Sophia bekerja di pet shop seperti biasanya. Sedikit demi sedikit kejadian tiga hari yang lalu ia lupakan, meskipun tidak sepenuhnya terlupakan tapi dengan menyibukan diri akan membantunya.
Tempat Sophia bekerja bukan hanya menjual hewan, tapi juga mengobati hewan yang sakit. Dulu ayahnya sangat menyukai hewan sehingga Sophia tahu banyak tentang mengobati hewan.
"Selamat datang di.....," ucapan Sophia terhenti begitu melihat orang yang memasuki pet shop.
Kakinya melangkah mundur dengan teratur ketika pria itu mendekat. Punggung Sophia terbentur pada rak di dinding, untung saja Sophia dan pria itu terpisah oleh meja.
"Apa aku menakutkan?" pria itu bertanya seakan tanpa dosa.
'Tentu kau menakutkan Gunner sialan!' Sophia memaki dalam hati. Bagaimana mungkin dirinya tidak takut dengannya, sementara perlakuan Gunner selalu buruk padanya.
Gunner mengangkat tangan kanannya yang sedang memegang tali, kening Sophia berkerut. Ia memberanikan diri mendekati Gunner dan menunduk melihat di sebelah kaki kanan pria itu, di sana terlihat seekor anak anjing lucu berjenis chihuahua.
Sophia mengerutkan keningnya aneh, seorang mafia berjas hitam dan berkacamata hitam membawa anjing yang cocoknya dibawa oleh seorang perempuan.
"Dia sakit." Gunner sedikit menendang anjing kecil itu. Melihat itu Sophia segera menggendong anak anjing itu dan menendang kaki kanan Gunner.
"Dasar tidak punya hati!" bentak Sophia kepada Gunner.
Gunner tersenyum mendapat perlakuan seperti itu. Bukan senyum meremehkan, tapi senyum tulus yang membuat Sophia bergidik aneh.
'Apa dia kerasukan?' tanya Sophia dalam hati.
Gunner mengikuti Sophia ke dalam ruang pemeriksaan, tak henti-hentinya Gunner menatap Sophia saat ia sedang memeriksa anjing.
"Apa aku bukan tipemu sama sekali?" Sophia menghentikan aktivitasnya dan menatap Gunner.
"Apa?" Sophia mencoba memastikan.
"Tidak, lupakan!" Gunner memakai kembali kacamata hitamnya dan keluar dari ruang pemeriksaan. Ia duduk di kursi tunggu sambil memainkan ponselnya, selang beberapa menit Sophia keluar dan menemui Gunner.
"Anjingmu butuh per-"
"Dia bukan anjingku!" Gunner mendelik sebal pada Sophia.
"Baiklah, anjing ini butuh per-"
"Dia anjing ibuku." Lagi - lagi Gunner memotong perkataan Sophia.
"Anjing ini, anjing ibumu, butuh perhatian lebih. Kau harus sering mengajaknya bermain dan meluangkan waktu untuknya. Itu bisa meringankan stres yang dialaminya," jelas Sophia yang membuat mulut Gunner membentuk huruf O. Kekesalan Sophia semakin bertambah ketika melihat respon Gunner.
"Kau sudah makan siang?" Gunner menyandarkan punggungnya di kursi sambil menatap Sophia. Bukannya menjawab Sophia malah menyipitkan matanya curiga.
"Aku ingin mengajakmu makan siang." Sophia tetap bungkam.
"Sophia !"
"Makan saja sendiri ! Aku harus menghasilkan banyak uang !" bentak Sophia tak kalah.
"Kuperintahkan kau makan siang denganku atau..."
"Atau apa?"
"Aku akan memecatmu."
Sophia terdiam. Sudah dua kali Gunner membeli tempat di mana Sophia bekerja. Dulu Gunner membeli toko bunga dan Sophia memutuskan berhenti bekerja di sana. Kini ia tak dapat menghindar lagi, ini pekerjaan yang mampu membiayai hidupnya. Sophia sudah keluar dari hotel terkutuk itu.
