Vote sebelum baca 😘😘
.
.
Di saat matahari belum mengeluarkan sinarnya dan burung bahkan belum keluar dari sangkarnya, mata seorang perempuan sudah terbuka dengan tangan kekar yang setia memeluknya. Sophia menangis sepanjang malam dan sialnya pria itu seakan tuli tidak mendengar suara isak tangis Sophia. Ia sibuk dengan dunia mimpinya hingga menyebabkan suara dengkuran halus yang menyebabkan air mata Sophia saling berlomba kecepatan. Perlahan Sophia mengangkat tangan itu dan turun dari ranjang untuk memunguti pakaiannya yang berserakan.
Sophia terdiam saat matanya menatap noda darah pada roknya dan sprai yang tadi ia tiduri. Tanpa berkedip, air mata Sophia terus saja jatuh tidak terima dengan apa yang telah terjadi. Tangannya yang gementar menghapus kasar air matanya, Sophia mengambil jas hitam milik pria itu dan memakainya untuk menutupi sebagian bajunya yang robek.
Tubuh Sophia terdiam saat tubuhnya sudah dibalut pakaian. Matanya menatap murka pria yang sedang tertidur. Tanpa sadar, Sophia membawa botol wine kosong yang siap ia pukulkan pada bajingan itu. Seakan tanpa dosa, pria itu tertidur begitu damai dan tenang.
Kaki mungil itu melangkah mendekati ranjang, tangannya yang memegang botol terangkat tinggi. Saat hendak memukulnya tangan Sophia terhenti, ia tersadar dan berpikir dua kali. Tak mungkin dirinya membunuh dan berakhir di penjara lalu neneknya terlantar begitu saja.Botol kosong itu kembali Sophia letakan asal, ia mengusap air matanya yang jatuh. Bibirnya yang kering memperjelas kepedihan yang sedang ia alami. Dengan langkah tertatih-tatih, Sophia keluar dari kamar itu. Sepanjang lorong tangannya memegang dinding untuk membantunya tetap berdiri. Rasa sakit luar biasa di seluruh tubuh Sophia penyebabnya.
Matanya melihat ke sana-sini sebelum memasuki lift. Saat ia sudah masuk kedalam lift, Sophia menyandarkan pundaknya dan mengambil napas dalam-dalam. Air matanya kembali jatuh saat melihat pantulan dirinya sendiri di dalam lift. Penampilannya begitu naas, menyedihkan dan patut dikasihani.
Saat lift terbuka, Sophia dengan cepat menghapus air matanya. Matanya menjelajahi lobi untuk memastikan tidak akan ada yang mengenalnya. Untungnya hanya ada beberapa pekerja kebersihan mengingat ini masih pagi. Dengan cepat Sophia berjalan sambil menahan rasa sakit di tubuhnya.
Namun sayang, saat Sophia sudah dekat pintu utama hotel, seseorang yang mengenali Sophia memanggilnya.
"Sophia kau kah itu?"
Sophia menghentikan langkahnya, tubuhnya kaku sesaat. Ia tidak ingin membalikan badannya, tubuh dan pikirannya menyuruh Sophia berlari menjauh dari sana. Mengabaikan rasa sakit baik fisik maupun batin yang mulai mengambil alih tubuhnya. Saat sudah cukup jauh Sophia memperlambat larinya dan mulai mendapat tatapan iba dari orang orang yang melihatnya.
Jalanan kota mulai ramai padahal ini masih pagi buta. Mobil berlalu lalang mulai dari kelas atas hingga kelas bawah. Semua orang sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing meskipun ini akhir pekan.
Semua orang menatap aneh kepada Sophia yang berjalan terpincang-pincang dengan bajunya yang robek hingga menampakan sedikit lekuk tubuhnya. Sophia tidak peduli pada orang yang menatapnya, ia hanya ingin pulang ke rumah dan menangis sepuasnya.
"Sophia apa kau baik-baik saja?" tanya seorang nenek penjual bunga menghampiri Sophia.
Sophia berhenti berjalan dan menatap nenek itu. Kepalanya menggeleng lemah dengan air mata yang jatuh begitu saja. Sophia mengeratkan jas yang membalut tubuh kecilnya dengan isakan kecil yang keluar dari bibir mungilnya.
