Aku hanya berharap Al dan Luna tidak mendengar dan melihat pertengkaran ini. Mudah-mudahan mereka masih tertidur. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulut Mas Andrian. Dia terlihat sangat syok, Mbak Cahya mendorong Mas Andrian sampai keluar ruang tamu.Mama memelukku, kami sama-sama menangis. Aku bersyukur, Mama tidak kenapa-napa seperti yang aku takutkan. Mama lebih kuat dari dugaanku.Berakhir sudah, sepertinya semua benar-benar berakhir. Sebuah kenyataan buruk yang harus diterima oleh keluargaku. Duka karena masalahku dengan Mas Andrian bertambah, saat Rendi mengabarkan Amak meninggal dunia. Sepertinya lengkap sudah kesedihan yang kami hadapi sekarang.Papa sedang bekerja, ada hal penting yang harus Papa kerjakan. Sebuah alasan klasik untuk menenangkan Al dan Luna. Keduanya nampak kecewa karena hanya sebentar bersama Papanya. Tapi, aku beruntung memiliki Al dan Luna yang selalu menjadi anak yang penurut.••Selama tiga hari aku dan anak-anak tinggal di Mama. Dan, aku harus kembali
Aku tidak tau kedepannya seperti apa. Dan, Mas Bima … bukannya aku tidak peka. Hanya saja sekarang bukan waktunya memikirkan hal lain selain anak-anak dan masalahku dengan Mas Andrian."Entahlah," ucapku kemudian dan kembali membalikkan badan berjalan menuju ke dalam rumah."Abang dukung." Masih kudengar suara Bang Fian, aku hanya menggeleng sambil tersenyum hambar."Kenapa Fian?" tanya Mbak Cahya saat aku masuk ke dalam rumah. Aku hanya menggeleng. "Dukung apa?" tanyanya lagi."Nggak tau tuh Bang Fian. Mbak tanya sendiri aja deh," jawabku, sambil berjalan ke ruang tengah. Al dan Luna nampak tidur-tiduran bersama kedua sepupunya, anak Mbak Cahya. Mama berada di tengah-tengah cucunya. Aku melangkah mendekat, dan duduk di sofa, yang lain tidur-tiduran di lantai."Kenapa itu anak kecil tadi panggil kamu Bunda?" Mama beranjak dari atas karpet dan duduk di sampingku."Ikut-ikutan Al sama Luna, Mah." Aku menjawab pelan."Terus, kenapa Al sama Luna juga panggil temannya Fian tadi Papa Bima?"
"Mbak Wati, saya ngerti paham. Tapi, saya juga nggak rela kalau sampai terjadi sesuatu dengan Hana anak saya. Anak Mbak Wati, berani bawa selingkuhannya kerumah. Andrian juga mau bunuh anak saya pelan-pelan. Dia cekoki Hana dengan obat tidur, agar dia bisa tidur dengan selingkuhannya. Saya nggak rela, Mbak. Saya nggak ridho anak saya diperlakukan seperti itu." Mama terlihat mulai emosi, Mbak Cakya mengusap punggung Mama untuk menenangkannya."Andrian khilaf, Ma. Andrian bersalah, mohon maaf atas kesalahan Andrian." Masih dengan pembelaan yang sama khilaf. "Hana, Ibu mohon. Beri kesepatan untuk Andrian." Tangis Ibu semakin kentara.Mataku memanas,kenapa harus seperti ini. Aku juga tak ingin seperti ini. Tapi, untuk menerima Mas Andrian lagi, sungguh aku tak bisa. Bukan hanya rasa sakit karena begitu dalamnya luka, tapi aku seolah sudah tak mengenalnya lagi. Masih belum menerima sepenuhnya, bahwa pria yang aku cintai tega berbuat seperti itu."Maafkan, Hana Pak, Bu. Hana belum bisa meme
Ragu apa harus kubawa serta dan mengembalikannya. Atau, memasukkan kembali dalam lemari dan meninggalkannya begitu saja. Sesaat aku mengatur hatiku, air mata Mas Andrian dan kedua mertuaku tadi pagi sungguh membuat dadaku sesak. Luka yang sama kini kami dapatkan, luka akibat sebuah perpisahan.Aku tersenyum hambar, mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Tak ada yang berubah masih tetap sama. Dikamar ini awal dari sebuah penyatuan diri dua insan yang saling mencintai. Sebuah pengabdian seorang istri dan kewajiban seorang suami.Segera kuhalau segala bayangan masa lalu yang semakin menyesakkan dada. Mengubur dalam semua kenangan yang pernah ada. Menepis rasa yang masih membelenggu jiwa. Menarik kembali kewarasan yang hampir tenggelam dalam buai kenangan. Aku melangkah keluar meninggalkan kamar, di ruang tamu tampak Mas Bima yang terlihat mulai cukup akrab dengan Mama dan Mbak Cahya. Melihatku datang semua langsung berdiri dan kemudian beranjak keluar menuju mobil. Anak-anak langsun
