Tak ingin Ayu Wulandari mengalami celaka karena terpatuk ular hijau yang terkenal berbisa cukup tinggi, Jalu pun berpikir untuk membawa tubuh gadis cantik itu ke pohon lain. Dilihatnya sekitar sebelum memutuskan memilih satu pohon yang berjarak kurang lebih sepuluh meter jauhnya."Berpegangan yang erat dan jangan mengendurkannya sedikit pun! Aku tidak akan memegangimu," ucapnya sebelum menarik napas panjang. Ayu Wulandari seketika memeluk tubuh Jalu dengan erat. Meski makna berpegangan dan memeluk itu jauh berbeda, tapi gadis cantik putri pasangan juragan kaya itu tidak memperdulikannya. Saat ini yang terpikir di dalam benaknya malah bukan keselamatan nyawanya, melainkan mungkin tidak akan ada kesempatan kedua bisa bersentuhan fisik dengan begitu dekat dan erat. Jalu merasa sedikit kesulitan bernapas akibat pelukan yang dilakukan Ayu Wulandari kepadanya. Namun dia berpikir jika gadis itu ketakutan sehingga harus memeluknya seerat itu. "Tenang saja. Kupastikan mereka tidak akan bisa
Pegangan Ayu Wulandari semakin erat tatkala tenaga yang dikeluarkan Badra semakin besar. Gadis cantik itu tak henti berteriak memanggil nama Jalu untuk meminta pertolongan. "Teruslah berteriak! Sebentar lagi kau akan jatuh dan aku tinggal membawamu pergi dari sini, hahahaha!" Tawa Badra lantang berderai. "Apa kau yakin bisa membawa dia pergi?" Terdengar suara Jalu yang rupanya sudah selesai menghabisi tiga puluh anggota perguruan Lembah Ular. Tawa Badra seketika terhenti. Dia berbalik arah dan menatap tajam pemuda tampan yang sudah berdiri lima belas langkah darinya. Arah pandang lelaki bertubuh tinggi besar itu lantas tertuju kepada bawahannya yang semuanya sudah terkapar. Sebagian besar sudah tidak bergerak lagi, entah itu pingsan atau mati. Dan sebagian kecil lainnya masih bergerak namun dengan erangan kesakitan yang tiada henti. "Bajingan tengik!" hardiknya keras. "Tidak perlu berteriak, aku tidak tuli." Jalu memukul-mukulkan ranting yang dipegangnya dengan tangan kanan ke te
"Tampaknya memiliki tubuh tinggi besar bukan sebuah hal yang baik untukmu. Buktinya, kulihat napasmu menderu cepat seperti seorang maling yang kabur dikejar penduduk," ujar Jalu yang diakhiri dengan tawa pelan mencibir.Calon tetua di perguruan Lembah Ular tersebut tidak bisa menahan rasa geram akibat ucapan pemuda tampan itu yang menurutnya begitu pedas. Namun selain geram, dia juga terkejut karena lawannya itu bahkan seperti tidak merasa lelah sama sekali. Padahal pertarungan yang mereka lakukan terbilang cukup panjang."Ternyata kekuatiran ketua ada benarnya. Pendekar muda ini memiliki kemampuan yang bahkan tidak bisa aku ukur," ucapnya dalam hati. Normalnya sebagai manusia, Badra memposisikan dirinya saat ini dalam kekuatiran yang tinggi. Modal berani saja nyatanya tidak cukup jika dihadapkan dalam situasi sulit seperti ini. Dia sadar tak akan bisa selamat jika pertarungan kembali berlanjut. Badra bisa menilai sendiri jika pendekar muda yang menjadi lawannya itu dalam pertarunga
Wikrama meringis menahan tulang pundaknya yang serasa linu berat. Walau terkesan biasa saja, tapi remasan tangan Jalu yang disertai pengerahan tenaga dalam membuatnya kesakitan. Tampaknya dia salah karena menganggap pemuda tampan itu bakal mundur dan pergi dari hutan tersebut. "Kau boleh diam dan tidak menjawab jika ingin satu persatu tulangmu remuk," lanjut Jalu, kemudian menambahkan sedikit tenaga dalamnya hingga tulang bahu Wikrama berbunyi gemeretak. "Tolong hentikan, Pendekar, rasanya sakit sekali. Baiklah, aku akan mengatakannya." Jalu mengulum senyum sebelum melepaskan tangannya dari bahu Wikrama."Katakan!" Diraihnya ranting kayu yang tergeletak di dekatnya dan dipatahkannya kecil-kecil menjadi lebih dari sepuluh bagian, tepat sesuai jumlah anggota perguruan lembah ular yang masih hidup. "Perguruan Lembah Ular ada di balik bukit Lawang Songo, Pendekar. Tapi ..." Wikrama menghentikan ucapannya karena melihat pemuda tampan itu melesatkan satu potongan ranting kayu kepada sa
