Perlahan-lahan Hagen pun tersadar dari keterkejutan sesaat setelah Camellia berlari. Dia segera bangkit dari posisi duduk di sisi ranjang, lalu menoleh pelan ke arah toilet di mana gadis itu terdengar memuntahkan isi perutnya.
Tanpa menunggu lebih lama, Hagen mendekati tubuh feminim yang membungkuk di depan dudukan toilet. Dia ikut berjongkok dan memberikan kenyamanan pada Camellia yang tidak henti-hentinya memuntahkan udara.
Tangan Hagen memegangi leher dan punggung gadis itu, kemudian memijitnya dengan gerakan pelan penuh kehati-hatian. Terlihat kecemasan bergelayut di wajah rupawan itu.
“Sebaiknya kau berbaring saja di kamar. Aku akan mencoba menghubungi Timothy,” ucapnya, sembari memegangi rambut Camellia yang terurai. “Selama beberapa malam tidurmu terganggu karenaku.”
Meskipun tidak ada nada penyesalan terdengar di balik suara maskulinnya, tetapi Hagen sadar bahwa dia sudah membuat Camellia kelelahan akhir-akhir ini. Dia bisa
Hagen menatap buntelan putih yang berada dalam pelukan salah satu pelayan di Purple Stone. Cukup lama dia terdiam, dengan mata tidak lepas menatap bayi berusia enam bulan dalam gendongan. Suara tangisnya yang memekakkan perlahan-lahan hilang seiring buaian serta senandung yang pelayan wanita itu lakukan.Lamunan Hagen seketika buyar saat Baron berdeham dan memanggil namanya dari seberang ruangan. Sembari menutup mata, Hagen pun memijit pelipis dan pangkal hidung yang terasa berdenyut, menyakitkan kepala.“Apa kau sudah membaca surat yang ditinggalkan?” tanyanya, membuat Baron menggeleng saat memberi jawaban.“Tidak, Sir.” Butler Keluarga Hagen itu pun mengeluarkan amplop putih dari saku baju, dan dengan sedikit ragu dia menyerahkannya pada si pemilik rumah yang memasang wajah tidak ramah.Jelas sekali, kehadiran bayi di antara mereka membuat suasana canggung dan sedikit tegang.Setelah menarik napas dalam-dalam, Hagen pun me
Tatapan Timothy jatuh pada bayi yang tertidur pulas di atas ranjang. Dengan alis bertaut dan mata mengawasi, dia terlihat kehilangan kata-kata. Bahkan, keheningan yang tercipta di dalam ruangan membuat si pemilik rumah merasa gerah, sehingga keberadaannya di balik bar minuman adalah suatu kewajaran.Beberapa kali Timothy membuka mulut. Namun, sebanyak itu pula dia mengatupnya kembali. Terlihat jelas, dokter muda itu kehilangan kemampuan untuk berbicara, sehingga yang dilakukannya hanya menoleh pada Hagen dan melemparinya dengan tatapan tajam penuh pertanyaan.Melihat kebingungan dari balik manik mata Timothy yang polos, rasanya Hagen ingin segera pergi. Tetapi, sayang sekali, dia tidak dapat melakukannya. Terutama ketika mengingat jika terjadi kesalahpahaman yang akan membuat bokongnya menjadi sasaran kemarahan Jaxon nantinya.Setelah puas menengguk satu gelas penuh cognac, Hagen mulai menegakkan tubuh dari meja tempatnya bertumpu.“Tanyakan,”
“Rawat bayi itu untuk sementara,” ucap Hagen sembari memperbaiki letak dasi dengan pandangan lurus ke pintu.Dia bahkan terlihat enggan menatap bayi mungil yang sudah beralih pada gendongan dari salah satu pelayan di mansion. Sementara itu, Frank yang sejak tadi diam di sebelah hanya bisa mengawasi ekspresi setiap orang di ruangan. Entah mengapa, sejak kepergian Hestia dan keponakanya, Purple Stone terlihat lebih cerah.Mungkin saja, ketiadaan wanita tua yang bersikap otoriter itu sedikit banyak merubah mood semua orang di sana. Sembari menarik napas lelah, Frank akhirnya melirik ke arah Baron yang tampak kebingungan merawat bayi usia enam bulan.“A … aku akan mencarikan pengasuh untuknya,” gumam butler Keluarga Hagen tersebut diikuti anggukan. “Apa anda tidak akan menginap di sini, Sir?”Seketika Hagen menggeleng, menyatakan penolakan.“Aku tidak bisa meninggalkan Camellia sendirian di Petunia.&rdqu
Erlinda, Belle, dan Cintya melihat kedatangan Hagen dari arah pintu gerbang menuju parkiran, membuat ketiga pelayan muda itu saling menatap dengan cemas. Sedangkan Milo telah dibawa oleh salah satu penjaga ke sebuah ruangan, sehingga hanya tertinggal ketiga wanita itu saja.“Apa yang harus kita lakukan?” bisik Belle, gugup.Erlinda melirik padanya, dan dengan tenang memberi senyuman.“Kembalilah ke dapur, biar aku atau Cintya yang mengurus.”Seketika saja pelayan muda itu tidak menyia-nyiakan kesempatan. Kakinya berlari cepat ke arah ruangan yang dapat dijadikan sebuah tempat persembunyian.Kini, yang tersisa hanya Erlinda dan Cintya yang saling menatap cemas. Jelas sekali bahwa keduanya menyadari akan segera mendapat pertanyaan dan mungkin kemurkaan karena kelalaian.“Kau kembalilah ke dalam, biar aku yang berbicara pada Tuan,” ucap Cintya, mencoba membujuk Erlinda yang memiliki sifat keras kepala.
