Samuel membereskan rumah lamanya. Banyak debu-debu yang menempel pada furnitur rumah. Sudah lama sekali rasanya dia meninggalkan rumah yang dibelinya bersama mendiang istrinya itu. Rumah sederhana dengan dua kamar tidur. Ada banyak kilasan memori di setiap Samuel melihat sekeliling rumahnya. Pria itu menatap pada potret keluarga yang masih terpajang di dinding. Alyssa masih kecil saat foto itu diambil, namun sekarang Samuel harus segera melepaskan Alyssa untuk hidup bersama Assa.Satu ketukan pintu membuat Samuel berhenti memandangi foto itu. Dia membukakan pintu untuk tamunya yang dia sendiri tidak tahu siapa. Ketika pintu terbuka, Samuel kaget melihat Jane yang datang memperlihatkan kotak makanan cepat saji dari restoran ternama.“Aku mendengar kau ada di sini dari Alyssa. Jadi aku datang,” katanya memberi penjelasan pada Samuel tanpa diminta.“Masuklah,” Samuel membuka lebar pintu rumahnya. “Maaf tempatnya masih sangat berantakan.”“Tidak masalah,” balas Jane dia meletakan makanan
Sepulang dari acara makan malam bersama keluarga Mark, Assa membawa Alyssa ke rooftop rumahnya yang disulap menjadi yang sangat indah dengan nuansa romantis yang kental. Di atas kolam renang yang beku taburan kelopak mawar disusun membentuk kalimat Marry Me.Ada meja dengan lilin-lilin menyala. Tak lupa juga bunga-bunga lainnya yang menghiasi tempat tersebut. Alyssa memandang takjub dengan apa-apa yang Assa siapkan untuknya.“Kejutan yang terlambat, seharusnya aku memberikan semua ini ketika memberikan cincin.”“Tidak masalah, aku tetap menyukainya.”Assa menggulung lengan kemejanya. Dia kemudian berkata. “Aku harap ruang di perutmu masih kosong, karena aku akan membuatkan daging panggang untukmu.”“Aku akan rasa porsi makanku menjadi lebih banyak sejak aku hamil,” jelas Alyssa yang berarti dirinya juga memberitahu Assa bahwa dia masih lapar. Bahan makanan daging dan juga aneka saos sudah siap tersaji di meja dekat kolam renang. Bertha dan Diana sudah menyiapkan semua itu sebelumnya
Lain Alyssa, lain pula kisah Hanna. Wanita itu menghela napas lelah, dengan kesal dia keluar dari mobilnya. Melangkah menuju rumah sakit tempat pria brengsek yang sangat menyebalkan itu dirawat. Wajah wanita itu tampak muram sepanjang jalan menuju ruangan tempat pria itu berada. Gerutuan pun tidak lepas dari mulutnya. Kalau saja bukan karena paksaan dari ibunya, dia tidak akan sudi lagi mengunjungi lelaki tidak tahu malu itu. Hanna akan lebih memilih berdiam diri di rumah. Menikmati waktu santainya yang berharga. Entah apa yang sebenarnya ibunya itu pikirkan sampai memaksa Hanna untuk ke sini lagi. Padahal sedari kemarin Hanna sudah berada di sini. Menemani dan merawat lelaki yang tidak disukainya itu. Jika dipikir-pikir Hanna melakukan tindakan yang cukup bodoh, dan ia semakin bodoh karena mau saja kembali kemari hanya karena paksaan dari ibu tercintanya. Anggap saja aku sedang berbaik hati karena merasa kasihan pada Si Sialan itu. gerutu Hanna dalam hati. Tak memakan waktu lama
Tidak tahan lagi dengan apa yang ibu dan Jeff lakukan, Hanna mendekat pada ibunya. Ia menarik paksa tangannya. Membawanya ke arah pintu. Margaret yang terkejut tentu saja tidak terima dengan kelakuan anaknya itu. Dia tetap mencoba bertahan di sana. Masih ingin mengobrol dengan Jeff. Ingin mengetahui lebih banyak tentang lelaki yang menjadi pacar anaknya. “Hanna, apa yang kau lakukan. Ibu sedang berbicara dengan Jeff!” sentak Margaret kesal. Hanna tersenyum terpaksa. Ia menahan amarah dan rasa jengkelnya agar tidak dilampiaskan pada ibunya. Tarikannya benar-benar kuat sampai Margaret kesulitan untuk melepaskannya. “Ibu, Jeff sudah waktunya untuk beristirahat. Jika Ibu mengajaknya berbincang, dia tidak akan bisa beristirahat,” kata Hanna penuh tekanan. Jeff yang juga mendengar perkataannya menimpali. “Aku tidak masalah dengan itu, aku masih bisa berbincang dengan Ibu.” Hanna langsung memberikan Jeff tatapan super tajamnya. Aura permusuhan yang begitu kental. Membuat Jeff langsung m