Ayu Wulandari tersenyum lega. Rasa kekuatiran jika Jalu akan kembali dan mendatangi perguruan Lembah Ular berangsur menghilang. Gadis cantik itu lantas masuk ke dalam kereta kuda dan menutup pintunya kembali. "Ayo kita berangkat, Paman!" perintahnya kepada Darmono. Sebelum memacu kuda yang tali kekangnya sudah terpegang di kedua tangannya, Darmono menoleh ke arah Jalu. Setelah itu dia mengangguk kecil dengan senyum terkembang di bibir. "Berangkatlah, Paman. Aku ikuti dari belakang," ujar Jalu. Perlahan kereta kuda itu bergerak menyusuri jalanan tanah yang sedikit berbatu. Jalu mengiringi kepergian kereta kuda itu dengan tatapan matanya hingga berjarak lima puluh meter. Senyum pemuda tampan itu terurai seraya berkata dalam hati, "Aku harus melanjutkan tugas yang diberikan kakek." Dengan kemampuan ilmu meringankan tubuh yang sudah hampir memasuki taraf sempurna, Jalu melesat kembali masuk ke dalam hutan. Ratusan pepohonan yang seolah berdiri menghadang tidak menjadi masalah berart
Rasa terkejut yang mereka rasakan hanya sesaat. Setelahnya berganti tawa yang saling bersahutan. "Bocah gila! Apa kau sudah bosan hidup hingga berani menghadang kami?" ejek seorang lelaki yang memiliki kulit hitam, rambut keriting dan berbadan kekar. Jalu hanya tersenyum tipis sebelum menoleh ke belakang. Dilihatnya lelaki yang dikejar belasan anggota tadi sedang bersembunyi di balik sebuah pohon besar. "Kau tunggu di situ, aku ada perlu denganmu setelah menghabisi mereka!" ujarnya sebelum kembali mengarahkan pandangannya kepada belasan lelaki yang ada di depannya. "Hahahaha! Ternyata bocah ingusan ini benar-benar sudah gila. Dia tidak tahu jika sedang berhadapan dengan anggota perguruan Lembah Ular." Kembali lelaki berkulit hitam itu mengejek Jalu. Tanpa berpikir panjang, Jalu melesat menyerang setelah lelaki berkulit hitam itu menyelesaikan ucapannya. Dan Sambaran cakarnya langsung membuat lelaki yang telah mengejeknya itu terkoyak lebar. Lelaki berkulit hitam itu memegangi
Terdorong oleh rasa penasarannya, Sapta Aji pun berinisiatif untuk bertanya tentang berita yang sedang berkembang di perguruan Lembah Ular. "Maaf jika aku lancang. Saat ini sudah tersiar luas kabar mengenai hancurnya tiga perguruan oleh seorang pendekar. Apakah pendekar yang dimaksud itu kau?" Jalu sedikit menautkan kedua alisnya. Ternyata benar jika namanya sudah cukup meluas setelah hancurnya tiga perguruan di tangannya. Tercetak guratan senyum yang penuh misteri di bibirnya, dan itu membuat Sapta Aji mulai yakin jika pendekar muda di depannya tersebut adalah sosok yang sedang menjadi buah bibir di dunia persilatan. "Sekarang antarkan aku ke sana. Nanti Kakang tunggu saja di pintu gua," kata Jalu. Sapta mengangguk. "Baiklah, sambil jalan aku akan menjelaskan situasinya. Mari kita berangkat sekarang," ucapnya lalu berjalan terlebih dahulu. Sepanjang perjalanan yang kontur tanahnya terus menaik, Sapta Aji menjelaskan situasi di sekitar Lembah Ular. Tak lupa bagian dalam perguruan
Keduanya pun berjalan menyusuri jalanan gua yang sedikit licin. Andai tidak menjadi satu-satunya akses menuju lembah ular, mungkin setiap sisi gua itu akan dipenuhi dengan lumut yang tumbuh subur. Sesekali Jalu menempelkan telapak tangannya untuk mengetahui tingkat kelembaban di dalam gua. Semakin masuk ke dalam, kadar oksigen pun semakin menipis, dan pernapasan pun perlahan menjadi berat. Tapi hal itu tidak dirasakan oleh Sapta Aji. Dia sudah terbiasa melewati gua itu dan paru-parunya pun bisa dengan cepat menyesuaikan diri. Kedua lelaki yang berselisih usia dua belas tahun itu terus menyusuri gua. Nyala api dari obor yang dipegang Sapta Aji menjadi sangat berarti di dalam kondisi yang begitu gelap. "Sebentar lagi kita akan melewati jebakan pertama. Ikuti tapak kakiku dan jangan sekalipun memegang dinding gua," kata Sapta Aji. "Memangnya seberapa banyak jebakan di dalam gua ini?" tanya Jalu penasaran. "Hanya ada dua jebakan yang berupa tombak dan pisau. Sejauh ini belum ada ya