"Mohon maaf, Pak. Kartu limit, tidak bisa digunakan?" ucap Mbak kasir sambil menyodorkan kartu dihadapanku.Hah ... Limit, tidak bisa digunakan? mana mungkin?"Tidak mungkin? Saya belum melakukan transaksi apapun hari ini," sahutku sambil menerima kartu atm tersebut dan menimangnya.Apa yang salah?"Mohon maaf, Pak. Saya sudah mencoba sebanyak dua kali. Tapi tetap hasilnya tidak bisa," balas Mbak kasir, masih dengan senyum ramahnya."Ada apa sih, Mas?" Hella yang sedang berbincang dengan pegawai salon yang tadi menggodaku, jalan mendekat."Ini, kartu. Kok tidak bisa dipakai, padahal uangnya masih banyak," jelasku. Kening Hella bertautan. Dia melangkah mendekati kasir."Mesinnya tidak rusakkan?" tanya Hella."Mesin baik-baik saja, Mbak." Jawab kasir.Aku kembali merogoh dompet dan mengeluarkan kartu yang lain."Coba pakai ini ..." aku menyodorkan atm cadanganku.Mbak kasir menerima dengan ramah, lalu menggesek kartu pada mesin debit."Bisa, Pak." ucap Mbak masir, membuat nafasku lega.
Tiba-tiba ucapan Papah terngiang dikepala, yang mengatakan perempuan penggoda seperti Hella hanya mengincar hartaku saja. Jika Hella tahu kebenaran tentang hidupku, apakah dia akan melepehku, seperti yang Papah katakan?Ahh ... kenapa kepalaku belakangan ini selalu berdenyut ngilu, rasanya sangat pening, benar-benar sakit dan mengganggu.Mata masih tertuju pada Hella yang memasuki loby apartement, dia terlihat berhenti dan berbincang dengan laki-laki yang bekerja sebagai keamanan di apartementnya.Ada rasa tak nyaman saat melihat mereka begitu dekat, Hella masih terus berbincang. Padahal sebelum dia turun dari mobil, dia mengeluh pusing kepala. Apakah saat ini, pusingnya sudah menghilang? Ada rasa kecewa yang terselip dihati ini melihat tingkah lakunya.Melajukan mobil dengan pelan, aku memutuskan untuk singgah kerumah orangtua Diana. Biar bagaimana pun masalah aku dan Ayahnya harus di selesaikan, aku tidak mau Ayah mertua benar-benar melaporkan tindakanku yang tidak disengaja itu.Mo
Tiba-tiba ucapan Papah terngiang dikepala, yang mengatakan perempuan penggoda seperti Hella hanya mengincar hartaku saja. Jika Hella tahu kebenaran tentang hidupku, apakah dia akan melepehku, seperti yang Papah katakan?Ahh ... kenapa kepalaku belakangan ini selalu berdenyut ngilu, rasanya sangat pening, benar-benar sakit dan mengganggu.Mata masih tertuju pada Hella yang memasuki loby apartement, dia terlihat berhenti dan berbincang dengan laki-laki yang bekerja sebagai keamanan di apartementnya.Ada rasa tak nyaman saat melihat mereka begitu dekat, Hella masih terus berbincang. Padahal sebelum dia turun dari mobil, dia mengeluh pusing kepala. Apakah saat ini, pusingnya sudah menghilang? Ada rasa kecewa yang terselip dihati ini melihat tingkah lakunya.Melajukan mobil dengan pelan, aku memutuskan untuk singgah kerumah orangtua Diana. Biar bagaimana pun masalah aku dan Ayahnya harus di selesaikan, aku tidak mau Ayah mertua benar-benar melaporkan tindakanku yang tidak disengaja itu.Mo
"Jordy adalah pengawal Diana, kalau begitu tunggu sebentar. Saya akan berbicara dengan Diana," ucapnya lalu masuk ke dalam ruangan.Aku menunggu dengan gelisah, semoga saja keputusanku ini memang tepat. Aku hanya ingin membantu, Nyonya Diana.Tak lama perempuan paruh baya itu keluar, dan mengizinkan masuk. Namun hanya aku yang boleh menemuinya, Mas Bagas harus menunggu diluar ruangan."Selamat siang?" ucapku setelah membuka pintu. Wanita dengan senyum hangat sudah menyambut kedatanganku."Siang, Nona." sahutnya dengan suara pelan."Nyonya, Diana?" tanyaku. Bibir itu melengkung, seirama dengan anggukan kepalanya."Silahkan duduk ..." ucapnya sambil menunjuk kursi di samping bangkar."Trimakasih, sudah mau meluangkan waktu datang kesini. Senang bisa bertemu denganmu, Nona." ucapnya sambil tersenyum tipis. Keadaan Diana benar-benar memprihatinkan. Kening kepalanya terbelit perban, serta kaki kirinya tergantung dengan alat bantu rumah sakit.Melihatnya saja membuat tubuhku ngilu, apalagi
