Pantai Sindanglaut. Senja hari. Rombongan Kyai Rangga tampak berderap di sepanjang pantai Sindanglaut. Kyai Rangga dan Bhre Wiraguna berkuda paling depan diiringi oleh para prajurit. Di belakang prajurit ada Suropati dan Sakera. Paling belakang sendiri Badra didampingi oleh Wanara, kera kecilnya yang setia.
Tepat di depan gua besar di tepi pantai itu, Kyai Rangga menghentikan kudanya diikuti oleh seluruh rombongan.
“Apakah kita akan masuk ke dalam gua?” tanya Badra.
Kyai Rangga belum menjawab, dia masih memikirkan, apakah perlu memasuki gua, sedangkan surat balasan dari Jan Pieterzon Coen harus segera disampaikan kepada Sultan Agung. Tetapi bayangan berpeti-peti emas batangan muncul di benak Kyai Rangga, membuatnya ingin memasuki gua itu. Walau sebenarnya bukan emas batangan itu yang paling menarik hatinya. Lembah rahasia yang misterius adalah yang paling menarik minatnya. Dia ingin mengetahui apa yang ada di dalam lembah rahasia itu.
“H
Rakit-rakit yang dinaiki Kyai Rangga, Badra, Suropati, dan Sakera melaju di atas danau yang tenang di dalam gua yang luas itu. Mereka mendayung dengan cepat, sehingga rakit juga melaju cepat. Tujuan mereka pasti, titik cahaya jauh di seberang danau. Semakin lama mendayung, semakin terlihat jelas tujuan mereka.Setelah sekitar satu jam mendayung sampailah mereka di tempat yang dituju sebuah daratan yang luas. Danau itu ternyata pintu keluar gua menuju sebuah daratan yang luas. Sinar terang menyinari tempat itu. Begitu indah, tanaman dan pepohonan yang berwarna-warni tampak memenuhi daratan itu. Pohon-pohonnya beraneka rupa dan warna. Pohon-pohon dan tumbuhan yang ada disitu tidak pernah dilihat atau ditemukan di tempat manapun. Burung-burung beterbangan di udara, burung-burung dengan bulu-bulu yang indah dan berwarna-warni. Binatang-binatang berkaki empat, berkaki dua berkeliaran dan tampak jinak. Binatang yang belum pernah dilihat oleh Kyai Rangga dan kawan-kawannya.S
Matahari baru tenggelam ketika Kyai Rangga, Badra, Suropati dan Sakera keluar dari gua di tepi pantai Sindanglaut. Bhre Wiraguna sudah memerintahkan prajuritnya untuk menyalakan penerangan di depan gua. Suasana di depan gua itu menjadi terang dengan adanya penerangan dari api unggun yang dibuat oleh para prajurit.Kyai Rangga lebih dahulu keluar dari gua diikuti oleh Badra, Suropati, dan Sakera. Bau harum mengiringi kedatangan mereka.“He, Suro, apa kamu dengar ada suara-suara gemerisik di belakang kita?” tanya Sakera begitu keluar dari gua.“Tidak dengar apa-apa, memangnya kamu dengar suara apa?” tanya Suropati penasaran dengan pertanyaan Sakera.“Suara-suara seperti orang menyeret pohon-pohon yang baru ditebang!” jawab Sakera.“Ah, itu hanya perasaanmu saja. Aku tidak dengar apa-apa,” ujar Suropati.“Malam ini, kita istirahat di sini, baru besok pagi kita lanjutkan lagi menuju Tegal,&rd
Batavia. Pagi hari. Rumah Pieter Cortenhoeff. Antony van leeuwenhoek ilmuwan yang diculik Jampang dan kawan-kawan, mengatakan bahwa obat untuk menyembuhkan Ballan dari serum kehidupan adalah dengan menggunakan daun ganja. Masalahnya adalah cukup sulit untuk mendapatkan daun ganja. Biasanya hanya pedagang-pedagang dari Aceh yang membawanya untuk diperdagangkan di pelabuhan Sunda Kelapa.“Apa tidak ada obat lain?” tanya Ballan.“Tidak ada, daun ganja yang sudah kuolah sedemikian rupa akan membersihkan darahmu, sehingga semua racun dan zat asing yang masuk ke dalam tubuhmu, sehingga kamu akan pulih seperti sedia kala,” jelas Antony.“Tetapi proses penyembuhan itu akan sangat menyakitkan,” lanjut Antony, membuat Ballan bergidik.“Lalu, kita cari daun ganja kemana?” tanya Pitung.Antony tidak menjawab, dia berpikir sejenak, sambil memandang ke arah Balllan dan kawan-kawan.“Di gudang obat-obat
