Seusai meletakkan tubuh Ayu Wulandari, tubuh Darmono yang perlahan melemah "Mati kau!" Tidak puas dengan tusukan pedangnya yang sudah menembus punggung Darmono, lelaki itu kali ini memberi tebasan ke arah leher Darmono. Aaaakh! Jeritan tertahan meluncur keluar dari bibir lelaki setengah baya itu sebelum tubuhnya tumbang menghujam tanah. Luka menganga di leher bekas tebasan pedang tampak mengalirkan darah segar yang seketika membasahi tanah. "Cepat bawa gadis itu. Jangan sampai kulitnya lecet sedikitpun!" Terdengar erintah datang dari salah satu anggota senior. Dua anggota yang masih junior bergerak maju mendekati tubuh Ayu Wulandari lalu mengangkatnya. Sementara itu di dalam desa, lebih dari dua ratus penduduk serta pendatang sudah dikumpulkan di tengah jalanan. Tua muda, lelaki maupun wanita, mereka semua dipaksa berlutut dengan todongan pedang yang siap mencabik-cabik tubuh jika berani melakukan perlawanan. Meski unggul secara jumlah, tapi jumlah penduduk lelaki yang totalnya
"Kalian hanya mencari mati!" cetus sang Pemimpin perampok yang bahkan tidak sampai mengeluarkan keringat ketika beberapa penduduk berusaha menyerangnya. Sambil menebaskan pedang besarnya, senyum kekejian terus tercetak di bibirnya. Satu persatu penduduk desa bertumbangan. Darah dari luka-luka terbuka membuat jalanan yang menjadi lokasi pertempuran tak seimbang itu memerah. Jerit tangis kaum hawa tidak terelakkan lagi melihat suami, saudara, bapak, dan anak mereka bertumbangan gugur bermandikan darah. Benar-benar sebuah pembantaian yang sangat kejam sedang mereka saksikan. Sebenarnya jika orang-orang kejam tersebut hanya gerombolan perampok biasa, mungkin masih ada sedikit keseimbangan meski penduduk melawan tanpa senjata. Namun karena gerombolan perampok itu berasal dari sebuah perguruan aliran hitam, maka ketimpangan jelas sangat terlihat. Dua ratus laki-laki penduduk desa yang melakukan perlawanan itu berkurang sangat cepat. Tak sampai setengah jam, habis sudah kaum Adam desa te
"Kenapa sepi sekali," gumamnya dalam hati. Jalu melangkah menuju gapura desa, hingga kemudian berdesir angin dari arah desa Sukasari yang membuatnya menghentikan ayunan kedua kakinya. Penciuman tajamnya menangkap bau amis darah yang menyengat. Benak pemuda delapan belas tahun itu lantas diliputi prasangka buruk. Untuk memastikannya, Jalu pun berlari cepat memasuki gapura desa. "Biadaaaab!" teriaknya keras, begitu menyaksikan jasad-jasad pembantaian yang tergeletak di berbagai tempat. Amarah Jalu pun mendidih. Jari tangannya terkepal erat terbakar oleh emosi yang mengguncang jiwanya. Jalu melangkah perlahan melewati jasad demi jasad yang sudah terbujur kaku. Dari pengamatannya, luka-luka yang menjadi menyebabkan kematian ratusan penduduk desa Sukasari bisa dipastikan dari benda tajam, dan pelakunya jelas memiliki keterampilan menggunakan senjata tajam. Sebab hanya ada beberapa titik vital yang menjadi sasaran tebasan atau tusukan senjata tajam. Hari jalu semakin teriris pedih.