Dengan berat hati Sophia memenuhi ajakan Gunner. Kini mereka berdua duduk berhadapan di sebuah restoran cepat saji yang banyak didatangi oleh orang orang berdompet tebal.
"Aku ingin memulainya dari awal lagi." Gunner membuka percakapan. Sophia menatap Gunner sekan - akan berkata, 'Memulai apa bodoh ?'
"Aku ingin kau melupakan semua yang terjadi di antara kita, mari mulai dari awal. Perkenalan dengan normal mungkin. Kupikir jika aku bersikap seperti pria normal lama-lama kau juga akan jatuh cinta padaku. Sebenarnya, aku tidak berniat menyakitimu. Tapi kau dengan angkuhnya menolakku. Jadi sekarang aku putuskan menghapus rencana menyakitimu dan tidak ada lagi pertengkaran di antara kita. Mari kita mulai dengan berteman, dan masalah hutang keluargamu tidak usah dipikirkan, bagaimana ?" tanya Gunner sambil tersenyum ramah dipaksakan. Mulut Sophia terbuka hendak bicara, namun sesuatu menghentikannya.
"Sophia! Sophia !" seseorang meneriaki nama Sophia membuatnya menoleh ke asal suara. Itu Aurin, ia berjalan tergesa-gesa ke meja Sophia dengan napas tak beraturan.
"Nenekmu Sophia, dia.... " belum sempat Aurin menyelesaikan perkataannya Sophia sudah lari dari sana. Gunner dan Aurin ikut berlari dan mengejar Sophia.
"Kita naik mobilku, itu lebih cepat," ucap Gunner saat tangannya menangkap pinggang Sophia. Tanpa banyak bicara, Sophia mengangguk cepat dan segera mengikuti kemana Gunner pergi.
***
"Bagaimana kau bisa kau tahu tentang nenekku?" tanya Sophia.
"Suster Christen meneleponku, dia bilang nomormu tidak bisa dihubungi. Jadi aku menyusulmu ke pet shop, dan ternyata kau tidak ada di sana. Bibi Doris memberitahuku bahwa kau pergi makan siang di seberang bersama si mafia tengik itu."
"Bagaimana keadaannya ?" lanjut Aurin.
Sophia menggelengkan kepalanya tanda neneknya tidak baik-baik saja. Aurin memeluk Sophia erat mencoba memberinya semangat.
"dr. Allarick bilang terapinya sia-sia, jadi nenekku butuh transplantasi hati. Jika tidak, mungkin dia... hiks... hiks... hiks..." Sophia tidak bisa melanjutkan perkataannya. Terlalu pedih untuk mengucapkannya.
"Kau melihat Gunner?" tanya Sophia melepaskan pelukannya.
"Si mafia? Tadi aku mendengar seorang wanita meneleponnya dan ia pergi begitu saja." Sophia menganggukan kepalanya. Sebenarnya ia berniat berterima kasih pada Gunner.
"Aku harus kembali bekerja Aurin. Bisa kau menjaga nenekku?"
"Oh iya, Gunner bilang kau tidak usah bekerja. Apa ia membeli lagi tempatmu bekerja, Sophie?" Tanya Aurin penasaran yang dibalas anggukan oleh Sophia.
"Kalau begitu aku pergi dulu."
"Baiklah." Sophia melangkah menuju ruangan neneknya. Karena mendapat keringanan dari atasannya, akhirnya Sophia menemani Martina hari ini, ia juga meminta izin pada Tuan Headen dan mendapat respon baik.
Sophia kelelahan, ia membaringkan tubuhnya sebentar di atas sofa yang ada di sana. Matanya menatap langit langit merencanakan masa depan, tapi jika mengingat apa yang sudah terjadi rasanya tidak ada lagi yang perlu direncanakan oleh Sophia.
"Sophie." Martina memanggil pelan Sophia yang sedang tertidur di sofa.
"Iya, Nek?" Sophia bangun dan menghampiri neneknya. Telinganya menjadi sangat sensitif sejak saat itu.
