"Aiish ... baju kok, tidak ada yang bagus sih." Bagas berdecak kesal, saat melihat isi di dalam lemari pakaiannya."Kenapa mendadak semua kemeja yang ada di lemari menjadi jelek sih." Bagas menggerutu, tangannya sibuk menyibak-nyibak kemeja di dalam lemari dengan perasaan gundah. Berkali dia melirik jam di atas dinding, rasa cemas mulai menjalar saat melihat jarum kecil menunjukkan pukul tiga sore."Tau gitu, tadi langsung mampir ke Mall beli baju." lirihnya sambil mengambil kemeja berwarna marun lalu menempelkan di tubuh kekarnya."Duh ... ini kan pernah di pakai waktu jemput, Rissa. Masa iya di pakai lagi." gumamnya dengan kening mengkerut.Tumpukan baju dan kemeja yang tersusun rapih, kini berceceran di atas ranjang. Bagas lagi-lagi berdecak, lalu kembali mengambil kemeja marun yang tadi di lempar di sembarang tempat."Dahlah pake ini saja, biasanya aura ke tampananku semakin bertambah jika memakai baju berwarna marun." ujar Bagas sambil memakai pakaiannya, tubuhnya tegap menghadap
"Eh, Bagas?" Rissa tersenyum tipis, saat melihat Bagas berdiri tak jauh dari gerbang kantor. Tania dan Nur, refleks menoleh mengikuti arah mata, Rissa."Sudah lama?" Rissa melempar tanya, Bagas masih mematung merasakan hati yang kembali berdenyut."Siapa, Riss?" Tania menyenggol lengan, Rissa."Hai ..." Bagas melempar senyum kaku."Kenalin, ini pengacara yang mengurus sidang gue." ujar Rissa dengan senyum lepas, memperkenalkan Bagas pada rekan kerjanya."Oh, iya." Tania menyahut seraya mengulurkan tangan. "Tania." ujarnya."Bagas," Bagas tersenyum tipis, membalas uluran tangan, Tania."Bisa aja, Rissa. Nyari pengacara masih muda dan ganteng begini." Nur menyela, sambil mengulurkan tangan."Nurjanah," Nur tersenyum dengan wajah cerah."Bagas," sahut Bagas ramah."Mau jalan ya?" Tania menatap Bagas dan Rissa bergantian."Eh ... itu, iya." sahut Bagas salah tingkah, menatap Rissa dengan senyum kikuk."Ya sudah. Gue duluan ya." ujar Rissa. "Ayok, Gas." Rissa berjalan mendahului menuju par
Pov Larissa.Pagi sekali, aku tiba di ruang kerja. Lembaran map yang bertumpuk, membuat aku menyisingkan lengan dengan nafas panjang penuh semangat.Tawaran dua hari lalu, membuat aku tidak bisa berpikir lama. Entah apa yang membuat, Direktur muda itu memilihku menjadi asistennya.Jujur saja, aku belum terbiasa. Kerjaanku selama ini hanya mengecek barang, laporan pekerjaan dan lain-lain. Minim sekali, pengetahuan tentang menjadi asisten seorang Direktur."Pelajari semuanya, ini adalah daftar kerja serta kesukaan dan hobi Pak Abimayu. Jangan sampai ada kesalahan, kamu tahu sendiri kan bagaimana sikapnya."Sore lalu, Pak Derik menyerahkan setumpuk map. Aku yang kebingungan hanya bisa mengangguk dengan senyum yang mengembang."Dengar-dengar gajimu akan naik 5 kali lipat." mata yang semula layu mendadak bulat, saat mendengar ucapan sinis kepala seksi yang masih berdiri di samping meja kerjaku."Ahh ... sudahlah, aku tak mengerti dengan jalan pikir orang muda itu. Sudah jelas, Anggita lebi
"Maaf." sahutku gugup.Pak Abi, mengendurkan dasinya, menatap dengan tajam, membuat aku semakin membeku ditempat."Ehm ...."Suara berdehem, Pak Abi bahkan membuat tubuhku tersentak. Aku menundukkan wajah dengan dada yang begitu berdebar. Aku sangat takut, dia marah padaku."Hati-hati." ujarnya sedikit terbata.Aku tersenyum kikuk, melihat wajah tegangnya.Eit ... mengapa dia yang tegang?Bukankah, seharusnya aku?"Cepat, ambil semua berkas itu. Kita berangkat 10 menit lagi." ujarnya dengan tatapan datar."Baik, Pak." aku mengangguk tegas, lalu berjalan menuju meja kerjanya."Hanya ini?" aku bertanya ragu, saat melihat map tipis yang ada di atas meja."Ya." jawabnya tanpa menoleh, lalu keluar ruangan. Aku segera mengekori langkahnya dari belakang."Pak Abi ..." Anggita tersenyum manis seraya membungkukkan badan. Aku yang berada di belakang, Pak Abi ikut tersenyum. Namun saat Anggita melihat kearahku, wajahnya begitu masam dengan tatapan sangat sengit."Apa aku pernah menyinggungnya?"
