”Ya..., mungkin orang seperti kita ini sudah digariskan untuk jadi miskin,” tanggapan orang yang bertubuh pendek. “Sedangkan orang seperti Den Delingwisa itu digariskan jadi kaya. Itu sudah garis hidup. Garis nasib.”
”Aku percaya pada kata-katamu. Aku percaya pada omongan. Tapi kenapa yang dapat harta karun kok dia? Padahal dia sudah kaya raya. Harta berlimpah, uang segudang, rumah berderet-deret seperti istana,” nada suara si kerempeng berkulit gelap.
”Ada satu lagi tentang Den Delingwisa....”
”Apa?”
”Dia juga kaya istri....”
Kedua pencari kayu itu tertawa ngakak. Keluh kesah kehidupan mereka yang penuh resah seolah-olah lenyap ditiup angin semilir.
Banawi sudah tidak begitu memperhatikan apa yang diomongkan kedua pencari kayu itu. Otaknya kini sedang memikirkan tentang apa yang baru saja dibicarakan mereka. Harta karun dari Goa Barong itu! Kini harta karun itu ada di tangan Delingwisa. Apa yang sebenarnya telah terjadi setelah De
”Entahlah,” jawab Banawi jujur. “Gerombolan pemberontak itu bisa melakukan pemberontakan ke kerajaan apa saja. Yang jelas ada kelompok atau gerombolan yang ingin memberontak. Dan ini harus kita cegah!”Ketiga orang itu terus melangkahkan kaki. Sampai waktu menjelang malam mereka belum sampai tujuan. Maka diputuskan menginap di rumah seorang penduduk.Malam terus merambat, cerita sementara beralih ke rumah megah Delingwisa. Rumah megah itu terdiri dari empat rumah besar dan saling terhubung antara satu dengan lainnya.Rumah megah dikelilingi tembok tinggi berjarak lebih dari delapan tombak. Tembok tinggi ini lebih tinggi daripada rumah yang dipagarinya. Di depan pintu gerbang terdapat gardu yang dijaga dua anak buah terletak di bagian belakang rumah megahnya.Malam yang semakin dingin ini Delingwisa tidur bersama wanita muda yang baru jadi istrinya beberpa hari lalu. Karena waktu itu dia buru-buru ke Goa Barong, maka dia
Bengkas yang diliputi kemarahan mendahului menyerang. Menyabetkan senjatanya ke arah Anggitan. Perampok itu menangkis dengan goloknya. Terdengar benturan keras dua senjata disertai ledakan dan percikan bara. Tubuh Anggitan terdorong ke belakang satu tombak, sedangkan Bangkas masih tegar. Dia menyabetkan senjatanya ke arah Rubasa.Dhuar!Ledakan terjadi lagi ketika Rubasa menangkis menggunakan goloknya. Sabetan Bengkas sangat keras. Membuat tangan Rubasa tergetar. Golok lepas dari tangan. Sungguh terkejut dia akibat dari sabetan senjata lawan yang hanya berupa akar.Heh…, rupanya banyak orang yang menyepelekan senjata akar ini. Kata Bengkas di dalam hati. Mereka tidak tahu bahwa senjata ini sangat mematikan! Mereka tidak menyadari bahwa senjata sederhana ini mempunyai kehebatan yang jarang diperhitungkan.Cthar!Tiba-tiba lecutan akar cipirajag susulan menyambar leher Rubasa dengan cepatnya. Rubasa tak sempat mengelak. Lehernya tergores. Buka
Higrataling menggeser Olengpati. Ganti mengintip Menik Sarasti dan Delingwisa. Higrataling juga terperanjat ketika melihat Menik Sarasti yang tidur pulas dalam pelukan Delingwisa.”Ah, biarlah Menik Sarasti berbuat nyeleweng! Patih Ganggayuda saja juga nyeleweng!” bisik Olengpati. ”Kita ganti ke kamar barat itu!”Keduanya membuka genting kamar di sebelah barat kamar Delingwisa. Kali ini mereka beruntung. Ternyata di bawah sana terlihat peti baja milik mereka. Selain itu juga tampak puluhan peti baja untuk menyimpan harta Delingwisa.Keduanya sangat gembira. Harta karun mereka masih ada. Harta karun yang diperoleh dengan susah payah, masih tersimpan di rumah Delingwisa.Tanpa membuang waktu lagi, keduanya membuka genting lebih lebar. Lalu keduanya masuk kamar penyimpanan harta.Mereka berhasil mengambil peti baja mereka. Kemudian meninggalkan kamar lewat jendela. Mereka lari hendak menginggalakan rumah Delingwisa lewat sebela
