Westi Ningtyas menangkis dengan gerakan cepat pula.
Dhuar!
Westi Ningtyas dan Delingwisa sama-sama terlempar ke belakang beberapa tombak. Keduanya sama-sama terpelanting mencium tanah. Lalu sama-sama bangkit untuk meneruskan pertarungan.
“Bangsat! Sundal ini ternyata hebat juga,” gumam Delingwisa sambil berdiri. Karena tenaga serasa terkuras, untuk berdiri saja terasa berat. “Tak kuduga dia ternyata memiliki tenaga dalam tingkat tinggi.”
Di tempat yang sama, Suro Joyo tampak keteter menghadapi ajian cakar inti api. Dada kirinya koyak oleh cakaran maut itu. Ada rasa panas di dada akibat tergores cakaran yang penuh hawa membara.
Suro Joyo mundur beberapa tombak untuk mengalirkan hawa murni ke dadanya. Dia ingin hawa panas yang mematikan anggota tubuh bisa punah.
Setelah lukanya mengering, Suro Joyo menggenggam kedua tangannya. Berputar-putar di depan dada. Merentang ke samping kanan dan kiri dalam keadaan terbuka. Kini
Dua orang laki-laki muda sedang berburu di pinggiran selatan hutan Alas Waru. Mereka menyandang panah dan memegang busur. Panah yang jumlahnya berpuluh-puluh buah tersampir di punggung. Busur tergenggam di tangan kiri. Mereka terus berjalan menyusuri jalan setapak menuju arah utara. Kedua laki-laki muda berwajah tampan. Satu dari dua laki-laki muda itu berkumis, namanya Sambego. Sedangkan yang tak berkumis sama sekali bernama Juna. Sambego sudah beranak-istri, Juna masih perjaka tulen. Mereka sama-sama berasal dari desa Aseman. Sebuah desa sepi yang letaknya di timur hutan, masih termasuk wilayah Kerajaan Parangbawana. Mereka sejak kecil sudah dilatih berburu oleh orang tua masing-masing. Berkat didikan orang tua selama bertahun-tahun, mereka menjadi mahir berburu. Malah lebih mahir dari orang tua masing-masing. “Ilmu berburu dari orang tua kita, bisa kita jadikan pegangan ketika mencari binatang buruan,” kata Sambego pada Juna. “Benar,” sahut Juna. “Aku tak
“Tidak ada apa-apa, Pangeran Banaswarih,” jawab Bandem. “Kita berhenti di sini barang sejenak dulu.”Ketiganya berhenti persis di tempat Sambego dan Juna tadi berhenti.”Begini,” lanjut Bandem, “kalau ingin ke pesanggrahan milik Keksi Anjani, kita melalui jalan ke arah utara.””Benar kata Bandem, Pangeran,” Lunjak menambahkan. ”Berarti dari sini kita ganti arah, yaitu ke arah utara.””Baiklah, kalau begitu kita lanjutkan perjalanan sebelum waktu menjelang sore. Kalau bisa, jangan sampai kita bermalam di hutan.”“Baiklah, Pangeran,” sahut Bandem dan Lunjak.Ketiga pendekar itu pun melanjutkan perjalanan. Mereka terus berjalan menyusuri semak belukar yang rimbun. Selain rimbun, kadang-kadang terselip duri tajam di balik semak belukar.Cukup jauh mereka bertiga menempuh perjalanan ke arah utara. Tak terasa, hari makin sore.Sudah jauh j
Hari menjelang senja, tapi dan pertempuran terus berlangsung. Kedua pihak sama-sama kuat. Memiliki ilmu silat yang sebanding. Baik Banaswarih maupun Arum Sarastri menyadari bahwa pertempuran ini tak akan selesai-selesai kalau hanya menggunakan tangan kosong. Untuk itulah keduanya sama-sama berpikir untuk menggunakan senjata atau kesaktian andalan masing-masing. “Sebaiknya kuakhiri pertempuran ini supaya tidak berlarut-larut dan membuang-buang waktu,” gumam Banaswarih. “Lagi pula kalau sampai malam, tanpa ada yang kalah atau menang, tenaga bisa terkuras sampai habis.” Tiba-tiba Banaswarih mencabut pisau berantai emas yang melingkari pinggang. Pisau sakti ini dia putar-putar di atas kepalanya. Rantai emas yang cukup panjang ini membuat pisau sakti yang ada pada ujungnya memiliki jangkauan jauh. Sehingga mampu menusuk atau melukai lawan dalam jarak satu sampai limok tombak dari dirinya. Arum Sarastri menyadari bahwa lawannya sudah mengeluarkan senjat