"Dengar Sophie, berhentilah memperjuangkanku. Aku sudah tua renta dan pantas untuk tidur dalam tanah. Tapi tidak dengan mimpimu Sophie, belajarlah di universitas yang kau inginkan." Martina mencoba meyakinkan Sophie
"Aku tidak akan menyerah, Nek. Kau segalanya. Jika kau berkata seperti itu lagi, kau dapat pastikan aku bukan lagi cucumu!" bentak Sophia lalu keluar kamar meninggalkan Martina seorang diri.
Sophia memeluk kedua lututnya dan menangis. Bagaimana bisa neneknya berkata seperti itu. Seharusnya ia menghargai perjuangan dirinya.
***
Sudah beberapa minggu kejadian laknat itu. Gunner juga tak henti-hentinya selalu mengajak makan siang bersama dan melakukan hal manis lainnya. Sophia tidak menolak atau marah, selama Gunner tidak merugikan dirinya maka akan Sophia terima. Untuk keadaan Martina, tentu saja semakin memburuk.
"Sophia coba yang ini." Jaden menyodorkan kue kacang yang baru saja diangkat dari oven. Sophia menutup hidungnya tak tahan dengan aromanya dan pergi meninggalkan Jaden.
"Dia kenapa?" Tanya Jaden pada Aurin.
"Aku tidak tahu. Sedari tadi ia terus menerus muntah." Jaden menyipitkan matanya mendengar jawaban Aurin.
"Jangan pikirkaan yang tidak-tidak!" bentak Aurin pada Jaden.
"Memangnya apa yang ada di dalam pikiranku?" tanya Jaden menggoda. Aurin malah meninggalkannya dengan tatapan malas.
"Oek.. Oek... Oek..." entah sudah berapa kali Sophia keluar masuk toilet untuk memuntahkan isi perutnya. Aurin yang melihat itu cemas, ia menyusul Sophia ke dalam toilet.
"kau baik-baik saja, Sophie?" tanya Aurin sambil mengusap punggung Sophia. Wajah dan bibir Sophia memutih. Ia duduk di closet sambil mengatur rambutnya yang berantakan.
"Apa kau hamil?" Sophia mendelik pada Aurin mendengar pertanyaan sahabatnya itu.
"Aku hanya bercanda, bagaimana mungkin kau hamil kalau belum melakukan itu," lanjut Aurin tersenyum lebar pada Sophia.
"Kau tidak sehat, sebaiknya kau pulang. Aku akan memberitahu Tuan Headen."
Sophia mengangguk dan memutuskan untuk pulang lebih awal, ia tak tahan dengan bau kue kacang yang ada di sana. Bukan hanya kue kacang, tapi juga beberapa kue yang memiliki aroma menyengat. Termasuk keringat Jaden.
'Apa kau hamil? apa kau hamil? apa kau hamil?' ucapan Aurin terus saja terngiang-ngiang di pikiran Sophia selama perjalanan.
Sophia mengambil test pack yang ia beli saat perjalanan pulang dan mengecek apakah ia benar hamil atau tidak.
Mata tajamnya terus meperhatikan test pack itu dengan jarak yang sangat dekat. Beberapa doa ia ucapkan dalam hati agar semua yang ada dalam pikirannya tidak menjadi kenyataan.
'Satu garis' Sophia bernapas lega dan hendak membuangnya. Namun mata Sophia membulat sempurna ketika ia melihat kembali test pack itu, garisnya berubah menjadi dua. Sophia tertunduk di lantai dan menangis. Lagi.
***
"Selamat, Nona. Anda positive hamil tiga minggu."
Napas Sophia semakin pendek mendengar penjelasan dokter kandungan yang ada di hadapannya. Air mata Sophia jatuh dan segera ia hapus kasar.
"Anda sepertinya sangat senang dengan kehadirannya. Ini resep vitamin yang harus anda minum," ucapan dokter itu tidak Sophia dengarkan, pikirannya sibuk bermonolog dengan nasib anak ini kelak.
Ia hanya mengangguk lemah dan mengambil resep vitamin yang harus ia minum. Sophia berjalan keluar dari ruangan itu. Tapi bukannya ingin menebus vitamin yang di sarankan dokter, Sophia malah meremas resep itu lalu membuangnya asal.
