Wikrama meringis menahan tulang pundaknya yang serasa linu berat. Walau terkesan biasa saja, tapi remasan tangan Jalu yang disertai pengerahan tenaga dalam membuatnya kesakitan. Tampaknya dia salah karena menganggap pemuda tampan itu bakal mundur dan pergi dari hutan tersebut. "Kau boleh diam dan tidak menjawab jika ingin satu persatu tulangmu remuk," lanjut Jalu, kemudian menambahkan sedikit tenaga dalamnya hingga tulang bahu Wikrama berbunyi gemeretak. "Tolong hentikan, Pendekar, rasanya sakit sekali. Baiklah, aku akan mengatakannya." Jalu mengulum senyum sebelum melepaskan tangannya dari bahu Wikrama."Katakan!" Diraihnya ranting kayu yang tergeletak di dekatnya dan dipatahkannya kecil-kecil menjadi lebih dari sepuluh bagian, tepat sesuai jumlah anggota perguruan lembah ular yang masih hidup. "Perguruan Lembah Ular ada di balik bukit Lawang Songo, Pendekar. Tapi ..." Wikrama menghentikan ucapannya karena melihat pemuda tampan itu melesatkan satu potongan ranting kayu kepada sa
Ayu Wulandari tersenyum lega. Rasa kekuatiran jika Jalu akan kembali dan mendatangi perguruan Lembah Ular berangsur menghilang. Gadis cantik itu lantas masuk ke dalam kereta kuda dan menutup pintunya kembali. "Ayo kita berangkat, Paman!" perintahnya kepada Darmono. Sebelum memacu kuda yang tali kekangnya sudah terpegang di kedua tangannya, Darmono menoleh ke arah Jalu. Setelah itu dia mengangguk kecil dengan senyum terkembang di bibir. "Berangkatlah, Paman. Aku ikuti dari belakang," ujar Jalu. Perlahan kereta kuda itu bergerak menyusuri jalanan tanah yang sedikit berbatu. Jalu mengiringi kepergian kereta kuda itu dengan tatapan matanya hingga berjarak lima puluh meter. Senyum pemuda tampan itu terurai seraya berkata dalam hati, "Aku harus melanjutkan tugas yang diberikan kakek." Dengan kemampuan ilmu meringankan tubuh yang sudah hampir memasuki taraf sempurna, Jalu melesat kembali masuk ke dalam hutan. Ratusan pepohonan yang seolah berdiri menghadang tidak menjadi masalah berart
Rasa terkejut yang mereka rasakan hanya sesaat. Setelahnya berganti tawa yang saling bersahutan. "Bocah gila! Apa kau sudah bosan hidup hingga berani menghadang kami?" ejek seorang lelaki yang memiliki kulit hitam, rambut keriting dan berbadan kekar. Jalu hanya tersenyum tipis sebelum menoleh ke belakang. Dilihatnya lelaki yang dikejar belasan anggota tadi sedang bersembunyi di balik sebuah pohon besar. "Kau tunggu di situ, aku ada perlu denganmu setelah menghabisi mereka!" ujarnya sebelum kembali mengarahkan pandangannya kepada belasan lelaki yang ada di depannya. "Hahahaha! Ternyata bocah ingusan ini benar-benar sudah gila. Dia tidak tahu jika sedang berhadapan dengan anggota perguruan Lembah Ular." Kembali lelaki berkulit hitam itu mengejek Jalu. Tanpa berpikir panjang, Jalu melesat menyerang setelah lelaki berkulit hitam itu menyelesaikan ucapannya. Dan Sambaran cakarnya langsung membuat lelaki yang telah mengejeknya itu terkoyak lebar. Lelaki berkulit hitam itu memegangi
Terdorong oleh rasa penasarannya, Sapta Aji pun berinisiatif untuk bertanya tentang berita yang sedang berkembang di perguruan Lembah Ular. "Maaf jika aku lancang. Saat ini sudah tersiar luas kabar mengenai hancurnya tiga perguruan oleh seorang pendekar. Apakah pendekar yang dimaksud itu kau?" Jalu sedikit menautkan kedua alisnya. Ternyata benar jika namanya sudah cukup meluas setelah hancurnya tiga perguruan di tangannya. Tercetak guratan senyum yang penuh misteri di bibirnya, dan itu membuat Sapta Aji mulai yakin jika pendekar muda di depannya tersebut adalah sosok yang sedang menjadi buah bibir di dunia persilatan. "Sekarang antarkan aku ke sana. Nanti Kakang tunggu saja di pintu gua," kata Jalu. Sapta mengangguk. "Baiklah, sambil jalan aku akan menjelaskan situasinya. Mari kita berangkat sekarang," ucapnya lalu berjalan terlebih dahulu. Sepanjang perjalanan yang kontur tanahnya terus menaik, Sapta Aji menjelaskan situasi di sekitar Lembah Ular. Tak lupa bagian dalam perguruan