Antony van Leeuwenhoek mengendarai kereta kuda dengan kecepatan sedang di jalanan Batavia yang mulai ramai. Di belakangnya duduk Ballan dalam posisi duduk dan pandangan ke depan. Antony meminta Ballan untuk tidak berbicara dan selalu menatap ke depan selama perjalanan, seperti orang yang kehilangan ingatan.Beberapa saat kemudian sampailan mereka di benteng Holandia. Antony segera turun dari kereta kudanya dan memerintahkan prajurit penjaga gerbang untuk memarkirkan kereta kudanya. Sementara dia menyuruh Ballan untuk turun dari kereta.Ballan masih tetap dengan pandangan ke depan, seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi di sekitarnya. Prajurit penjaga gerbang mengenali Ballan tetapi tidak berani berbuat apa-apa karena Antony yang membawa Ballan. Antony sangat dihormati di benteng Holandia dan di lingkungan prajurit, sebab dia adalah ketua ilmuwan di benteng Holandia.“Tetap jalan lurus, jangan menoleh dan jangan bicara, apa pun yang terjadi!!” bisik
Batavia. Malam hari. Rumah Pieter Cortenhoeff. Jampang dan kawan-kawan masih menunggu kedatangan atau kabar dari Ballan mulai dari siang hari. Tetapi tidak ada kabar atau tanda-tanda Ballan akan datang.“Hmm, apa mungkin Ballan sudah ditangkap?” ucap Pitung.“Ya, dia kan buronan,” kata Jampang.“Kalau begitu kita dalam bahaya,” kata Pitung.“Ya, benar, kita harus pergi dari sini,” kata Jampang.Sebelum Jampang selesai bicara mendadak di luar terdengar suara-suara derap kaki.“Wah, bahaya,” kata Jampang sambil melompat dan mengintip dari jendela.Benar, di luar rumah, puluhan pasukan VOC sudah datang mengepung dengan senapan.“Kita harus kabur dari sini!” kata Pitung.“Ayo, cepat,” kata Rais sambil menyambar goloknya yang terletak di atas meja.“Tunggu, kita lewat mana?” kata Ji’i.“Lewat belakang, di
Jampang dan kawan-kawan meninggalkan rumah Pieter Cortenhoeff dalam keadaan terbakar. Mereka terus berlari, sampai jauh ke pinggiran kota. Rumah Pieter yang terbakar sudah tidak terlihat lagi. Jampang dan kawan-kawan berhenti untuk istrirahat. Lampu-lampu minyak dari rumah-rumah di sekitar tempat itu membaut mereka masih bisa melihat dalam gelapnya malam. Tanpa mereka sadari sejak tadi, beberapa orang mengikuti mereka dari belakang.“Ah, kita istirahat dulu di sini,” kata Pitung.“Ya, gue juga capek,” kata Rais.“Gue juga,” kata Ji’i.Mereka berhenti di bawah pohon yang rindang.“Nanti aje istirahat di neraka!” terdengar suara keras cukup mengejutkan Jampang dan kawan-kawan.“Ki Sima?” ujar Jampang.“He, he elu emang gak gampang lupa, he.he,” kata Ki Sima sambil memainkan goloknya.“Apa mau elu?” tanya Jampang sambil menyiapkan goloknya.
Pinggiran kota Batavia. Menjelang tengah malam. Pertarungan sengit masih terjadi antara Jampang dan kawan-kawan melawan Ki Sima dan kawan-kawan. Pertarungan yang seimbang karena mereka menguasai ilmu bela diri di atas rata-rata. Rais dan Ji’i walau dengan kesulitan dapat mengatasi perlawanan anak buah Ki Sima. Kini mereka tinggal menghadapi empat orang dari sepuluh orang. Enam orang telah mereka kalahkan, kini tinggal empat orang yang harus mereka hadapi.Rais tampaknya sudah mengerti kelemahan para penyerangnya. Terbukti dalam waktu singkat dia dapat menyerang dan merobohkan para penyerangnya. Begitu juga dengan Ji’i, musuhnya dapat di atasi dengan mudah, dua orang lawannya dibuat terkapar dengan empat jurus maut Ji’i.Sekarang tinggal pertarungan antara Jampang dengan Ki Sima. Tampaknya Jampang sudah berhasil mendesak Ki Sima dengan serangan yang cepat dan bertubi-tubi. Ki Sima hanya dapat menangkis dan menghindar. Jampang sama sekali tidak me
Sindanglaut. Pagi hari. Rombongan Kyai Rangga sudah menyiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan menuju Tegal, setelah diserang tumbuhan dari dunia lain pada malam harinya. Kyai Rangga memutuskan untuk meninggalkan tempat itu dan akan kembali suatu saat nanti, karena dia yakin tempat itu menyimpan banyak misteri dan rahasia.“Aku akan melanjutkan perjalanan ke Tegal, Badra, Suropati, dan Sakera, apa kalian masih akan ikut aku?” tanya Kyai Rangga.“Aku akan menunggu di sini, karena disinilah rumahku,” kata Badra.“Bagaimana?” tanya Suropati dan Sakera saling memandang.“Tegal bukan rumahku, disini juga bukan,” kata Sakera.“Aku ikut saja ke Tegal,” kata Suropati.“Kalau begitu aku ikut juga,” kata Sakera.“Baiklah, kalau begitu selamat tinggal Badra, terima kasih atas bantuan yang kau berikan selama ini, semoga suatu saat kita akan berjumpa kembali,” ka