"Sama-sama, Pih. Semoga keluarga kita selalu dilindungi oleh Tuhan, dari orang-orang jahat yang mau merusak kebahagiaan kita," sahut Diana tegas. Namun senyum dibibirnya menciptakan kehangatan di dalam dada.***Ofd.Setiap hari Hella terus saja meneror, aku sampai mengnonaktifkan gawai untuk sementara waktu.Tepat hari ini, dimana seharusnya kami melakukan pernikahan. Tapi aku mangkir, tak menanggapi semua rentetannya.Menikah dengan, Hella? Entah mengapa hati merasa kurang yakin, aku takut pikiran buruk tentangnya menjadi kenyataan.Setelah dipikir-pikir, uangku memang habis terkuras untuk memenuhi gaya hidupnya. Dan aku tidak mau terus-terusan seperti itu. Uang yang seharusnya bermanfaat kini lenyap karna kesenangan sesaat. Hella tentu saja, tak mau tahu saat aku mengeluh kekurangan uang.Sibuk menata hati bersama Diana, menyusun rencana untuk membuka usaha sendiri. Cukup sudah aku mengemis di hadapan Mamah, penolakan mereka membuat hatiku sakit. Aku bertekad akan membuka usaha send
"Kalau itu rencana kalian, kenapa tidak dilaksanakan? Menikahlah, aku merestui hubungan kalian." ucap Mamah tegas, sorot matanya menatap Hella yang terbelalak kaget mendengar ucapan orangtua perempuanku.Hella menoleh kearahku, gurat wajahnya menyimpan sejuta pertanyaan. Hella terlihat bingung, alisnya menaut dengan kencang lalu menoleh pada Mamah dan menatapnya lurus-lurus."Apa saya tidak salah dengar?" wajah Hella terlihat antusias, tak berkedip menatap Mamah."Ya, dari pada kalian terus berbuat dosa?" Mamah mengangkat bahu dan kedua tangannya."Lebih baik diresmikan, bukan? Toh ... kalian juga sepertinya tidak ada niat untuk saling menjauh," sambung Mamah, membalas tatapan mata, Hella.Hella menatapku, kepalanya terangkat mengisyaratkan agar aku buka suara."Tapi, Diana? Dia tidak akan setuju, Mah." sahutku. Mamah menghela nafas, menatap aku dan Hella bergantian."Ya ... tentu saja, dia pasti akan menolak mentah-mentah," jawab Mamah santai.Aku tersenyum kecut, untuk apa Mamah men
Pov Diana.Bibir melengkung tipis, otakku berputar mencerna setiap kalimat yang terlontar dari bibir Mamah mertuaku.Bisa saja, saat ini aku berada dihadapannya. Tapi pikiranku berada ditempat dimana aku dan Larissa sedang terlibat dalam di perbincangan yang sangat serius."Saat Mbak Lariss tahu, suami berkhianat. Apa langkah yang, Mbak ambil saat itu?" tanyaku setelah menyesap minuman berasa jeruk. Asam kecutnya langsung menerjang lidah, saat air berwarna sedikit kuning itu mengalir melewati sedotan dan mengenai indra pengecapku.Bibir ranum Larissa berjinggat sebelah, lalu nafas panjang berhembus setelahnya. Mata itu menerawang jauh, gurat kepedihan sekilas tergambar dari manik coklatnya. Lalu dia mengembangkan senyum."Hmm ... apa ya? Saat itu ... rasanya Duniaku berhenti berputar. Ingin sekali membunuh keduanya, namun aku tahan mengingat anak." sahut Larissa sambil menganggukkan kepala."Aku mencoba bersabar, dan mencari bukti untuk membongkar kebusukan mereka di depan semua orang
Pov Mahesa"Mas ... tidak bisakah aku tinggal dirumah megahmu? Diana terlalu serakah, rumah sebesar itu ditinggali hanya dengan beberapa orang saja," cibir Hella, tangannya membelai lembut wajahku.Sudah satu minggu aku berada di apartementnya. Hari ini sudah waktunya aku kembali kerumah untuk menemui Diana."Mas, aku ikut ya," pinta Hella dengan wajah penuh harap."Untuk apa? Mas sudah bayar uang sewa apartement ini. Sayang kan, jika tidak ada yang mengisi," tukasku sambil memasang kancing kemeja yang melekat ditubuhku."Huh ... Bilang saja Mas tidak mau aku ada dirumah itu. Lagi pula, rumah itu bukan hak milik Diana kan? Sudah seharusnya, aku juga tinggal dirumah itu, aku ini istri kamu. Ingat itu, Mas." balas Hella, tak mau kalah."Sudahlah, Laa. Permintaanmu lama-lama aneh. Aku sudah menuruti keinginanmu untuk menikah, sekarang tolong jangan mengusik Diana. Dia sudah cukup terluka dengan pernikahan ini," bantahku, mencoba memberi pengertian.Hella memutar bola matanya dengan malas
