“Kenapa aku tidak dibolehkan untuk masuk? Apa kau tidak tahu siapa aku?” jerit Irene dengan wajah memerah marah.
Gadis itu bahkan telah menampar satu penjaga, namun tidak ada yang berani mengusir secara terang-terangan. Yang pria-pria itu lakukan hanyalah melihat serta meminta Irene untuk pergi secara baik-baik.
“Biarkan aku masuk ke dalam! Kalian tidak berhak memperlakukan seperti ini!”
Beberapa kali gadis itu mencoba melukai para penjaga yang tampak berat hati untuk mengusir secara paksa.
Sementara itu, Erlinda yang sejak tadi mengawasi keributan di depan gerbang melalui CCTV yang terpasang di ruang keamanan hanya bisa diam memperhatikan. Dia mencoba menghubungi Frank yang seketika menjawab panggilan.
“Ada apa?”
“Gadis itu datang lagi,” ujarnya, memberi pengaduan disaat mata terus memperhatikan pertengkaran antara Irene dengan seorang petugas keamanan yang baru. “Dia bahkan sudah menamp
Athena baru saja membereskan meja kerjanya. Dan dia sudah bersiap-siap hendak beranjak pergi untuk pulang ke rumah, namun tiba-tiba saja sebuah panggilan dari ruang kerja Hagen menghentikan dirinya seketika. Disela-sela perasaan gugup yang ditutupi dengan rasa percaya diri, Athen pun berjalan mendekati ruangan kerja atasannya tersebut.Wanita itu mengetuk pintu sebanyak dua kali, sebelum akhirnya terdengar suara maskulin yang mempersilahkan masuk dari dalam.Awalnya Athena memilih untuk mengintip sedikit dengan memasukkan kepala lebih dahulu, namun setelah Hagen menyuruhya menutup pintu, wanita itu pun masuk ke dalam dengan langkah perlahan-lahan dan penuh kehati-hatian.Jelas sekali bahwa dia sengaja mengulur waktu, hal yang tentunya sudah Hagen ketahui.Pria itu pun menunjuk kursi yang ada di hadapannya menggunakan isyarat anggukan dagu.“Duduklah, ada hal yang ingin kudiskusikan denganmu,” jelas Hagen, yang semakin membuat sekr
Tanpa menyusul Camellia, Hagen malah berjalan menuju ruangan di mana meja bar berada. Dia duduk sebentar di salah satu sofa sembari menikmati cairan keemasan yang baru saja dituang di atas gelas kristal. Matanya tampak fokus memandang ke luar jendela, dengan guyuran hujan di luar sana.Dia tidak mengira akan turun hujan secara tiba-tiba, sehingga Hagen tidak sempat memberikan perintah baru untuk para penjaga di luar gerbang.Setelah beberapa waktu menikmati cairan penghangat tubuh itu, akhirnya Hagen pun mengeluarkan ponsel dan mencoba untuk menghubungi seseorang.“Halo,” jawab suara di seberang dengan nada terdengar kesal. “Ada apa lagi kali ini?”Seketika Hagen pun memeriksa layar ponselnya, memastikan bahwa dia tidak menghubungi orang yang salah. Setahunya hanya ada satu pria yang akan menjawabnya dengan sambutan tidak ramah, yaitu Timothy, tetapi melihat nama yang tertera di ponselnya adalah Connor Black, Hagen pun sempat berta
Brandon Brown menatap Jaxon yang menahannya untuk tidak pergi ke Lancester, hal itu membuat dia terdiam sembari berpikir cukup lama.Dan mendengar suara tangis Athena yang memohon-mohon agar dia segera menyelesaikan urusan dengan Hagen semakin membuat pria itu pun terpukul.Belum lagi karena kejadian ini Brandon harus memikirkan ulang rencana ke depan.“Aku tidak bisa membiarkan gadis itu menghadapi Hagen sendiri,” gumamnya, sembari memandang wajah-wajah dari para anggota Red Cage yang sedang berkumpul di sekitar. “Dia bahkan dengan berani memberikan uang buka mulut.”Ekspresi yang Brandon tunjukkan lebih seperti rasa kesal. Dia sadar bahwa sahabatnya itu pastilah di ambang rasa putus asa untuk menariknya ke Lancester, karena Blake Hagen tidak dapat melakukan apa-apa bila Brandon berada di Denver. Daerah ini bukanlah teritorialnya, sehingga menyakiti salah satu anggota Red Cage dapat mengakibatkan perang terbuka bagi keduanya.
