Suara musik terdengar hingar-bingar di sebuah club malam yang memekakkan telinga. Alat musik yang dimainkan oleh disc jockey membuat siapapun yang mendengarnya ikut menggoyangkan tubuh mereka mengikuti alunan musik. Irama yang mampu membawa siapapun yang mendengarkannya seakan berada ke dunia lain.Dean berada di sana dengan duduk terdiam di salah meja VIP. Dia menatap semua orang yang terlihat begitu asyik menggerakan tubuh mereka. Ada yang ke kanan, ke kiri, dan ada pula yang saling berpelukan sambil bermesraan tidak sesuai dengan irama lagu.“Dean sudah cukup minumnya,” ujar Vio yang duduk di sebelah pengacara flamboyan tersebut.Dean tidak mengindahkan perkataan Vio. Dia terus menegak satu gelas per gelas masuk ke dalam tenggorokannya. Rasa panas dan pahit alkohol tidak dirasakannya lagi. Dia hanya ingin minum melepas penat yang terasa begitu berat.“Dean… ayolah pulang. Jangan seperti ini,” ujar Vio lagi.Ekor mata Dean melirik tajam ke arah Vio. Dia sangat kesal wanita yang dudu
Vio menangis dengan apa yang telah terjadi. Walau dia juga menikmatinya, tapi ada perasaan bersalah pada Keira. Dia yakin Keira sudah dimanipulasi oleh Ettan. Dia sangat mengenal lelaki yang pernah menjadi kekasihnya.“Sebaiknya aku pergi saja dari sini,” ujar Vio menatap Dean yang masih tertidur di atas ranjang.“Aku yakin besok pagi dia tidak akan mengingat apapun yang telah terjadi.” Vio menghela napasnya, “ini hanya kesalahan yang terjadi di saat orang mabuk.”Vio mencari celana dalam Dean dan berusaha memakaikannya lalu menutupi badan pria atletis tersebut dengan bed cover. Dia tidak akan lagi mengulangi kesalahan yang terjadi antara dia dan Dean. Sambil berjalan berjinjit Vio pun meninggalkan Dean.Air mata Vio menetes di pipinya. Entah mengapa rasanya begitu sakit meninggalkan Dean. Ada perasaan bersalah dan malu berkecamuk dalam hatinya. Di dalam hatinya, dia berharap Dean tidak mengingat apapun yang telah terjadi malam ini. Biarlah dia yang mengingatnya sebagai kenangan.Kees
Sepasang mata sendu menatap jendela. Terlihat gedung-gedung pencakar langit dengan lampu-lampu beraneka warna yang indah dipandang mata. Tangannya mengulur ingin menggapai lampu berbentuk bintang, tapi sayangnya tangan tak sampai dan terhalang kaca jendela.Perasaan Keira bercampur aduk antara bahagia, sedih, kecewa, marah. Kenapa semua harus terjadi dalam hidupnya? Apakah salah jika hanya ingin bahagia? Kenapa dan kenapa ada dalam benaknya tanpa disadarinya kalau semua adalah kesalahan dirinya sendiri.“Sebaiknya aku pulang saja yaa ke rumah Mama,” ucapnya gelisah.Sudah dua hari semenjak pertemuannya terakhir dengan Dean dan dia masih saja di apartemen Ettan. Dia merasa resah dan gelisah sendiri merasa tidak enak menumpang hidup di tempat orang lain. Dia pun berpikir apakah benar yang dilakukannya dengan tinggal di rumah pria yang tidak memiliki ikatan apapun.“Atau aku pulang saja ke rumah Dean untuk mengambil barang-barangku, tapi kalau dipikir-pikir itu kan rumahku sendiri bukan
Keesokan harinyaKeira sudah berada di rumahnya. Dia memandangi setiap sudut rumah yang begitu banyak kenangan-kenangan indahnya bersama Dean. Hampir di setiap tempat pernah mereka lakukan hubungan suami-istri.Tanpa terasa kenangan-kenangan indah tersebut membuat bening-bening kristal keluar dari mata indah Keira. Kenangan bersama Dean begitu melekat erat di dalam pikirannya. Tanpa terasa dia memegang dadanya yang terasa begitu sakit.Kenangan indah bercampur dengan kenangan buruk. Rasa sakit kehilangan anak yang belum sempat lahir ke dunia membuat Keira tidak dapat lagi membendung semuanya. Dia menangis terisak dengan segala kesakitan yang luar biasa menghujam jantungnya.“Maafkan Mama, Nak. Maafkan Mama.”Hanya kata-kata maaf yang mampu terucapkan dari bibir Keira.“Mama salah tidak bisa menjagamu… Mama hanya seorang Ibu yang tidak berguna.”Semua perkataan Keira didengar oleh Dean. Dean juga berada di sana sebelum Keira datang. Air mata Dean menetes saat mendengar betapa sakitnya