“Blake!” pekik Camellia ketika Hagen mengendongnya dari atas ranjang pagi itu.Suara kekehan maskulin pria itu terdengar sampai keluar kamar, membuat Erlinda dan Belle yang sedang sibuk membersihkan lantai hanya bisa saling pandang sembari tertawa pelan. Keduanya cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan dan memberikan privasi bagi dua insan yang mungkin saja tengah bergumul di atas ranjang berderit.Frank yang baru saja tiba dengan segelas cangkir kopi dalam genggaman hanya bisa terdiam dan menghentikan langkah di anak tangga teratas. Telinganya menajam dan dahinya mengernyit begitu mendengar suara-suara dari master bedroom yang pintunya tertutup.Mata pria itu seketika tertuju pada Belle yang tengah menjinjing peralatan bersih-bersih. Sembari menarik napas lelah, Frank pun mengisyaratkan pada dua wanita di hadapan agar segera turun ke lantai bawah.“Dasar sial,” umpatnya, ketika lagi-lagi terdengar tawa cekikikan Camellia yang bercampu
Kehadiran Jaxon Bradwood membuat mood Hagen terganggu. Pria itu bahkan tidak henti-hentinya menatap tajam pada tamu yang tidak diundang. Dengan tangan berada di dalam masing-masing saku celana, Hagen menatap lurus ke arah pria yang duduk di sofa layaknya seorang tuan rumah.“Jangan memasang wajah cemberut seperti itu.” Jaxon tersenyum miring sembari mempersilahkan Hagen duduk di hadapan. “Duduklah, berdiri terlalu lama akan mengakibatkan kau anemia.”Ingin rasanya Hagen mendengus, tetapi dia menahan diri sembari menghenyakkan tubuh ke atas sofa. Tanpa sekali pun melepas tatapan yang melekat pada pria di hadapan, Hagen dengan terus terang menunjukkan rasa tidak senang.“Keperluan apa lagi yang membawamu terus menerus menemuiku?” tanyanya dengan kedua tangan berada di atas lutut. “Jika ini menyangkut Camellia, sebaiknya kau kembali saja ke Denver. Aku sudah bilang akan membicarakannya padamu ketika keadaan sudah lebih baik
Setelah seluruh tamu yang tidak diundang keluar dari Kastil Petunia, Blake Hagen pun memilih untuk kembali ke kamarnya dengan Camellia. Namun, langkahnya yang sudah mendekati koridor terhenti tiba-tiba ketika dia mengingat perkataan Rey Fredrick sebelum meninggalkan ruangan. Saat itu, Rey berkata tepat di telinganya.“Aku tahu kau merasa sangat sesak melihat Jaxon terlalu ikut campur, tetapi satu hal yang harus kau ketahui Hagen,” mulai Rey, sembari melirik ke arah Jaxon Bradwood yang baru saja keluar dari ruangan.Setelah merasa aman, dia kembali melanjutkan; “Selama ini Jaxon hidup tanpa keluarga, kecuali nenek yang membesarkannya, sehingga kehadiran Camellia sangat mengejutkan baginya. Dan tentu saja hal itu membuat dia sangat bahagia. Semua hal yang Jaxon lakukan lebih karena dia peduli pada Camellia, meskipun kau tidak akan pernah mengungkapkan identitas sebenarnya pada gadis itu, Jaxon mungkin merasa tidak masalah. Tetapi, setidaknya berikan dia
Perkataan Hagen seketika membuat tangan Camellia membeku di udara. Gadis itu bahkan tampak gamang dan kesulitan untuk mengalihkan pandangan dari wajah Hagen yang mengeras.Dari balik manik obsidiannya yang kelabu, tampak jelas semburat emosi melintas sambil lalu, dan semakin mempertegas perasaan yang telah pria itu simpan selama ini. Namun, senyuman samar yang dia berikan ketika menyadari perubahan wajah gadis itu seketika saja melunakkan parasnya.Dengan satu sentuhan di ujung bibir Camellia, Hagen hanya menatapnya lembut sembari membelai wajah porselin gadis itu yang enggan mengalihkan pandangan.“Aku sudah bilang sebelumnya, itu bukanlah apa-apa,” bisik pria itu, mendaratkan kecupan di dahi Camellia yang berkerut dikarenakan kerasnya memikirkan berbagai pertanyaan di kepala.Baru saja Hagen hendak beranjak dari ranjang, saat tiba-tiba gadis itu menahan tubuhnya agar tetap di tempat.Melihat kemana arah jemari lentik itu menyentuh, se