Rasa terbakar kembali menjalar, kini mata terbelalak saat melihat yang mengalir bukan air seni melainkan darah pekat dengan lelehan cairan berwarna kuning kental."Astaga, mengapa pipisku mengeluarkan nanaah?"Jantung langsung berdetak kencang, kepala berkunang-kunang, dengan nafas yang mendadak sesak.Tubuh terhenyak menghimpit tembok, lutut mendadak sangat lemas.Ini tidak mungkin. Aku tidak mungkin mendapat penyakit ...Agrh ... menyugar rambut dengan frustasi, segera membersihkan apa yang sudah aku keluarkan. Lalu keluar dari bilik toilet tak berani menuntaskan hajat.Aku sungguh tidak tenang, lama berdiam diri duduk diatas ranjang dengan pikiran tak menentu arah. Segera mengamati tangan, terlihat ruam halus yang bermunculan dikulitku.Hella ... apa mungkin dia yang menyebabkan ini semua? Aku sudah lama tak menyentuh Diana. Tidak salah lagi, pasti Hella biang dari masalah ini. Aku harus meminta penjelasan darinya."Kenapa, Mas? Kok lemas sih?" Diana mengamati wajahku."Mm ... kura
"Jawab!!" nafasku memburu, membuat wajah cantik yang sangat aku gilai itu semakin menegang.Hella bangkit dari sisiku, berjalan memutari meja."Ka-mu bicara apa sih, Mas? Kamu pikir aku ini perempuan macam apa, Hah!" sentak Hella dengan nafas tak teratur.Sepertinya dia tidak terima dengan kata-kataku."Kamu hanya terlalu lelah, Mas. Kenapa? Apa Diana bicara yang tidak-tidak padamu, hingga kau semarah ini padaku?" ucap Hella dengan mimik memelas."Ayolah ... perempuan itu tidak sepenuhnya rela kamu menjadi suamiku. Dia pasti sudah mencekokkimu, dengan kata-kata mengujar kebencian!" sambungnya dengan wajah mengeras. Aku terkekeh geli, menatapnya tak percaya."Diana pasti sudah memfitnahku!" Hella menatap lekat, meyakiniku.Bisa-bisanya disaat kemarahanku tersulut begini, dia menyeret Diana untuk menutupi kesalahannya.Aku bangkit dari duduk, berjalan mendekatinya. Kini pandangan kami beradu tatap, namun Hella segera memalingkan wajah."Dengar ..." aku meraih wajahnya dengan satu tangan
"Dasar perempuan pembawa sial!" umpatnya begitu bengis lalu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan kearahku dengan wajah merah padam dan sorot mata penuh amarah.Mau apa dia?Alisku menaut kencang, langkah kakinya semakin cepat mendekatiku.Hella melayangkan tangan kearahku, dengan tangkas aku menghindar sehingga yang dia pukul hanya udara membuat tubuhnya sedikit oleng."Huh ..." matanya semakin membesar, kemarahan semakin memuncak saat targetnya tak mengenai sasaran. Hella membalik badan dan meraih tanganku. Tak sempat menghindar, kuku itu mengenai lengan ini menyisakan goresan yang cukup panjang."Aduh ...."Perih dan panas membakar kulit, membuat emosiku kini tersulut dibuatnya."Apa-apan kamu sundaal!" ucapku menahan geram. Otakku begitu mendidih, melihatnya tersenyum sinis kearahku."Jangan belaga sok suci kamu! Kau yang menjebakku kan? Kau yang menyekapku, hingga para bajing itu menodaiku!" sembur Hella dengan mata merah melotot tajam.Aku terkekeh geli menanggapinya, memba
"He--lla, dia yang su--dah menusukku," jelas Mas Mahesa. Membuat aku dan Mamah saling berpandangan."Maksud kamu apa, Mas?" tanyaku antusias."Hella, di-a marah dan menusuk perutku," jelas Mas Mahesa dengan nafas terengah-enagah.Mamah mendengkus, menatap tak percaya."Belum sebulan kalian menikah, dia sudah mau membunuhmu?" cecar Mamah tak habis pikir. "Ini Mahes ... perempuan yang membuatmu berpaling dari anak dan istri? Kelakuannya begitu kasar, tak lebih baik dari preman pasar!" gerutu Mamah, sangat kesal.Aku sendiri cukup terkejut mendengarnya, tidak menyangka perempuan itu bisa berbuat anarkis terhadap mangsanya sendiri.Entah aku harus tertawa atau bersedih mendengar pengakuannya.Namun jujur saja, hati menertawakan keadaannya saat ini.Gimana, Masqu?Kapokkkk!"Gila! Benar-benar tidak waras dia." sembur Mamah dengan nafas terengah-engah."Belum apa-apa, karma sudah datang menghampirimu, Mahes." cibir Mamah. Mas Mahesa yang mendengar hanya meringis, entah menahan sakit dibagia