Disaat Camellia tidur terlelap dalam dekapannya, Hagen pun memilih untuk berdiam beberapa waktu sebelum akhirnya dia berusaha melepaskan diri dari kedua lengan feminim yang memeluk erat itu.
Pelan-pelan Hagen bergerak untuk keluar dari ranjang, berusaha tidak membangunkan Camellia yang tertidur nyenyak.
Dari sudut mata, dia melihat jam di atas nakas menunjukkan pukul tiga pagi.
Tanpa melihat ke arah gadis itu lagi, Hagen keluar dari kamar menuju ke ruangan tengah. Dia duduk sebentar di atas sofa dengan posisi siku bertumpu pada lutut.
Lama pria itu berdiam sambil berpikir sebelum akhirnya dia mendial nomor seseorang.
Entah berapa lama Hagen menunggu jawaban, hingga pada akhirnya terdengar suara berat bariton yang sedikit serak
Mata keduanya saling bertemu, namun tidak ada satu pun dari mereka yang bersuara, bahkan Hagen tidak lagi mendengarkan Gavin yang terus berbicara di seberang panggilan. Seolah-olah pria itu terpaku pada sosok Camellia yang berdiri sangat anggun di atas tangga dengan piyama putihnya.Namun, ketika mendengar namanya dipanggil berkali-kali dari seberang, barulah Hagen tersadar. Dia Berdeham dan mengalihkan pandangan dari gadis itu.“Aku mendengarmu,” ucapnya, pada Gavin yang kini terdengar kesal.“Kupikir kau tertidur dan meninggalkanku tanpa salam perpisahan,” balas Gavin, disela sindiran.Hagen hanya merespon dengan deheman, lalu dia menengadah ke atas. Sayangnya gadis itu sudah tidak lagi berdiri di tempatnya tadi, membuat pria itu sedikit merasa kecewa.
“Katakan saja padanya, kau akan tidur dengan seseorang bila dia terus saja menganggu.”Mendengar perkataan Brandon seketika Camellia menatapnya kesal. Gadis itu hendak bersungut-sungut, saat tiba-tiba pria itu mengangkat tangan ke udara, mengisyaratkan agar dia diam mendengarkan.Hal itu membuat Camellia mengigit bibir bawahnya agar menahan diri. Namun, tatapan matanya jelas menunjukkan bahwa dia tidak terima.“Kau pilih yang nomor dua, aku ingin lihat bagaimana dia meresponmu.”Camellia mendengus mendengar itu. Tentu saja Blake Hagen akan marah dan memaksakan diri padanya kembali.Jika bukan dengan cara yang biasa, pria itu bisa saja melakukan hal-hal di luar logika.
Camellia berjalan menelusuri jalan dengan tatapan kosong, seolah hanya tubuhnya saja yang ada di sana, sedangkan kepalanya entah berkelana di mana. Bayangan dari percakapan tadi tampak membebani Camellia. Bahkan, gadis muda itu beberapa kali menarik napas dalam-dalam, dan kakinya sesekali berhenti dengan kepala menatap sekitar. Pada orang-orang yang berjalan melewatinya. “Kurasa hanya aku yang jalan di tempat,” bisiknya sembari melanjutkan langkah kembali. Kepala gadis itu pun tertunduk menyembunyikan kegundahan yang berkejaran di wajah. Dia merasa tidak memiliki lagi solusi. Dan satu-satunya yang bisa membantu hanya Brandon. Tentu saja Hagen tidak masuk hitungan. Dia ba
Hagen memeluk kepala Camellia yang menangis di pundaknya. Dia membawa gadis itu berdiri dan berjalan menjauhi trotoar.Beberapa pejalan kaki yang tadinya berada di sekitar keduanya, kini menjauh satu per satu. Seolah tahu bahwa keberadaan mereka hanya akan menganggu.“Aku ingin ke rumah sakit,” isak Camellia dengan suara bergetar panik.Dia bahkan seolah tidak menyadari sosok pria yang menuntunnya ke sebuah mobil di pinggir jalan, tak jauh dari sana.“A-ayahku di rumah sakit. Aku harus ke sana!” jerit gadis itu dengan kedua tangan meremas baju Hagen yang basah oleh air mata.Pria itu tidak bersuara. Dia hanya menuntun dalam diam, sedangkan kedua tangan melingkar erat di pinggang gadis muda itu.“Please,” tangis Camellia dengan suara parau penuh permohonan. “Please, ayahku membutuhkanku.”Hati Hagen pun terhenyak. Dia terus membawa gadis itu hingga keduanya memasuki mobil. Namun tidak sep