Singgat membuka kedua tangannya. Lalu tubuhnya bergulingan di tanah. Secara tiba-tiba tangan kanannya mencakar ke bumi. Setelah mencakar ke bumi, seluruh tubuhnya memancarkan warna jingga. Inilah ajian wasajingga. Lebih tinggi dibanding ajian wasagni yang dimiliki Olengpati dan teman-temannya.“Gila…, Singgat telah mengeluarkan ajian andalannya. Kata Olengpati dalam hati. “Ini pertanda buruk bagi siapa pun yang menjadi musuhnya. Dalam dunia persilatan sering tersiar kabar bahwa hampir semua musuh Singgat tewas ketika Singgat telah mengeluarkan ajian wasajingga.”Pancaran sinar jingga dari tubuh Singgat memudar. Warna tubuh Singgat kembali seperti semula. Bersamaan itu dia menyerang kedua lawannya hanya dengan tangan kosong disertai jurus cakar api!Ketika tubuh Singgat melesat sangat cepat, ada tebaran hawa panas yang menyirat. Lawan yang diserang, akan merasakan hawa panas yang memancar dari tubuh Singgat.Tubuh
Bhug! Bengkas terhantam tendangan dari arah samping kanan. Sebuah tendangan yang tak pernah diduganya. Akibat tendangan itu, tubuh Bengkas terjerembab ke bumi. Akar cipirajag yang hampir saja menghabisi lawan malah terpental ke tanah. Tepat di samping Janurwasis. Janurwasis lolos dari sabetan akar cipirajag. Janurwasis lolos dari maut yang bisa saja terjadi kalau sampai senjata maut menghantam dadanya. Hampir semua lawan Bengkas tak bisa selamat ketika tergores cipirajag. Tubuh Bengkas jatuh menelungkup. Tendangan Wening Kusuma yang dia anggap licik itu membuat Bengkas merasakan sakit luar biasa. Dia merasa sulit untuk bangun atau sekadar menggerakkan sendi-sendi ototnya. Hal yang sama juga menimpa Wening Kusuma. Luka akibat cakaran inti api membuat seluruh tubuhnya memanas. Segera dia menotok bahu kanannya agar hawa panas beracun itu tidak menyebar ke seluruh tubuh. Dia pun hanya duduk sambil memulihkan tenaga dalamnya. Dia duduk tepat di dekat Janur
Westi Ningtyas menangkis dengan gerakan cepat pula.Dhuar!Westi Ningtyas dan Delingwisa sama-sama terlempar ke belakang beberapa tombak. Keduanya sama-sama terpelanting mencium tanah. Lalu sama-sama bangkit untuk meneruskan pertarungan.“Bangsat! Sundal ini ternyata hebat juga,” gumam Delingwisa sambil berdiri. Karena tenaga serasa terkuras, untuk berdiri saja terasa berat. “Tak kuduga dia ternyata memiliki tenaga dalam tingkat tinggi.”Di tempat yang sama, Suro Joyo tampak keteter menghadapi ajian cakar inti api. Dada kirinya koyak oleh cakaran maut itu. Ada rasa panas di dada akibat tergores cakaran yang penuh hawa membara.Suro Joyo mundur beberapa tombak untuk mengalirkan hawa murni ke dadanya. Dia ingin hawa panas yang mematikan anggota tubuh bisa punah.Setelah lukanya mengering, Suro Joyo menggenggam kedua tangannya. Berputar-putar di depan dada. Merentang ke samping kanan dan kiri dalam keadaan terbuka. Kini
Dua orang laki-laki muda sedang berburu di pinggiran selatan hutan Alas Waru. Mereka menyandang panah dan memegang busur. Panah yang jumlahnya berpuluh-puluh buah tersampir di punggung. Busur tergenggam di tangan kiri. Mereka terus berjalan menyusuri jalan setapak menuju arah utara. Kedua laki-laki muda berwajah tampan. Satu dari dua laki-laki muda itu berkumis, namanya Sambego. Sedangkan yang tak berkumis sama sekali bernama Juna. Sambego sudah beranak-istri, Juna masih perjaka tulen. Mereka sama-sama berasal dari desa Aseman. Sebuah desa sepi yang letaknya di timur hutan, masih termasuk wilayah Kerajaan Parangbawana. Mereka sejak kecil sudah dilatih berburu oleh orang tua masing-masing. Berkat didikan orang tua selama bertahun-tahun, mereka menjadi mahir berburu. Malah lebih mahir dari orang tua masing-masing. “Ilmu berburu dari orang tua kita, bisa kita jadikan pegangan ketika mencari binatang buruan,” kata Sambego pada Juna. “Benar,” sahut Juna. “Aku tak
“Tidak ada apa-apa, Pangeran Banaswarih,” jawab Bandem. “Kita berhenti di sini barang sejenak dulu.”Ketiganya berhenti persis di tempat Sambego dan Juna tadi berhenti.”Begini,” lanjut Bandem, “kalau ingin ke pesanggrahan milik Keksi Anjani, kita melalui jalan ke arah utara.””Benar kata Bandem, Pangeran,” Lunjak menambahkan. ”Berarti dari sini kita ganti arah, yaitu ke arah utara.””Baiklah, kalau begitu kita lanjutkan perjalanan sebelum waktu menjelang sore. Kalau bisa, jangan sampai kita bermalam di hutan.”“Baiklah, Pangeran,” sahut Bandem dan Lunjak.Ketiga pendekar itu pun melanjutkan perjalanan. Mereka terus berjalan menyusuri semak belukar yang rimbun. Selain rimbun, kadang-kadang terselip duri tajam di balik semak belukar.Cukup jauh mereka bertiga menempuh perjalanan ke arah utara. Tak terasa, hari makin sore.Sudah jauh j