Malam semakin larut, Hella belum juga menunjukan batang hidungnya. Aku tak ingin menghubunginya, biarkan saja jika memang dia mengurungkan niat untuk menjengukku dirumah sakit.Ingin menghubungi Mamah, namun logika menolak keras. Mamah pasti bertanya penyebab aku berada disini. Dia pasti akan tertawa, jika mendengar Ayah Diana yang sudah membuatku babak belur seperti ini.Mamah memang Ratu kejam, dari dulu dia seperti itu. Jika aku mempunyai kesalahan, dia akan menghukumku dengan keji. Tak peduli, aku ini anak laki-laki satu-satunya.Ahh ... malangnya nasibmu, Mahesa. Semua masalah terjadi secara beruntun, waktu seolah menjebak dan mempermainkanku.Meraih remot televisi yang ada diatas nakas, mencoba memecah kesunyian di dalam ruang yang sepi ini.Televisi menyala, aku menatap layar lebar itu dengan pikiran kosong.Diana ... Hanya dia yang ada di dalam ingatanku saat ini. Aku memang bersalah, dan aku sudah mengakui semuanya.Aku ingin memperbaiki semuanya dengan Diana, tapi dia begitu
Pov : MahesaTiga hari setelah dirawat dirumah sakit, aku di perbolehkan pulang. Hella benar-benar menjagaku sepenuh hati.Diana? Jangan ditanyakan, dia mungkin tidak peduli, jika aku mati sekalipun. Benar-benar tak berperasaan, hati ini sungguh sakit. Seseorang yang aku harap bisa menemaniku hingga akhir hayat, ternyata tak ubah bagai serigala. Menyakitkan!Aku memilih untuk pulang ke apartement Hella, karna pulang kerumah pun tak ada yang mengurus."Kamu ga kerja, Mas?" tanya Hella. Hari ini adalah hari ketujuh, aku menginap dikediamannya. Keadaanku sudah kembali pulih, dan sehat bugar."Tidak, Mas malas bertemu Mamah," kilahku. Padahal, memang sudah di copot jabatanku. Untuk saat ini, biarlah. Hella tak perlu tahu masalahku yang sesungguhnya."Mas, coba bujuk Mamah. Aku tidak mau hubungan ini terus-terusan tidak jelas," ucap Hella sambil menaruh segelas kopi diatas meja."Ya, kita memang tidak seharusnya seperti ini. Akupun tak ingin terlalu lama berkabung dalam dosa," sahutku samb
"Loh kamu yang mau apa! Aku ini calon istri, Mas Mahesa. Kamu lupa?" suara Hella tak kalah kencang dari Diana.Dengan terpogoh aku berlari menuju pintu, mata terbuka lebar. Diana benar-benar ada didepan mataku."Diana ... kamu pulang sayang?" ucapku dengan senyum haru. Diana tersenyum hangat, menubruk pundak Hella yang menghalangi langkahnya lalu melewatinya."Iya, kamu sehat, Pih?" Diana berkata dengan senyum yang begitu manis, membuat kepala ini mengangguk dengan cepat."Sudah makan?" Diana menaruh telapak tangan dikeningku, lalu mencium pipi ini dengan lembut."Sudah, ayo masuk ke dalam ..." ucapku sambil menuntun masuk tangannya. Diana tersenyum manis, berjalan sambil bergelayut mesra dipundakku.Ada apa ini? Mengapa Diana begitu manis. Sudah sudikah kiranya dia memaafkan aku?Tak sengaja mata melirik Hella, yang menatap sinis tak suka. Tapi aku tak peduli, bagiku saat ini Diana sudah pulang, itu sudah lebih dari cukup."Nyonya ..." Bik Emi menatap tak percaya, lalu terpogoh mengh
Silau mentari menerpa wajah, tubuh bergeliat melemaskan otot. Meraba samping ranjang, mata menyipit saat tak kutemukan Diana disamping tidurku. Perlahan bangun, duduk bersandar dipunggung kasur, mengumpulkan segenap kesadaran.Waktu menunjukan pukul 06:00 pagi, suara aktifitas didalam kamar mandi terdengar membuat hati yang tadinya gundah menjadi tenang.Sambil menguap aku meraih gawai yang tergeletak diatas nakas, pesan dari Hella berjejer memenuhi layar. Kembali aku meredupkan layar, malas untuk membaca segala rentetetan keluh kesahnya."Sayang ... mandinya sudah?" ucapku setelah mengetuk pintu dua kali."Iya, tunggu sebentar!" teriak Diana dari dalam."Buka pintunya, kita mandi sama-sama." tak ada balasan suara dari dalam, tak lama pintu toilet terbuka pelan."Aku sudah selesai," ucapnya seraya melilitkan handuk dikepala. Aroma sabun mengeruak, saat Diana melewatiku.Ada yang menghangat dihatiku, melihat Diana berada disini gairah hidupku kembali menyala setelah padam beberapa wakt