Camellia menatap transaksi pembayaran lunas dari rumah sakit dengan pandangan datar. Dia tahu siapa yang telah membayar semua itu, sehingga gadis muda tersebut pun hanya bisa menahan rasa kesal di dalam hati saat berjalan menuju keluar rumah sakit.Kepalanya sesekali menatap sekitar, mencari-cari sosok yang mungkin saja masih ada di sana. Namun, pria itu tidak ada dimana-mana, meyebabkan Camellia sedikit kecewa sekaligus lega. Setidaknya, dia tidak akan bertemu Blake Hagen di sana.Akan tetapi, langkahnya terjeda begitu pandangnnya jatuh pada Garry Frank yang berdiri di parkiran dengan postur tegap dan kedua lengan di depan dada. Pria itu tampak sendirian dan sepertinya sedang menunggu seseorang, yang Camellia yakini adalah dirinya.Lagi pula, siapa lagi yang akan bawahan Blake Hagen itu ganggu jika bukan Camellia. Seingatnya, sa
Tangan Camellia membeku di udara begitu dia membaca pesan yang Brandon berikan. Dia menggigit bibir bawahnya sembari berjalan gelisah dalam ruangan kamar.Rasanya dia ingin memaki bosnya itu, karena bisa-bisanya Brandon melakukan ini padanya disaat pria itu sendiri tahu akan perasaannya.Gadis muda itu melirik layar ponsel sekali lagi sembari menghela napas berkali-kali.Brandon: Aku ingin kau membersihkan tempat ini.Di bawah keterangan itu terdapat alamat yang sudah sangat Camellia tahu, karena dia pernah ke tempat itu. Lebih tepatnya, dipenjara di tempat itu oleh si pria tanpa hati.Camellia: Apa maksud semua ini?Dengan penuh kemarahan, gadis itu membalas dengan perkataan
Seperti yang sudah dia duga, pria itu pasti akan mendatanginya ke rumah.Sengaja Camellia bersembunyi dari balik gorden kamar dan pura-pura tuli begitu dia mendengar suara bell pintu berbunyi. Gadis itu bahkan mematikan ponsel agar tidak dihubungi, dan dia juga mengunci seluruh akses ke dalam rumah.Untungnya Camellia sudah mengganti semua kunci di sana, sehingga pria itu tidak akan bisa memakai kunci yang dicuri.“Kenapa dia tidak juga jera,” geram Camellia sembari menutup gorden dan mendekati ranjang.Dia menunggu hingga tidak lagi terdengar suara bell pintu. Setelah beberapa waktu, akhirnya rumah itu hening kembali, membuatnya menghela napas pelan. Sedikit lega, namun juga ada kecewa yang dengan cepat dia halau kuat-kuat.
“Apa kau melihat sesuatu?” tanya Hagen ketika dia memasuki sebuah rungan di apartemennya.Tampak Frank yang diam di sebuah kursi dengan pandangan mengawasi sebuah layar CCTV. Tangan kanan Blake Hagen itu menggeleng pelan sedangkan fokus matanya tidak pernah lepas dari layar.“Tidak ada yang keluar dari rumah itu sejak pagi,” ucapnya sembari memainkan pena di atas meja.“Aku serahkan padamu, nanti aku kembali,” kata Hagen dengan tangan menepuk bahu Frank pelan sebelum akhirnya dia berlalu dari ruangan.Baru saja dia berjalan melintasi koridor menuju ke lantai dua, saat tiba-tiba ponselnya berbunyi dan nama Brandon muncul di sana.Dengan rasa malas, Hagen pun mengangkat panggilan tersebut.