Sebuah panggilan dari sekretaris pribadinya membuat Hagen pun menghentikan pekerjaan sejenak. Dia mendengarkan dengan seksama apa yang baru saja Athena sampaikan.“Sir, Mrs. Duncan ingin bertemu.”“Siapa? Ulangi lagi?” tanya Hagen, berpikir bahwa mungkin saja dia salah mendengar. Tetapi saat Athena mengulang satu nama, dia yakin mungkin sekretarisnya itulah yang salah paham.“Dia tidak dipanggil dengan Mrs. Duncan, tetapi sudah berganti menjadi Mrs. Winston,” kata Hagen, meluruskan. “Tapi, bagaimana kau bisa mengetahui bahwa dia Mrs. Duncan?”Untuk sesaat Athena tampak gelagapan. Jelas sekali bahwa dia tidak siap dengan pertanyaan barusan.Hal itu Hagen tanyakan, karena tidak mungkin Amanda mengatakan bahwa dirinya adalah Amanda Duncan disaat-saat wanita itu bersikeras telah mengganti nama.“Ah, itu … beliau mengatakan bahwa dirinya adalah Ibu dari Miss Camellia Duncan.”
Malam itu Hagen memutuskan untuk turun beranjak dari ranjang. Dia menyelimuti Camellia hingga menutupi bahu telanjangnya. Cukup lama pria itu mengamati wajah terlelapnya yang nyaris tenggelam di atas bantal. Namun, sesuatu pun membawa pria itu untuk turun ke lantai bawah.Dia mendatangi Frank yang kebetulan duduk di dalam ruang pertemuan. Dengan secangkir kopi dan cerutu, keduanya menikmati keheningan malam.Jam dinding masih menunjukkan pukul delapan, tetapi Kastil Petunia seakan telah mati suri tanpa suara-suara pelayan yang mengisi. Mungkin saja karena Hagen sudah membebas tugaskan mereka sejak tadi, sehingga sebagian memilih ke kamar masing-masing untuk beristirahat.Dalam suasana tenang, dia menyeruput kopinya sembari menopang kaki pada sandaran di bawah meja.Dan setelah keheningan itu berlalu, Hagen pun mulai bersuara.“Amanda akan segera menikah.”Sengaja Hagen tidak mengatakan hal itu dalam perjalan menuju ke Petunia, ka
Mata Camellia membuka ketika dia merasakan sesuatu yang hangat menyentuh punggung telanjangnya, dan saat itulah dia menyadari bahwa Hagen sedang berada di atas tubuhnya sembari terus mengecup-ngecup pelan di sepanjang tulang punggung hingga ke bawah.Rasa geli dan panas akibat kecupan itu membuat tubuh Camellia bergetar. Hingga dia tidak bisa menahan jempol kaki yang menekuk ke arah ranjang, serta jari-jemari tangan yang meremas seprei yang sedang dia tiduri.“Morning,” bisik pria itu dengan nada suara yang parau, membuat kelopak mata Camellia yang tadi bergetar pun membuka perlahan-lahan.“Mo-morning,” jawabnya terbata ketika merasakan sesuatu mendesak masuk di antara kedua paha. “Uhhh.”Dan saat itulah terdengar suara lenguhan panjang tertah
Hagen tersenyum pada Camellia begitu dia mendapatkan telepon yang mengabarkan berita kematian tersebut. Dia menarik belakang kepala gadis itu, lalu mendaratkan ciuman yang panjang di dahinya. Hal itu tentu saja membuat Camellia tersenyum dengan mata sedikit berkaca-kaca.Gadis itu berpikir bahwa Hagen sangatlah emosional setelah keluar dari rumah sakit. Mungkin, ada baiknya mereka sering melakukan kunjungan.Tetapi, senyum Camellia berubah menjadi ekspresi bingung ketika melihat ekspresi wajah Hagen yang seakan menahan marah.“Ada apa?” tanyanya pelan, sembari terus memegangi dada bidang pria itu.Sadar bahwa dia baru saja memperlihatkan ekspresi terbukanya, Hagen pun memperbaiki itu dengan senyuman yang baru, dan lebih meyakinkan.“Oh, tidak ada, aku hanya memikirkan pekerjaan. Kurasa aku akan menghubungi Athena nanti,” ucapnya, kembali mendaratkan kecupan di kepala gadis itu.Camellia yang mempercayai alasan Hagen p
Camellia sedang membereskan beberapa kotak-kotak paket yang datang beberapa waktu lalu. Dia tampak membuka bungkus dari kotak-kotak itu penuh dengan kehati-hatian, terutama pada benda-benda berupa perhiasan dan berlian.Sementara itu, Erlinda yang ikut menemani hanya bisa mengawasi dan membantu bila diperlukan.“Anda bisa mengatakan padaku jika membutuhkan bantuan,” ucap pelayan muda itu saat hendak pamit ke dapur.“Pergilah, aku bisa mengerjakan ini sendiri,” ucapnya, yang seketika meyakinkan Erlinda.Dan setelah kepergian pelayannya itu, Camellia pun melanjutkan pekerjaannya kembali. Tetapi, dia dikejutkan dengan panggilan dari Bella yang tiba-tiba membuat ponselnya bergetar.Melihat nama sahabatnya ada di layar, gadis itu pun tersenyum saat menyapa pada dering ke dua.“Bagaimana sekolahmu?” tanya Camellia tanpa sapaan pembuka, hal itu tentu saja mengundang tawa Bella.“Menyenangkan, tetapi