Suasana rumah, yang tadinya adem, ayem dan tentram. Kini berubah menjadi riuh, dengan suara umpatan serta makian yang mengiris pendengaran.Irfan begitu kuwalahan, mendapat serangan dari dua perempuan yang sudah terbakar api amarah. Hella yang sejak awal berwajah pucat, tak bisa balik melawan. Tubuhnya begitu lemas, semua persendian terasa begitu ngilu. Hella hanya bisa menghalau, sesekali tangannya mencakar siapapun yang menarik rambut kepalanya."Mampus lu jalang!" gigi, Ika bergeletuk tangannya dengan buas memukul wajah serta tubuh, Hella. Sudah lama, ingin memberi pelajaran. Kini anak musang, ada di kandang serigala."Rasain! Biar kapok sekalian!" teriak Hanum, sambil menarik rambut, Hella.Irfan yang tak tega melihat istrinya di keroyok dua orang langsung menyentak tubuh, Hanum. Lalu memukul keras, tangan Ika yang terus melayang mendarat di tubuh Hella."Berani melukai, Hella. Saya laporkan kalian berdua ke Polisi!" teriak Irfan sambil menarik tubuh, Hella dan menyembunyikannya d
Suara kenalpot menggerung-gerung terdengar memecah pendengaran. Tak lama dua motor besar sudah berada di kiri dan kanan motor, Irfan."Haha ... dasar gembel! Di kemanain motor keren lu!"Pupil mata, Irfan membesar. Wajahnya berubah pias, begitu mendengar suara yang dia kenal."Bayar hutang lu, setaan!"Braak!!Hella menjerit histeris, saat laki-laki berbadan besar menendang motor Irfan hingga terjungkal."Mampus kan lu!" suara gelak tawa terdengar, saat segerombolan laki-laki besar itu melihat mangsanya meringis kesakitan."Abisin saja sudah, Boss!"Dua motor besar berhenti di sisi jalan, laki-laki dengan otot besar penuh tato membuka helm memperlihatkan wajah bengisnya."Ampun, Bang ..." seru Irfan dengan wajah ketakutan, saat Baron berjalan mendekatinya."Sialan lu ya!" laki-laki itu mendengkus, membuang ludah sembarangan."Orang kaya lu tuh, emang gak bisa di percaya. Bukannya bayar hutang, malah kabur!"Irfan yang terjatuh di bawah motor, berusaha menggeser tubuh. Namun sebelum, I
"Lumayan juga, untuk hidangan malam ini." senyum menyerigai terlihat dari bibir perempuan bermake-up tebal. Hella terbelalak, saat mengingat wajah perempuan yang berada di sampingnya. "Ka-kamu?" Hella menunjuk ragu. "Tolong selamatkan suami saya." pinta hella dengan bibir bergetar. Perempuan itu mendecis sinis, lalu menegakkan badan dengan pandangan lurus ke depan. "Jalan ..." titahnya pelan, tak lama mobil melaju dengan kecepatan sedang. "Hei berhenti! Mas Irfan butuh pertolongan." Hella berteriak gusar, menatap laki-laki di kursi pemgemudi dan Tante indri di sampingnya. "Tolong, selamatkan suami saya!" Hella memegani tangan, Tante Indri dengan wajah penuh harap. "Suami?" alis tebal itu berjinggat sebelah. Menatap jengah kearah Hella. Hella masih bernafas terengah-engah, tangannya menyentuh kaca mobil memandang pilu melihat, Irfan yang masih terkapar tak berdaya di tengah jalan. "Tidak perlu cemas, nanti akan ada orang yang membantu menguburkan mayatnya." lirih Ta
Hella menangis pilu, merasa harga dirinya terhina begitu kejam. Tubuh lemasnya tak berdaya, Hella mencoba meronta saat kedua manusia tak bermoral itu terus saja menjelajah di tubuhnya."Lepas huhu ... Lepas sialaaaaan!" bergema suara Hella, mengguncang isi ruangan.Tetesan air mata berderai-derai, bayangan wajah Rissa melintas begitu saja di kepala."Rissa ..." bibir itu bergetar, hati Hella begitu nelangsa saat mengingat segala dosa yang pernah dia perbuat. Sementara kedua laki-laki itu terus saja melecehkan, tanpa peduli dengan jerit dan tangis yang keluar dari mulut, Hella."Aman, Nyonya. Masih bagus, meski ada beberapa bagian yang kurang kencang." ujar laki-laki berwajah sangar."Huhu ..." Hella menangis tersedu-sedu, merapatkan tubuh yang menggigil."Kalau kamu, gimana, Git?" tanya Tante pada laki-laki berambut plontos, yang menatap Hella dengan tatapan penuh nafsu."Sangat manis, Nyonya. Saya rasa dia akan laku keras." jawab Agit tanpa menoleh kearah majikannya. Tatapannya masih
Berkali, Tante Indri melirik arlogi di pergelangan tangan. Jemarinya menaut satu sama lain, dengan pikiran tertuju pada, Hella.Sudah tiga jam, sejak Mister Jack masuk ke dalam kamar. Namun sampai sekarang belum ada tanda-tanda, Mister memberi kabar."Kenapa lama sekali, bukankah Mister Jack bilang hanya bermain satu jam saja?" gumam Tante dengan alis yang menaut."Sepertinya jalang itu bekerja dengan baik." ujarnya dengan senyum miring.Suara dering menyentak pikiran, Tante melirik sekilas, tangannya dengan cepat menggeser layar saat melihat nama Mister Jack ada di dalam layar."Yes, Mister." sapa Tante Indri."Ya. Aku sudah menaruh tips di atas meja untukmu. Semoga berkenan." ujar Mister Jack, lalu memutuskan sambungan."Hallo, Mister." Tante berdecak kesal, melihat layar. Tak suka, panggilannya terputus begitu saja."Nyonya ..." suara Agit, terdengar panik dari luar pintu."Ya." pintu terbuka cepat, wajah Agit terlihat benar-benar cemas."Nyonya ..." Agit mengatur nafas."Kenapa?"