"Ikut aku." Nenek itu menuntun Sophia ke rumah kecil miliknya di dekat sana dan menyuruh Sophia duduk.
Selly membawa baju yang layak pakai milik cucu perempuanya dan memberikannya untuk Sophia pakai. Selly menatap sendu punggung Sophia yang berjalan menjauh dan menghilang di balik pintu kamar. Kakinya melangkah menuju dapur untuk memanaskan sup yang tadi Selly masak.
"Makan ini, Sophie." Selly memberikan sup hangat yang baru saja ia panaskan kepada Sophia.
Sophia menggeleng lemah dan kembali menangis. Selly bingung melihat keadaan gadis di hadapannya, ia tahu sesuatu terjadi padanya. Dengan tangan keriputnya, ia memeluk Sophia sambil mengusap kepalanya. Saat bayang-bayang semalam kembali memenuhi pikiran Sophia, ia menangis meraung meratapi nasibnya.
Satu jam Sophia menangis dengan pilu, akhirnya ia menceritakan semuanya kepada Selly. Mendengar cerita Sophia, Selly pun ikut menangis. Ia ikut bersedih dengan keadaan Sophia. Dulu orang tua Sophia selalu menolongnya dengan membeli bunga, jadi ia sudah mengenal Sophia sejak lama.
"Apa kau mengenal pria itu?"
Sophia menggeleng pelan dan menatap kosong lantai yang diinjak kakinya. Tangan Selly menyentuh bahu Sophia lembut saat perempuan itu kembali mengeluarkan isakan.
"Kalau begitu tidurlah," ucap Selly membujuk Sophia agar tidak terus menangis. Namun perempuan itu menggelengkan kepalanya lagi.
"Aku ingin pulang."
Selly menghela napasnya. Ia keluar dari rumah untuk mencari taksi yang akan mengantarkan Sophia. Sementara perempuan itu kembali menangis kemudian menatap benci jas yang tadi ia pakai saat keluar dari hotel itu.
'Terkutuklah pria bajingan, kau akan memiliki banyak anak yang membuatmu kewalahan,' ucap Sophia mengutuk dalam hati.
***
Sophia menatap kosong dinding kamarnya, tangannya sibuk memelintirkan rambutnya hingga nampak kusut. Hati dan pikirannya semakin membenci Tuhan dan juga waktu, mereka berdua tidak adil. Tidak cukupkah mereka memberikan beban yang begitu berat pada gadis seperti dirinya. Kini harta paling berharganya kandas begitu saja.
Tidak ada lagi harapan baginya, setiap saat Sophia berharap menikah dengan pria yang akan menyelamatkannya dari kesengsaraan ini. Namun semua tidak akan berjalan seperti keinginan. Pria itu, Sophia sangat membencinya. Setiap menit dan setiap detik yang pria itu lakukan pada Sophia seakan terukir permanen di pikirannya.
Bahkan suara bisikan dan desahan pria itu masih ter ngiang-ngiang di benak Sophia. Pria mabuk yang gila, percuma Sophia meminta pertanggung jawaban padanya. Pasti dia hanya akan memberikan uang pada Sophia seperti orang kaya lainnya, seperti ayahnya.
Sophia beranjak dari tempat tidurnya, ia tidak bisa terus terpuruk seperti ini. Hidup ini berjalan dan seseorang membutuhkan uang. Ia akan mencoba melupakan semuanya. Sophia mencari-cari ponselnya. Baru ia ingat, ponselnya dilempar entah kemana oleh pria gila itu.
Sophia tidak mempedulikannya. Ia berjalan memasuki kamar mandi. Kini ia harus bangkit dan tidak boleh seperti ini.
'Lupakan semuanya, Sophia. Lupakan semua kejadian laknat itu.' pikiran Sophia terus saja mengulang kalimat itu.
Sebelum pergi keluar, Sophia membereskan apartemennya yang kemarin hancur oleh anak buah Gunner. Sudah sering kali Gunner melakukan hal ini kepadanya. Ia menginginkan Sophia menjadi wanitanya, namum ia tidak menerimanya begitu saja.
Gunner adalah seorang mafia kejam dan Sophia tidak menyukainya. Wajahnya memang rupawan tapi kelakuannya seperti setan. Kata setan kembali mengingatkan Sophia pada pria bejat itu hingga ia kembali menangis. Hari ini Sophia memilih menangis sepuasnya tanpa lelah.