Keduanya pun berjalan menyusuri jalanan gua yang sedikit licin. Andai tidak menjadi satu-satunya akses menuju lembah ular, mungkin setiap sisi gua itu akan dipenuhi dengan lumut yang tumbuh subur. Sesekali Jalu menempelkan telapak tangannya untuk mengetahui tingkat kelembaban di dalam gua. Semakin masuk ke dalam, kadar oksigen pun semakin menipis, dan pernapasan pun perlahan menjadi berat. Tapi hal itu tidak dirasakan oleh Sapta Aji. Dia sudah terbiasa melewati gua itu dan paru-parunya pun bisa dengan cepat menyesuaikan diri. Kedua lelaki yang berselisih usia dua belas tahun itu terus menyusuri gua. Nyala api dari obor yang dipegang Sapta Aji menjadi sangat berarti di dalam kondisi yang begitu gelap. "Sebentar lagi kita akan melewati jebakan pertama. Ikuti tapak kakiku dan jangan sekalipun memegang dinding gua," kata Sapta Aji. "Memangnya seberapa banyak jebakan di dalam gua ini?" tanya Jalu penasaran. "Hanya ada dua jebakan yang berupa tombak dan pisau. Sejauh ini belum ada ya
"Sialan! Ternyata batu yang kupegang barusan juga sebuah jebakan." Jalu merespon kebingungan Sapta Aji. "Batu apa?" tanya Sapta Aji sambil berpegangan di dinding karena getaran di dalam gua semakin kuat. Satu tangannya yang lain memegang obor agar tidak jatuh."Batu runcing itu!" jawab Jalu, kemudian meraih salah satu batu runcing dan mematahkan dengan kekuatannya. "Aneh. Seharusnya tidak ada lagi jebakan di dalam gua ini," ucap Sapta Aji pelan selepas mendengar jawaban Jalu, "Apa mungkin ketua sengaja tidak memberitahu anggotanya?" lanjutnya sebelum mendekatkan tubuhnya di dekat Jalu. "Mana aku tahu?"Jalu meremas potongan batu yang dipegangnya hingga menjadi butiran kecil dan debu. Pemuda tampan itu memejamkan mata, sesaat setelah telinganya menangkap adanya gelombang suara yang belum jelas berasal dari mana sumbernya."Berhati-hatilah, ada yang datang!" ucapnya. Aaaaaaah!Belum tiga detik Jalu menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba saja lantai gua yang mereka berdua injak seperti
Hmmm! Jalu menggumam pelan. Posisi lubang yang dilihatnya memang tidak terlalu tinggi, tapi di situ dia pastinya akan kesulitan sendiri jika ingin membuat lubang yang lebih besar agar bisa dilewatinya. Dengan posisi yang sulit dijangkau, dia harus fokus pada titik lubang dan tidak boleh meleset dari sasaran ketika mengarahkan pukulan jarak jauh. Kesulitan kedua yang ada dalam pikirannya adalah, dia takut ketika berusaha membuat lubang lebih besar malah meruntuhkan bagian atas gua. Dan tentu saja jika hal itu terjadi, maka tubuhnya akan tertimbun di tempat tersebut. Jalu menarik napas panjang dan menahannya untuk sesaat sebelum menghembuskan perlahan. Hal itu dilakukannya sambil memfokuskan pikirannya dengan mata yang tertuju ke lubang kecil setinggi tujuh meter. "Aku harus bisa!" ucapnya pelan. Jalu sedikit menekuk lututnya, dan kemudian melompat vertikal setinggi lobang yang hendak menjadi sasaran serangnya. Hyaaa! Pukulan jarak jauh dilepaskannya dengan cepat beberapa kali
Pendekar muda yang memiliki paras tampan di atas rata-rata itu terus mendongak seraya membelalakkan mata dan membuka mulutnya lebar-lebar. Sungguh kejadian yang aneh menurutnya ada sebuah batu mengambang di udara tanpa ada penyangga sedikitpun. Pastilah sosok yang tadi bersuara kepadanya itu memiliki tenaga dalam yang tinggi, menurutnya. "Jangan bengong saja, Anak muda, apa kau bisa membantuku?" Jalu mengernyit seraya menelan ludah. Kenapa suara lelaki yang diduganya sudah tua itu meminta pertolongan kepadanya? Bukankah dengan kemampuan yang tinggi sosok tersebut tidak membutuhkan pertolongan siapapun?Untuk mengobati rasa penasarannya, Jalu pun memberi pertanyaan balik, "Pertolongan seperti apa yang Kisanak inginkan?" "Fokuskan pikiran dan penglihatanmu, lihatlah rantai energi yang mengikat batu sialan ini." "Rantai energi?"Jalu menggumam pelan. Dicobanya untuk memfokuskan panca inderanya pada batu yang sedang melayang di atasnya.Semakin Jalu memfokuskan pikiran dan penglihatan