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Mengenakan gaun formal sederhana berwarna biru tua dengan renda di kerah, Alyssa berdiri di hadapan gedung pengadilan untuk warga sipil London. Gedung bergaya arsitektur barok dengan pilar-pilar kelabu yang diukir itu akan menjadi saksi penyelesaian kasus yang selama ini menghantui Leonidas. Anak malang ini akan mendapatkan keadilan. Alyssa tak datang sendiri. Bersama Mark dan Belinda, ia menemani Leonidas untuk mendapatkan keadilan. Meskipun ia bukan saudara atau orang tua Leonidas, rasa sayangnya pada anak malang tersebut membuatnya rela mengikuti seluruh rangkaian penyelidikan kasus Leonidas. Ia ingin Leonidas mendapatkan haknya. Ingin orang biadab yang sudah membuat Leonidas jadi seperti ini mendapatkan hukuman seberat-beratnya. Leonidas sendiri berdiri di samping Alyssa dengan takut. Tangan kecilnya melingkar di lengan wanita yang tengah mengandung itu untuk menenangkan dirinya. Ada banyak orang berlalu-lalang di sekitarnya. Beberapa di ant
Pengadilan benar-benar ricuh. Seperti kata sang psikolog anak, kekacauan tak hanya di dalam aula utama, tapi juga di koridor bahkan di halaman depan gedungPara penonton sidang kini tak hanya marah pada Elliot, tapi juga pada hakim yang memimpin sidang. Mereka tidak terima sang hakim menunda persidangan itu. Mereka berniat tidak akan pulang sampai sang hakim mau melanjutkan persidangan.Mark sendiri terjebak di dalam aula. Ia tak bisa melewati kerumunan massa yang semakin brutal seiring berjalannya waktu. Ia mendapat kabar dari istrinya terkait Alyssa yang kurang enak badan, tapi tidak bisa segera keluar menjemput mereka.Karena khawatir dengan kondisi Alyssa, Mark pun menelepon Assa untuk menjemput pasangannya yang tengah mengandung itu. “Assa, apa kau sibuk sekarang?” tanyanya begitu telepon tersambung.Jawab Assa dari seberang telepon, “Mark! Tidak. Aku tidak sibuk sekarang. Bagaimana persidangannya? Apa berjalan lancar?”“Benar-benar kacau. Semua orang nyaris menghajar Elliot. Per
Sidang yang sempat dijeda karena kerusuhan sebelumnya, dan juga dipotong waktu istirahat kini dilanjutkan lagi. Hakim, Jaksa, Pengacara dan juga tersangka kembali duduk di tempat mereka masing-masing. Jaksa penutur sudah siap dengan pertanyaan selanjutnya yang masih melibatkan Leonidas. Anak itu masih bersama Alyssa di ruang tersembunyi.“Sidang dilanjutkan! Jaksa silahkan melanjutkan pertanyaan Anda,” kata hakim ketua majelis mempersilahkan jaksa penuntut melanjutkan.“Terima kasih yang Mulia,” ujar Jaksa. Dia kemudian kembali terhubung dengan kamera dan layar di mana dia bisa melihat Leonidas. “Halo Leonidas! Kau sudah siap untuk pertanyaan selanjutnya?”Leonidas terlihat mengangguk di layar besar itu.“Baiklah, apakah kau tahu wajah paman itu?”Leonidas mengangguk.“Kau bisa menyebutkan ciri-cirinya?”Sejenak Leonidas terdiam, lalu menjawab. “Matanya biru,” katanya, meski hanya sebuah jawaban yang singkat namun itu cukup memberikan kejelasan sebab, warna mata Elliot memang biru. “
“Hanna?” Hanna tersenyum malas dan menatap Alyssa dengan tatapan melas. Ia lalu merentangkan tangannya meminta pelukan. Alyssa yang masih agak terkejut dengan kedatangan sahabatnya itu hanya menghela, sebelum kemudian dia ikut merentangkan tangan membalas permintaan Hanna. “Ada apa? Sepertinya mood mu buruk,” kata Alyssa saat ia dan Hanna sudah berpelukan beberapa detik. Hanna yang mendengar pertanyaan itu bergumam malas. Mengeratkan pelukannya dan memejamkan mata sejenak sebelum menjawabnya. “Suasana hatiku memang sangat buruk, buruk sekali,” keluhnya agak manja. “Alyssa.. aku sangat jengkel sekali.” Alyssa mengangkat kedua alisnya samar. Ia lalu menguraikan pelukan mereka. Wajah sahabatnya itu tertekuk seperti kertas. Benar-benar tidak enak untuk dilihat. “Ayo masuk dulu. Kita bicarakan di dalam!” ajak Alyssa kemudian. Hanna mengangguk. Lalu keduanya berjalan ke ruang tamu. Alyssa meminta Diana dan Bertha untuk membuatkan minum dan camilan. Yang langsung dituruti oleh keduanya.