'Maafkan aku, Nek. Biarkan aku menangis untuk hari ini.' batin Sophia dengan tubuhnya yang tersungkur ke tempat tidur.
Sophia tidur tengkurap sambil menangis. Kakinya menendang-nendang guling dan bantal yang ada di sekitarnya. Ia menjerit lalu kembali membenamkan wajahnya pada bantal.
"Aaaaakkkkhhhh !"
Jeritan Sophia begitu kuat, ia duduk dan melemparkan semua benda yang ada di atas ranjang. Tangan Sophia mencakar dirinya sendiri hingga terlihat bekas cakarannya merah. Kepala Sophia tenggelam di antara lututnya, ia tampak seperti orang gila saat ini.
Hanya hari ini, Sophia berjanji akan kembali seperti sedia kala lagi. Hanya sekarang, ia ingin menjerit pada Tuhan atas ketidak adilan yang ia dapatkan.
***
IG : ALZENA2108
Sophia bekerja di pet shop seperti biasanya. Sedikit demi sedikit kejadian tiga hari yang lalu ia lupakan, meskipun tidak sepenuhnya terlupakan tapi dengan menyibukan diri akan membantunya.Tempat Sophia bekerja bukan hanya menjual hewan, tapi juga mengobati hewan yang sakit. Dulu ayahnya sangat menyukai hewan sehingga Sophia tahu banyak tentang mengobati hewan."Selamat datang di.....," ucapan Sophia terhenti begitu melihat orang yang memasuki pet shop.Kakinya melangkah mundur dengan teratur ketika pria itu mendekat. Punggung Sophia terbentur pada rak di dinding, untung saja Sophia dan pria itu terpisah oleh meja."Apa aku menakutkan?" pria itu bertanya seakan tanpa dosa.'Tent
4 Weeks agoSeorang pria mengerjapkan matanya begitu sinar matahari masuk melalui cerah gorden, ia memegangi kepalanya yang teramat pusing. Tubuhnya membeku, ia baru menyadari dirinya tidak memakai baju sama sekali.Pria itu mengecek keadaannya, noda darah terpampang jelas pada sprei putih. Ia mencoba mengingat -ingat apa yang sebenarnya terjadi. Kilasan demi kilasan peristiwa semalam berputar di otaknya. Dirinya datang ke hotel dan mabuk berat akibat perempuan itu. Semalam seorang pelayan datang ke kamarnya untuk memberikan wine yang ia minta dan terjadilah pergulatan panas. Edmund merutuki dirinya sendiri sambil mencoba berdiri.Kakinya menginjak sesuatu saat hendak pergi ke kamar mandi. Edmund mengambil ponsel itu dan mengeceknya. Kini ia tahu siapa wanita yang menj
Sudah beberapa hari setelah malam itu, Sophia tidak lagi melihat pria yang memperkosanya. Dia berpikir pria itu hanya bermain kata, karena mana mungkin di zaman sekarang ada pria yang berani bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya. Ada sedikit ruang pada hati Sophia menginginkan pria itu benar-benar dengan ucapannya, mewujudkan ucapannya agar bayi dalam kandungannya lahir dengan status yang jelas. Sayangnya ruang itu mulai menyempit seiring berjalannya waktu. Nyatanya pria itu berbohong, dia sama sekali tidak datang. Seharusnya pria itu kembali dan meminta pengampunan Sophia atas apa yang dilakukannya.Lelah memikirkan pria yang tidak jelas itu, Sophia memilih pergi ke rumah sakit siang ini. Dr. Allarick bilang kalau dia ingin membicarakan sesuatu dengannya. Setiap kali dr.Allarick memanggilnya, hati Sophia tidak luput memanjatkan doa kepada Tuhan agar berita yang akan disampaikan D
Kesepakatan itu dibuat tanpa adanya penandatanganan di atas kertas, hanya ucapan saja. Edmund menyetujui permintaan Sophia, tetapi dia meminta Sophia untuk berhenti bekerja di mana pun dengan alasan bayi yang ada dalam kandungan. Keduanya melewati perdebatan panjang dalam mobil mengenai hal itu hingga akhirnya Sophia tidak bisa melawan, dia mengangguk pasrah setelah telinganya panas mendengar perkataan Edmund.Pandangan Sophia terpaku ke luar jendela mobil, sementara Edmund fokus menyetir. Keduanya dalam perjalanan menuju rumah orangtua Edmund. Sebenarnya ada rasa takut pada diri Sophia. Dia takut akalu kedua orangtua Edmund menolak dirinya sebagai menantu dalam keluarga D'allesandro.Beberapa jam dalam mobil mereka lewati dengan keheningan hingga akhirnya mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah mansion. Sophia tersadar dari lamun