"Ish," desisku, pria di depanku itu terkekeh melihatku. "Ya, udah. Makasih ya …." Pria itu berkata masih dengan sisa tawanya."Untuk?""Untuk sebuah mimpi, yang sekarang sedang aku kejar. Sebuah mimpi yang membuat mas merasa harus tetap bersemangat untuk merengkuhnya suatu saat nanti."Dan lagi-lagi Mas Bima mengucapkan kalimat yang tidak aku pahami. Mimpi apa, dan apa hubungannya denganku, sehingga harus berterima kasih."Maksudnya?""Em, kalau saatnya tiba. Kamu pasti akan paham, apa maksud ucapanku hari ini." Bukan sebuah jawaban yang aku dapatkan. Justru Mas Bima semakin membuatku bingung dengan kata-katanya."Hana bingung, dah sana … katanya mau pulang." Aku mendorong tubuh tegap di depanku itu. Mas Bima malah tertawa, entah apanya yang lucu. "Iya … iya." Pria itu belum beranjak dan menjawab masih dengan sisa tawanya."Kamu masuk duluan," ucapnya kemudian."Iya." Aku menjawab singkat lalu, beranjak meninggalkannya. Aku menoleh saat sampai di pintu, Mas Bima belum beranjak. Dag
Tak peduli orang mengatakan aku lemah atau apa, tapi inilah perasaanku. Aku sakit benar-benar sakit. Cintaku pada pria ini sangatlah besar, hingga sulit sekali rasanya melepaskannya. Saat belum dihadapkan pada persidangan seperti sekarang, aku merasa aku pasti akan kuat. Akan tetapi, saat perpisahan benar-benar di depan mata rasanya begitu sesak."Kita pulang?!" Mas Andrian meraih tanganku, aku mengibasnya. Bayangan ciuman panas mereka di kamar tamu, chat mesum mereka dan segala hal kembali terlintas. Menarik kembali kewarasanku yang hampir saja tenggelam."Hana." Aku langsung berdiri dan menyeka air mata, lalu beranjak mendekat pada Awan. "Kamu?" Kening Mas Andrian mengkerut saat melihat Awan. Pasti dia ingat, karena Mas Andrian lah yang melarangku dekat dengan Awan waktu dulu."Apa kabar?" Awan mengulurkan tangannya hendak menyalami Mas Andrian, hanya saja Mas Andrian malah memasukkan tanggannya ke saku celana. Awan menarik kembali tangannya yang terulur. "Apa perlu aku jawa
Sesaat kemudian panggilan berakhir. Mas Andrian terdiam, tanpak sedang memikirkan sesuatu. Jelas sudah dia masih memikirkan wanita itu. Lalu untuk apa aku lama-lama berdiri disini. "Hana, tunggu." Mas Andrian menahan tanganku"Untuk apa? untuk melihat wajah cemas Mas, saat mendengar kabar kurang baik tentang wanita sunda* itu." Aku menjawab dengan luapan emosi meski terisak.Sempat bimbang beberapa menit yang lalu. Dan seketika berubah dengan cepat. Sorot mata cemas itu seketika menghancurkan harapan yang sesaat hadir. Yah, dia terlihat mencemaskan wanita itu.Aku segera beranjak, tak memperdulikan Mas Andrian yang memanggilku. Aku yakin tak salah tafsir, wajahnya seketika terlihat cemas. Apalagi yang aku harapkan dari hubungan ini? Sepertinya sudah tak ada."Kamu baik-baik saja?" tanya Awan padaku."Bagaimana Hana bisa baik-baik saja? Ini sangat buruk." Aku menjawab tanpa melihatnya."Agenda sidang selanjutanya gugatan, kalau kamu merasa tak nyaman, biar aku yang mengurusnya."
Area sekolahan masih cukup padat, bersamaan dengan orang tua siswa lainnya yang juga menjemput. Mas Bima memarkir sedikit jauh, kami turun dan berjalan kaki ke arah gerbang sekolah."Bunda," teriak El dari balik gerbang sekolah. Bibir mungil itu tersenyum lebar, terlihat manis sekali."Lah, Papanya disini nggak disebut," celetuk Mas Bima kemudian sambil menunjuk ke arah dirinya sendiri, bibirnya terlihat manyun. Aku hanya tersenyum melihat ekspresi Mas Bima."Udah jangan cemburu," ucapku masih dengan tersenyum geli."Enggalah, masak sama Bundanya sendiri cemburu," balas Mas Bima. Sebuah perkataan yang membuatku akhirnya menoleh padanya. Dan pria itu hanya menahan senyum dan menoleh ke arahku."Ya … kan, Bundanya. Salah?" tanya Mas Bima lagi dengan sepasang alis terangkat. "Maksudnya El kan panggil kamu Bunda." Mendapati pandanganku yang terus mengarah padanya pria itu terlihat salah tingkah."Bunda." El langsung menubrukku."Papa disini." Mas Bima menunjuk dadanya. "Terus kenapa?" t