan sang istri.Pada akhirnya Ivy tetap melakukan perintah dari Raja Michel. Dia pergi memimpin perang dengan para prajurit yang tidak se
Beberapa hari berlalu, Ivy belum kembali. Hanya kabarnya saja yang sampai ke wilayah timur. Race terus menunggu sang istri pulang dengan selamat, sembari sibuk mengurus beberapa hal yang terjadi karena wabah penyakit itu. Bahkan beberapa petinggi kerajaan juga terkena wabah penyakit itu. Raja Michel sendiri sudah ingin memanggil Ivy pulang, tapi Tuan Milano terus saja melarang dan meyakinkan kalau Ivy lebih dibutuhkan di perang itu.Winter dan Race baru saja pulang ke paviliun Winter. Keduanya lalu menjatuhkan dirinya ke kursi bersamaan. Mereka sama-sama menghela napas lelah setelah turut serta mendistribusikan bahan pokok makanan untuk masyarakat yang terdampak wabah penyakit itu. Race melihat ke arah Winter yang terlihat begitu lelah."Winter, kau lelah? Ada yang harus kau minum atau semacamnya supaya tidak sakit?" tanya Race khawatir.Winter membuka matanya dan melihat ke arah Race. Winter lalu tersenyum tipis lalu menggeleng pelan."Aku, tidak butuh apa-apa, Race. Ini cukup melela
Raja Michel terlihat sedang berpikir. Setelah berhasil melewati masa kritis kerajaan yang terkena wabah, Raja Michel semakin yakin kalau Ivy benar-benar dibutuhkan di wilayah timur. Raja Michel yang mulanya ingin melenyapkan Ivy dengan menyuruhnya memimpin perang, justru merasa ingin menarik Ivy untuk kembali sekarang. Namun begitu Raja Michel tidak bisa serta merta melakukan itu. Dia juga harus memastikan kalau Ivy sudah bisa menguasai daerah utara.Raja Michel yang sibuk berpikir tidak menyadari kedatangan ratu Nami. Dengan perlahan Ratu Nami lalu mendekat pada sang suami dan memegang pundak Raja Michel."Apa yang kau pikirkan, sayang? Kenapa wajahmu terlihat begitu serius?" tanya Ratu Nami.Raja Michel sedikit terkejut lalu melihat ke arah Ratu Nami. Dia kemudian tersenyum tipis dan menggeleng pelan."Aku, tidak sedang memikirkan apapun," jawabnya berbohong."Yang mulia Rajaku, jangan berbohong! Bukankah aku ini istrimu, aku sangat paham padamu, sayang," ujar Ratu Nami lagi.Sejena