Sepanjang jalan Sophia menahan air matanya jatuh. Ia memilih menatap perut datarnya hingga pikiran kotor tersirat dalam benaknya. Sesampainya di apartemen Sophia memukul-mukul perutnya marah. Hingga pukulan itu semakin melemah dan digantikan oleh suara isak tangis yang semakin kuat.
"Apa yang harus aku lakukan," gumam Sophia yang sudah tertunduk dilantai.
****
IG : @ALZENA2108
4 Weeks agoSeorang pria mengerjapkan matanya begitu sinar matahari masuk melalui cerah gorden, ia memegangi kepalanya yang teramat pusing. Tubuhnya membeku, ia baru menyadari dirinya tidak memakai baju sama sekali.Pria itu mengecek keadaannya, noda darah terpampang jelas pada sprei putih. Ia mencoba mengingat -ingat apa yang sebenarnya terjadi. Kilasan demi kilasan peristiwa semalam berputar di otaknya. Dirinya datang ke hotel dan mabuk berat akibat perempuan itu. Semalam seorang pelayan datang ke kamarnya untuk memberikan wine yang ia minta dan terjadilah pergulatan panas. Edmund merutuki dirinya sendiri sambil mencoba berdiri.Kakinya menginjak sesuatu saat hendak pergi ke kamar mandi. Edmund mengambil ponsel itu dan mengeceknya. Kini ia tahu siapa wanita yang menj
Sudah beberapa hari setelah malam itu, Sophia tidak lagi melihat pria yang memperkosanya. Dia berpikir pria itu hanya bermain kata, karena mana mungkin di zaman sekarang ada pria yang berani bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya. Ada sedikit ruang pada hati Sophia menginginkan pria itu benar-benar dengan ucapannya, mewujudkan ucapannya agar bayi dalam kandungannya lahir dengan status yang jelas. Sayangnya ruang itu mulai menyempit seiring berjalannya waktu. Nyatanya pria itu berbohong, dia sama sekali tidak datang. Seharusnya pria itu kembali dan meminta pengampunan Sophia atas apa yang dilakukannya.Lelah memikirkan pria yang tidak jelas itu, Sophia memilih pergi ke rumah sakit siang ini. Dr. Allarick bilang kalau dia ingin membicarakan sesuatu dengannya. Setiap kali dr.Allarick memanggilnya, hati Sophia tidak luput memanjatkan doa kepada Tuhan agar berita yang akan disampaikan D
Kesepakatan itu dibuat tanpa adanya penandatanganan di atas kertas, hanya ucapan saja. Edmund menyetujui permintaan Sophia, tetapi dia meminta Sophia untuk berhenti bekerja di mana pun dengan alasan bayi yang ada dalam kandungan. Keduanya melewati perdebatan panjang dalam mobil mengenai hal itu hingga akhirnya Sophia tidak bisa melawan, dia mengangguk pasrah setelah telinganya panas mendengar perkataan Edmund.Pandangan Sophia terpaku ke luar jendela mobil, sementara Edmund fokus menyetir. Keduanya dalam perjalanan menuju rumah orangtua Edmund. Sebenarnya ada rasa takut pada diri Sophia. Dia takut akalu kedua orangtua Edmund menolak dirinya sebagai menantu dalam keluarga D'allesandro.Beberapa jam dalam mobil mereka lewati dengan keheningan hingga akhirnya mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah mansion. Sophia tersadar dari lamun
Sophia mengejapkan mata begitu sinar matahari masuk melalui celah gorden, menelusup hingga mengenai wajahnya. Perlahan, mata Sophia terbuka, dia bingung di mana dirinya berada. Sedetik kemudian, Sophia mengingat apa yang terjadi. Dia berada di apartemen Edmund karena semalam pria itu memaksanya.Dengan tubuh yang terasa lemah, Sophia duduk di ranjang dan melihat sekeliling kamar hingga matanya berakhir di meja rias. Keningnya berkerut mengingat di mana dia tidur semalam. Mata Sophia beralih pada tempatnya duduk, ranjang yang sangat empuk menjadi tempatnya tidur. Akan tetapi, dia segera melupakan keanehan itu saat mulutnya menguap lebar.Tangan Sophia menggaruk kepala bagian belakang kemudian menoleh ke atas nakas, tepatnya pada sebuah jam. Matanya memelotot saat melihat angka pada jam. Ini adalah angka paling parah dari sekian kalinya S