"Aiish ... baju kok, tidak ada yang bagus sih." Bagas berdecak kesal, saat melihat isi di dalam lemari pakaiannya."Kenapa mendadak semua kemeja yang ada di lemari menjadi jelek sih." Bagas menggerutu, tangannya sibuk menyibak-nyibak kemeja di dalam lemari dengan perasaan gundah. Berkali dia melirik jam di atas dinding, rasa cemas mulai menjalar saat melihat jarum kecil menunjukkan pukul tiga sore."Tau gitu, tadi langsung mampir ke Mall beli baju." lirihnya sambil mengambil kemeja berwarna marun lalu menempelkan di tubuh kekarnya."Duh ... ini kan pernah di pakai waktu jemput, Rissa. Masa iya di pakai lagi." gumamnya dengan kening mengkerut.Tumpukan baju dan kemeja yang tersusun rapih, kini berceceran di atas ranjang. Bagas lagi-lagi berdecak, lalu kembali mengambil kemeja marun yang tadi di lempar di sembarang tempat."Dahlah pake ini saja, biasanya aura ke tampananku semakin bertambah jika memakai baju berwarna marun." ujar Bagas sambil memakai pakaiannya, tubuhnya tegap menghadap
"Eh, Bagas?" Rissa tersenyum tipis, saat melihat Bagas berdiri tak jauh dari gerbang kantor. Tania dan Nur, refleks menoleh mengikuti arah mata, Rissa."Sudah lama?" Rissa melempar tanya, Bagas masih mematung merasakan hati yang kembali berdenyut."Siapa, Riss?" Tania menyenggol lengan, Rissa."Hai ..." Bagas melempar senyum kaku."Kenalin, ini pengacara yang mengurus sidang gue." ujar Rissa dengan senyum lepas, memperkenalkan Bagas pada rekan kerjanya."Oh, iya." Tania menyahut seraya mengulurkan tangan. "Tania." ujarnya."Bagas," Bagas tersenyum tipis, membalas uluran tangan, Tania."Bisa aja, Rissa. Nyari pengacara masih muda dan ganteng begini." Nur menyela, sambil mengulurkan tangan."Nurjanah," Nur tersenyum dengan wajah cerah."Bagas," sahut Bagas ramah."Mau jalan ya?" Tania menatap Bagas dan Rissa bergantian."Eh ... itu, iya." sahut Bagas salah tingkah, menatap Rissa dengan senyum kikuk."Ya sudah. Gue duluan ya." ujar Rissa. "Ayok, Gas." Rissa berjalan mendahului menuju par
Pov Larissa.Pagi sekali, aku tiba di ruang kerja. Lembaran map yang bertumpuk, membuat aku menyisingkan lengan dengan nafas panjang penuh semangat.Tawaran dua hari lalu, membuat aku tidak bisa berpikir lama. Entah apa yang membuat, Direktur muda itu memilihku menjadi asistennya.Jujur saja, aku belum terbiasa. Kerjaanku selama ini hanya mengecek barang, laporan pekerjaan dan lain-lain. Minim sekali, pengetahuan tentang menjadi asisten seorang Direktur."Pelajari semuanya, ini adalah daftar kerja serta kesukaan dan hobi Pak Abimayu. Jangan sampai ada kesalahan, kamu tahu sendiri kan bagaimana sikapnya."Sore lalu, Pak Derik menyerahkan setumpuk map. Aku yang kebingungan hanya bisa mengangguk dengan senyum yang mengembang."Dengar-dengar gajimu akan naik 5 kali lipat." mata yang semula layu mendadak bulat, saat mendengar ucapan sinis kepala seksi yang masih berdiri di samping meja kerjaku."Ahh ... sudahlah, aku tak mengerti dengan jalan pikir orang muda itu. Sudah jelas, Anggita lebi