Sophia mengejapkan mata begitu sinar matahari masuk melalui celah gorden, menelusup hingga mengenai wajahnya. Perlahan, mata Sophia terbuka, dia bingung di mana dirinya berada. Sedetik kemudian, Sophia mengingat apa yang terjadi. Dia berada di apartemen Edmund karena semalam pria itu memaksanya.Dengan tubuh yang terasa lemah, Sophia duduk di ranjang dan melihat sekeliling kamar hingga matanya berakhir di meja rias. Keningnya berkerut mengingat di mana dia tidur semalam. Mata Sophia beralih pada tempatnya duduk, ranjang yang sangat empuk menjadi tempatnya tidur. Akan tetapi, dia segera melupakan keanehan itu saat mulutnya menguap lebar.Tangan Sophia menggaruk kepala bagian belakang kemudian menoleh ke atas nakas, tepatnya pada sebuah jam. Matanya memelotot saat melihat angka pada jam. Ini adalah angka paling parah dari sekian kalinya S
"Astaga, aku lupa menanyakan kode apartemennya." Sophia mendengus kesal begitu sampai di pintu apartemen.Tangan Sophia terus menerus menekan angka yang salah, semakin lama rasa marahnya semakin bertambah. Sebelumnya Sophia sudah menekan bel berulang-ulang, tapi tidak ada jawaban dari dalam.Tiba-tiba saja seseorang memegang tangan Sophia yang sedang menekan kode kemudian tubuh seseorang itu mengurung tubuh kecil Sophia dari belakang. Tangan itu menekan kode dengan benar hingga membuat Sophia penasaran siapakah orang itu. Sophia membalikan badannya untuk mengetahui siapa orang itu dengan bahu kanan yang bersandar pada pintu. Mata Sophia langsung bertatapan dengan mata biru safir milik Edmund.Beberapa saat, Sophia terpana dengan mata Edmund, menikmatinya dengan punggung bersandar pada
Sophia menggeliat dari tidur saat sinar matahari menerpa matanya, dia merasa gerakannya terbatas. Saat membuka mata, ternyata ada tangan tengah memeluknya erat dari belakang. Sophia menguap, berniat melanjutkan kembali tidurnya. Sedetik kemudian dia membulatkan mata, menarik tangan yang melingkari pinggang kemudian membalikkan badan. Tubuh Sophia tersentak kaget saat wajah Edmund berada tepat di hadapannya dengan mata yang terpejam.Sesaat Sophia menahan napas kemudian tatapannya beralih ke bagian bawah tubuh. Matanya menangkap tubuh Edmund yang bertelanjang dada. Selimut yang seharusnya menutupi tubuh itu telah tersingkap, sementara tubuh Sophia masih terlilit selimut hangat yang tebal. Perempuan itu menelan ludah kasar saat melihat perut datar Edmund yang di penuhi otot, setelahnya wajah Sophia memperlihatkan ekspresi heran karena Edmund bertelanjang dada.
"Nyonya mengalami hipotermia ringan, untunglah Tuan mengambil tindakan benar dengan skin to skin contact. Bayi yang ada dalam kandungan Nyonya baik-baik saja. Saya sarankan Nyonya memakai air hangat jika mandi dan memakai jaket jika akan keluar ruangan." Penjelasan dari dokter membuat hati Edmund dan Sophia mendesah lega, kekhawatiran pada calon bayi mereka kini mulai mereda."Lalu bagaimana dengan kakinya?" Edmund bertanya sambil menatap kaki Sophia yang kini tidak tertutup perban."Saya sudah melakukan penanganan utama untuk lukanya, Tuan. Anda tidak perlu khawatir lukanya akan infeksi." Ucapan dokter itu membuat Edmund menganggukkan kepala. "Ini resep vitamin dan salep untuk luka kaki yang harus anda beli," lanjutnya memberikan resep obat pada Edmund."Terima kasih," ucap Sophia saa