"Astaga, aku lupa menanyakan kode apartemennya." Sophia mendengus kesal begitu sampai di pintu apartemen.Tangan Sophia terus menerus menekan angka yang salah, semakin lama rasa marahnya semakin bertambah. Sebelumnya Sophia sudah menekan bel berulang-ulang, tapi tidak ada jawaban dari dalam.Tiba-tiba saja seseorang memegang tangan Sophia yang sedang menekan kode kemudian tubuh seseorang itu mengurung tubuh kecil Sophia dari belakang. Tangan itu menekan kode dengan benar hingga membuat Sophia penasaran siapakah orang itu. Sophia membalikan badannya untuk mengetahui siapa orang itu dengan bahu kanan yang bersandar pada pintu. Mata Sophia langsung bertatapan dengan mata biru safir milik Edmund.Beberapa saat, Sophia terpana dengan mata Edmund, menikmatinya dengan punggung bersandar pada
Sophia menggeliat dari tidur saat sinar matahari menerpa matanya, dia merasa gerakannya terbatas. Saat membuka mata, ternyata ada tangan tengah memeluknya erat dari belakang. Sophia menguap, berniat melanjutkan kembali tidurnya. Sedetik kemudian dia membulatkan mata, menarik tangan yang melingkari pinggang kemudian membalikkan badan. Tubuh Sophia tersentak kaget saat wajah Edmund berada tepat di hadapannya dengan mata yang terpejam.Sesaat Sophia menahan napas kemudian tatapannya beralih ke bagian bawah tubuh. Matanya menangkap tubuh Edmund yang bertelanjang dada. Selimut yang seharusnya menutupi tubuh itu telah tersingkap, sementara tubuh Sophia masih terlilit selimut hangat yang tebal. Perempuan itu menelan ludah kasar saat melihat perut datar Edmund yang di penuhi otot, setelahnya wajah Sophia memperlihatkan ekspresi heran karena Edmund bertelanjang dada.
"Nyonya mengalami hipotermia ringan, untunglah Tuan mengambil tindakan benar dengan skin to skin contact. Bayi yang ada dalam kandungan Nyonya baik-baik saja. Saya sarankan Nyonya memakai air hangat jika mandi dan memakai jaket jika akan keluar ruangan." Penjelasan dari dokter membuat hati Edmund dan Sophia mendesah lega, kekhawatiran pada calon bayi mereka kini mulai mereda."Lalu bagaimana dengan kakinya?" Edmund bertanya sambil menatap kaki Sophia yang kini tidak tertutup perban."Saya sudah melakukan penanganan utama untuk lukanya, Tuan. Anda tidak perlu khawatir lukanya akan infeksi." Ucapan dokter itu membuat Edmund menganggukkan kepala. "Ini resep vitamin dan salep untuk luka kaki yang harus anda beli," lanjutnya memberikan resep obat pada Edmund."Terima kasih," ucap Sophia saa
"Astaga, Edmund."Rose berjalan mendekati Edmund dan memeluknya beberapa saat. Setelah melepaskan pelukan, Rose kembali menatap anaknya penuh tanya. Ia sama sekali tidak tahu tentang kepulangan Edmund. Biasanya Nicholas memberitahunya sehari sebelum kepulangan sang anak, tetapi kali ini tidak."Kapan kau kembali, Nak?" Rose mundur beberapa langkah, menjauhkam tubuhnya."Kemarin malam, Mommy," jawab Edmund tanpa menatap seseorang yang ada di belakang Rose. Seseorang itu menatap Edmund penuh dengan kerinduan, berharap pria itu kembali menatap hangat seperti seminggu yang lalu."Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Mommy," ucap Edmund sambil membalikkan badan, tetapi tangannya ditahan oleh Rose sebelum keluar dari ruangan itu.