Jalu mendekati salah satu jasad yang dia lihat dan berjongkok di sampingnya. Tangannya bergerak mencari bukti di bagian dalam seragam yang dikenakan jasad lelaki berusia kurang dari tiga puluh tahun itu. Dari pengalamanya menghancurkan 4 perguruan yang tidak mau tunduk kepadanya, setiap anggota perguruan biasanya memiliki tanda khusus. Bisa berupa tato gambar di tubuh atau segel yang biasanya berupa lempengan logam. "Hmmm … ini gambar apa?" Jalu menggumam pelan ketika dilihatnya di bagian dada kiri jasad tersebut terdapat lambang bergambar gunung yang dilingkari api. Pemuda 18 tahun itu menoleh ke jasad satunya dan kemudian berjalan mendekati jasad yang dalam posisi tengkurap tersebut. Tanpa berpikir panjang tangannya membalik jasad itu untuk memastikan dugaannya. Ya. Jalu menduga jika gambar gunung yang dilingkari api itu merupakan lambang sebuah perguruan. " Ternyata benar." Lagi-lagi pendekar muda berparas rupawan itu menggumam sendiri. Tapi yang membuatnya bingung, tidak ada
Dari atas pohon yang berada di dalam hutan, Jalu bisa melihat jika segerombolan lelaki berkuda itu terbagi menjadi dua tim dan berpisah jalan. Sosok pendekar digdaya yang baru berusia 18 tahun itu kemudian memutuskan untuk mencari keberadaan Ayu Wulandari selepas rombongan berkuda itu menghilang. Sebenarnya Jalu bisa saja menghabisi mereka semudah membalikkan telapak tangan. Namun hal itu tidak dia lakukan karena lebih fokus untuk menyelamatkan keberadaan Ayu Wulandari. Lesatan tubuh Jalu bergerak ringan dan lincah melewati pepohonan yang berada di dalam hutan. Saat ini dia hanya perlu mencari tahu, perguruan apakah yang memiliki simbol gambar gunung dilingkari api. Tanpa terasa perjalanan Jalu sudah memasuki sebuah hutan angker yang merupakan wilayah kekuasaan perguruan Siluman Neraka. Perguruan tersebut merupakan salah satu perguruan aliran hitam kelas menengah yang beranggotakan kurang lebih empat ratus anggota. Selain itu, ada juga enam orang tetua yang kesemuanya memiliki kea
Dari dua belas orang yang semuanya berseragam merah tersebut, hanya satu yang tidak menggunakan penutup wajah, sebelas lainnya menggunakan topeng yang terbuat dari kulit pohon. "Siapa kau dan apa tujuanmu memasuki hutan ini?" tanya sosok lelaki berkumis tebal yang tidak mengenakan topeng penutup wajah. Jalu mengangkat kedua alisnya. Selepas itu dia tertawa cukup keras seraya memegangi perutnya. Apa yang dilakukannya membuat lelaki berkumis tebal itu tersinggung. Rahangnya mengeras, bola matanya membelalak lebar menatap Jalu penuh amarah. "Bedebah! Apa yang kau tertawakan bocah?" "Kau sungguh aneh, sejak kapan hutan menjadi wilayah terlarang untuk dimasuki seseorang? Apa hutan ini milik nenek moyangmu?" "Bajingan tengik! Kau rupanya sudah bosan hidup dengan berani menantang maut. Dalam sejarahnya, tidak ada satupun orang asing yang bisa keluar hidup-hidup dari hutan ini." Jalu tersenyum menyeringai. Ancaman seperti itu sudah tidak asing lagi didengarnya. Bahkan sudah menjadi
"Woi … sampai kapan aku harus menunggu kalian bicara? Apa menunggu upilku sampai terkumpul segenggam lalu kulemparkan ke muka kalian?" ejek Jalu seraya memasukkan jari telunjuk ke dalam lubang hidungnya. Ketakutan yang dialami Praya seketika menghilang. Ejekan yang dilontarkan Jalu serasa menampar harga dirinya sebagai pemimpin Topeng Maut yang disegani. "Kita habisi dia! Formasi panah api!" teriaknya memberi perintah. Seusai mendapat perintah, sebelas anggota Topeng Maut bergerak memutar membentuk lingkaran yang melingkupi Jalu serta Praya di dalamnya. Jalu hanya bisa diam sambil memperkuat kewaspadaannya. Sebab lawan yang kali ini dia hadapi pasti memiliki formasi lebih menakutkan dari pada formasi yang pernah dia hadapi sebelumnya. Secara perlahan putaran yang dilakukan sebelas anggota Topeng Maut itu semakin cepat. Bahkan dalam beberapa detik berikutnya yang terlihat hanya warna merah berbentuk lingkaran. Angin yang diakibatkan putaran itu menghempas ke sekitar dan menimbul
Gerakan langkah kaki Jalu yang sulit ditebak arahnya membuat dua belas anggota Topeng Maut itu kebingungan. Mereka tampak kesulitan untuk menentukan arah serangan. Sesekali mereka mencoba menyerang, tapi tusukan dan tebasan yang mereka lakukan hanya menerima ruang kosong. Bahkan akibat serangan yang gagal itu malah membuka pertahanan dan kerapatan formasi yang mereka buat. Jalu tersenyum lebar melihat formasi yang dibuat kedua belas lawannya sudah bisa dia ketahui kelemahannya. Untuk itu dia menambahkan lagi kecepatannya dengan tujuan bisa mempersingkat waktu mengalahkan mereka semua. Selain itu dia juga khawatir jika teman-teman lawannya kali ini akan berdatangan, mengingat kobaran api terus menyebar akibat panah api yang gagal mengenai sasaran dan menyasar ke pepohonan serta dedaunan kering. Jika kondisinya fit dan tidak ada racun yang bersarang di tubuhnya, Jalu tentu tidak akan takut menghadapi berapapun banyaknya lawan. Tapi situasi yang dialaminya saat ini benar-benar tidak m