”Juna..., kamu mungkin belum kenal aku. Kenalkan, namaku Keksi Anjani. Aku yang biasa dijuluki Putri Siluman Alas Waru. Dan aku pula yang mendirikan kerajaan baru di hutan ini. Kerajaan itulah yang kuberi nama Kerajaan Alas Waru. Ah, tapi soal kerajaan baruku itu, tak usah kamu pikirkan.” Keksi Anjani tersenyum sambil bertanya, ”Umurmu sekarang berapa, Juna?””Dua puluh tiga,” jawab Juna singkat. Masih bertanya-tanya di dalam hati. Untuk apa diriku diculik kemari? “O..., ternyata jauh lebih muda dariku. Umurku sudah lebih dari tiga puluh. Tapi..., bentuk tubuhku masih bagus kan?”Bukan hanya ‘masih bagus’, tetapi ‘sangat bagus’! Begitu jawab Juna dalam hati. Kulitnya yang kuning, kencang, mulus, parasnya yang jelita dengan sinar mata menawan, sungguh membuat laki-laki manapun sulit lepas dari jeratannya. Di tambah lagi dada yang menonjol karena kesuburannya, lebih memb
”Kami ingin membalas dendam,” jawab Mayang Kencana. Lalu dia ceritakan secara singkat peristiwa yang pernah dia alami beberapa waktu lalu. Riris Manik pun menceritakan kehancuran sanggarnya. “Suro Joyo yang menghancurkan sanggarku. Maka, dengan cara apa pun, akan akan menuntut balas pada Suro Joyo. Suro Joyo harus hancur dalam genggamanku. Dia remuk, aku baru merasa puas.” ”Kebetulan..., kedatangan kalian merupakan sesuatu yang sangat kuharapkan. Ibarat pucuk diminta, ulam pun tiba.” kata Keksi Anjani. ”Kalian akan kuberi ilmu silat dan kesaktian tambahan. Namun ada satu syarat dan kalian mesti mau melaksanakannya. Kalian berdua kuharapkan bersedia memperkuat kerajaan Alas Waru. Kerajaan ini akan menjadi kuat kalau kalian mau memperkuatnya. Bagaimana, apa kalian bersedia?” ”Ya, kami bersedia, Keksi Anjani,” jawab Riris Manik dan Mayang Kencana bersamaan. Tanpa pikir panjang lagi, mereka berdua menyanggupi keinginan Keksi Anjani. ”Walaupun aku ma
”Nanti kuberi tahu,” jawab Janurwasis mengambang. Belum ada penjelasan kepastian waktunya. Kesannya seperti mengulur waktu. Atau bisa juga ada tujuan tersembunyi di balik kata-kata Janurwasis.Tiba-tiba Keksi Anjani dan Palarum telah muncul di belakang Palasih. Melihat kedatangan pimpinannya, Palasih berubah sikap. Wajahnya tidak cerah lagi dalam menghadapi Janur. Bahkan terkesan seolah-olah tidak mengenal Janur.Brengsek! Kenapa dia datang tanpa permisi dulu? Ungkapan hati Palasih yang merasa kesal pada Keksi Anjani. Apakah dia diam-diam curiga padaku telah menjalin hubungan cinta secara diam-diam dengan Janurwasis?”Janurwasis! Sudah lama kamu tinggalkan Alas Waru. Bagaimana kabarmu? Apa kamu berhasil mendapatkan harta itu?” tanya Keksi Anjani.”Ya..., aku sudah berhasil mendapatkan harta karun yang kamu inginkan,” jawab Janur penuh nada gembira. “Aku sudah membawanya sekarang.”&r
”Dari pakaian kalian, aku sudah tahu. Kalian senapati dari Kerajaan Parangbawana,” kata Keksi Anjani dengan nada penuh percaya diri. ”Sebagai senapati, kalian tentu mengemban tugas dari raja. Kalian pasti diperintahkan untuk melarang kegiatanku di pesanggrahan. Benar kana pa yang baru saja kukatakan?””Syukurlah kalau kamu sudah tahu maksud kedatanganku,” kata Godar. “Tentu aku lebih mudah melaksanakan tugas ini.”Godar menghela napas sejenak. Dia memandangi Keksi Anjani seperti sedang menyelidiki. Seolah-olah ingin membaca pikirannya.”Tapi lebih dari itu,” Godar melanjutkan kata-katanya, “Sang Baginda Raja menyuruh kami untuk dua tujuan utama. Pertama, kamu dan seluruh anak buahmu segera tinggalkan Alas Waru! Itu artinya…, kamu dan pengikutmu tidak boleh secara seenaknya mendirikan kerajaan di wilayah Parangbawana ini. Kedua, akhir-akhir ini banyak pemuda dari wilayah Parangbawana kamu cu
”Lho..., nanti dulu! Hutan ini milik siapa? Apa milik kakek moyangmu, kok kamu nyuruh-nyuruh aku meninggalkan tempat ini?” tanya Suro Joyo dengan gaya jenaka. “Enak saja main usir orang!”“Hei, dengar! Hutan ini milik Gusti Ayu Keksi Anjani. Karena hutan ini telah menjadi milik beliau, maka siapa pun tidak boleh sembarangan masuk hutan ini. Aku mendapat tugas untuk menjaga hutan ini. Aku berhak mengusir siapa saja dari hutan ini.”“O…, jadi Keksi Anjani merasa hutan ini miliknya? Rasanya sulit dipercaya. Oh ya, kapan Keksi Anjani membeli hutan ini dari raja Parangbawana? Seingatku, hutan ini masih termasuk wilayah Kerajaan Parangbawana. Sampai sekarang, belum ada pengakuan dari pihak Parangbawana yang menyatakan bahwa hutan ini milik Keksi Anjani.”Arum Sarastri merasa geram. Tak sadar kedua tangan yang sejajar dengan tubuh mengepal. Ingin rasanya kugampar mulut Suro Joyo. Dia berkata seena