Keira terbangun dari tidurnya saat tengah malam. Dia merasakan tangannya dipegang oleh seseorang lalu menoleh untuk melihatnya.“Loh kok Dean di sini?” tanyanya dengan bingung.Dia teringat Dean memaksa membawanya ke rumah sakit. Tapi kenapa dia bisa sampai dirawat? Dia sakit apa? Kemarin hanya mengalami nyeri dan kram di perutnya. Dengan perlahan Keira menarik tangannya, dia tidak ingin sentuh oleh Dean.Secara perlahan Keira turun dari ranjang. Dia ingin pergi dari rumah sakit tanpa sepengetahuan siapapun. Setelah mengganti pakaiannya dia akan segera pergi secara sembunyi-sembunyi.“Eh, ini gelang pasien gimana cara bukanya ya,” ujarnya berusaha untuk melepaskan gelang pasien.“Apa harus pakai gunting? Mana mungkin aku nanya gunting ke perawat.” Keira menghela napasnya, “biarlah aku pakai aja dulu nanti di rumah baru digunting yang penting keluar dulu dari sini.”Keira berjalan keluar kamar rawatnya dengan sembunyi-sembunyi. Saat melihat ada perawat di ruang jaga kamar dia bersembun
Walau begitu kesal Dean mencoba untuk memahami apa yang terjadi. Kelakuan Keira yang memprovokasinya seakan menguji kesabarannya. Jika tidak mengingat betapa cintanya dia pada Keira mungkin tak sudi dia menerima perlakuan istrinya yang sudah menginjak-injak harga dirinya sebagai seorang pria.“Aku harus sabar. Aku harus segera menemukan cara untuk membongkar kedok Ettan agar Keira sadar kalau selama ini diperalat dan dibodohi,” ucap Dean.Dean melangkahkan kakinya meninggalkan rumah sakit. Dia harus menjaga jarak dengan Keira untuk beberapa saat agar tidak terjadi perselisihan terus menerus. Dia juga akan mengabari Arman dan Rosanna, orang tua agar bisa menjaga dan merawat Keira.Arman yang tertidur di samping istrinya, Rosanna terkejut mendengar dering telepon di pagi ini. Rasanya berat sekali untuk membuka matanya yang masih betah diatas bantal.“Siapa sih ini yang telepon pagi-pagi buta begini. Apa ga tau ya kalau orang lagi tidur, bikin emosi aja,” ujar Arman kesal.“Papa itu dian
Dengan semangat Dean menghubungi Richie Geraldo. Menurutnya ini waktu yang tepat saat subuh di Jakarta, tapi malam di New York. Yaa… Richie bersama kedua anak dan istrinya tinggal di New York.“Hallo Dean,” sapa Richie.“Hallo Richie. Terima kasih yaa semua fasilitas yang kamu berikan selama aku di Jakarta,” ucap Dean.“Namanya pertemanan itu sudah seharusnya saling membantu Bro.”“Aku padamu, Bro.”Dean dan Richie berbasa-basi sebentar tentang segala hal. Richie juga menceritakan dia lagi bahagia istrinya kembali hamil anak ke-3. Dia berharap anak ketiga perempuan setelah anak pertama dan kedua laki-laki. Pusing dia menghadapi anak laki-laki yang suka bertengkar.Mendengar Richie bercerita tentang anak membuat Dean merasa sedih. Seandainya Keira tidak keguguran tentu saja dia juga akan memiliki seorang anak. Rasa di hatinya begitu sakit mengingat semuanya.“Richie, apa aku bisa minta tolong sesuatu ke kamu,” ujar Dean memulai pembicaraan tentang masalahnya.“Selama aku bisa membantu
Dering ponselnya berbunyi dan lagi-lagi dari Dean. Ettan jadi curiga jangan-jangan Dean dibalik semua masalah yang dihadapinya sekarang. Dia ragu untuk mengangkat telepon, tapi juga penasaran.“Angkat atau ga yaa,” ujarnya ragu.Dari pada dia semakin penasaran akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon dari Dean.“Jangan telepon aku terus!” bentak Ettan begitu mengangkat telepon dari Dean.“Woi… sabar kali Tuan Ettan yang terhormat. Jangan suka teriak-teriak nanti urat sarafmu bisa putus, haha.”Ettan mendengus kesal mendengar kata-kata Dean. “Bagaimana Ettan dengan kasusnya apakah sudah mempengaruhi nilai saham Luca Entertaiment?” tanya Dean santai.Mendengar kata saham membuat Ettan melonjak kaget. Dia terlalu fokus untuk mengatasi semua masalah di bagian media, tapi lupa dengan perkembangan saham. Bisa-bisa anjlok nilai sahamnya jika dia tidak segera menyelesaikan semua permasalahan yang ada.“Bagaimana dengan perusahaan-perusahaan lain yang bekerjasama dengan Luca Entertaiment.