"Sandal dari siapa ya?" aku mengamati dengan jeli, mata terbelalak melihat merek yang ada di samping sandal."Duh, bukan sembarang sandal sih. Ini salah kirim apa ya?" gumamku sambil meraih paperbag dan membaca tulisan yang ada di depannya."Untuk Larissa ... Disini, memang hanya aku sih yang namanya Larissa."Kepala menggeleng pelan, perlahan duduk di atas kursi lalu memakai sandal tersebut. Sesuai dugaan, sandal ini memang sangat nyaman di pakai.Melanjutkan pekerjaan, sedikit demi sedikit aku bisa memahami keseluruhan yang tertulis di buku jurnal. Hati bertekad, akan terus semangat dan menjadi asisten andalan Boss besar, demi masa depan keluarga kecilku.Takku pedulikan lagi siapa yang memberi sandal mahal ini, namun aku sangat berterimakasih.***Ofd"Loh ada, Bagas?" aku tersenyum tipis seraya berjalan kearahnya yang sedang duduk di loby kantor."Hei, sepertinya hari ini sibuk sekali." ujarnya sambil bangkit dari tempatnya."Iya. Kerjaan lumayan banyak." jawabku sambil meringis."
"Eh ... aduh." aku meringis dengan wajah tak enak melihat Bagas."Ayah kamu, ganteng Dila." suara bisik Keyla terdengar di telingaku."Iya, dong. Ayah siapa dulu ..." Dila berucap dengan bangga menatap Bagas dengan mata berbinar-binar. Aku semakin menggaruk kepala yang terasa seperti bongkahan es batu. Sangat dingin.Namun wajah, entah mengapa terasa begitu hangat."Dila ... ya ampun." aku meringis, melirik malu kearah, Bagas."Key, tuh Bunda Ayu manggilin kamu." aku tersenyum manis kearah, bocah berkuncir kuda itu, jemariku menunjuk kearah Bunda Ayu yang sibuk di depan gerobak bakso."Iya, Bunda ..." Keyla menoleh ke Bundanya, lalu berlari kecil meninggalkan Dila."Huhh ..." aku meringis, menarik pelan tubuh Dila yang terus merapat pada Bagas."Ayok, kita beli ice cream." aku berujar lepas, mencoba menghindar dari tatapan Bagas yang menatapku dengan tatapan sendu.Aaiissh ... apa sih yang aku pikirkan.Aku masih belum berani menegur, Dila. Sebab, Bagas yang sejak tadi mengekori langk
Bagas menegakkan badan, lalu mengulang kalimat yang sama ....Aku terpaku, cukup terkejud mendengar ucapannya. Bagas masih terdiam, menunggu jawabanku. Mata beralih pada cincin yang berteger manis di dalam kotak, lalu berganti memandang Bagas yang tersenyum tipis dengan wajah tegang."Riss ....""Eh," aku tergagap, mengambil nafas panjang menyenderkan tubuh yang sempat membeku ini."Kamu mau menikah denganku?" wajah itu menyimpan harapan, menatap dengan lekat."Gas, aku ini ja-nda ..." aku terbata, mengingat status saat ini. Bagas masih bujang, tampan dan mapan. Rasanya, aku masih belum percaya dengan sikapnya yang tiba-tiba seperti ini."Apa masalahnya. Aku nyaman sama kamu, sayang sama kamu. Dan Dila ... aku sudah menganggapnya seperti anakku sendiri." Aku tertegun, menatap dalam sorot matanya."Gas ..." aku mulai tak nyaman. Jantung mendadak bertalu dengan kencang."Kamu kenapa, Riss." Bagas menaruh kotak perhiasan itu di atas meja, menatap cemas kearahku."Muka kamu pucat, Riss.
Suara adzan subuh lamat-lamat terdengar, mata mengejrap pelan meraba bawah bantal mencari benda pipih. Waktu menunjukan pukul 04:35, aku meregangkan otot lalu kembali menarik selimut. Mata terasa begitu lengket, tak mau terbuka sedikit pun. Aku memejamkan mata, sambil menunggu alarm berbunyi."Mah ... Mamah," suara Dila terdengar, seirama dengan tepukan dipipi ini. Aku menarik nafas, kembali menarik selimut."Mah, ayok sholat subuh, sudah jam 6." suara Dila kembali terdengar, membuat aku berusaha membuka mata."Sholat dulu, Mah, nanti tidur lagi." cerocos, Dila. Meniru kata-kataku, setiap membangunkannya sholat subuh."Iya," jawabku dengan suara serak. Menggerakkan tubuh, duduk bersandar di sisi ranjang."Dila sudah sholat?" bocah perempuan, yang sedang melepas mungkena itu mengangguk dengan cepat."Tadi Dila ke bangun karna mulas, ya sudah sekalian sholat sama Bik Narti. Mamah di bangunin susah." jelasnya dengan nada penuh semangat."Oh, iya." aku mengangguk, sambil menguap panjang.