Pov Mahesa"Mas ... tidak bisakah aku tinggal dirumah megahmu? Diana terlalu serakah, rumah sebesar itu ditinggali hanya dengan beberapa orang saja," cibir Hella, tangannya membelai lembut wajahku.Sudah satu minggu aku berada di apartementnya. Hari ini sudah waktunya aku kembali kerumah untuk menemui Diana."Mas, aku ikut ya," pinta Hella dengan wajah penuh harap."Untuk apa? Mas sudah bayar uang sewa apartement ini. Sayang kan, jika tidak ada yang mengisi," tukasku sambil memasang kancing kemeja yang melekat ditubuhku."Huh ... Bilang saja Mas tidak mau aku ada dirumah itu. Lagi pula, rumah itu bukan hak milik Diana kan? Sudah seharusnya, aku juga tinggal dirumah itu, aku ini istri kamu. Ingat itu, Mas." balas Hella, tak mau kalah."Sudahlah, Laa. Permintaanmu lama-lama aneh. Aku sudah menuruti keinginanmu untuk menikah, sekarang tolong jangan mengusik Diana. Dia sudah cukup terluka dengan pernikahan ini," bantahku, mencoba memberi pengertian.Hella memutar bola matanya dengan malas
Rasa terbakar kembali menjalar, kini mata terbelalak saat melihat yang mengalir bukan air seni melainkan darah pekat dengan lelehan cairan berwarna kuning kental."Astaga, mengapa pipisku mengeluarkan nanaah?"Jantung langsung berdetak kencang, kepala berkunang-kunang, dengan nafas yang mendadak sesak.Tubuh terhenyak menghimpit tembok, lutut mendadak sangat lemas.Ini tidak mungkin. Aku tidak mungkin mendapat penyakit ...Agrh ... menyugar rambut dengan frustasi, segera membersihkan apa yang sudah aku keluarkan. Lalu keluar dari bilik toilet tak berani menuntaskan hajat.Aku sungguh tidak tenang, lama berdiam diri duduk diatas ranjang dengan pikiran tak menentu arah. Segera mengamati tangan, terlihat ruam halus yang bermunculan dikulitku.Hella ... apa mungkin dia yang menyebabkan ini semua? Aku sudah lama tak menyentuh Diana. Tidak salah lagi, pasti Hella biang dari masalah ini. Aku harus meminta penjelasan darinya."Kenapa, Mas? Kok lemas sih?" Diana mengamati wajahku."Mm ... kura
"Jawab!!" nafasku memburu, membuat wajah cantik yang sangat aku gilai itu semakin menegang.Hella bangkit dari sisiku, berjalan memutari meja."Ka-mu bicara apa sih, Mas? Kamu pikir aku ini perempuan macam apa, Hah!" sentak Hella dengan nafas tak teratur.Sepertinya dia tidak terima dengan kata-kataku."Kamu hanya terlalu lelah, Mas. Kenapa? Apa Diana bicara yang tidak-tidak padamu, hingga kau semarah ini padaku?" ucap Hella dengan mimik memelas."Ayolah ... perempuan itu tidak sepenuhnya rela kamu menjadi suamiku. Dia pasti sudah mencekokkimu, dengan kata-kata mengujar kebencian!" sambungnya dengan wajah mengeras. Aku terkekeh geli, menatapnya tak percaya."Diana pasti sudah memfitnahku!" Hella menatap lekat, meyakiniku.Bisa-bisanya disaat kemarahanku tersulut begini, dia menyeret Diana untuk menutupi kesalahannya.Aku bangkit dari duduk, berjalan mendekatinya. Kini pandangan kami beradu tatap, namun Hella segera memalingkan wajah."Dengar ..." aku meraih wajahnya dengan satu tangan
"Dasar perempuan pembawa sial!" umpatnya begitu bengis lalu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan kearahku dengan wajah merah padam dan sorot mata penuh amarah.Mau apa dia?Alisku menaut kencang, langkah kakinya semakin cepat mendekatiku.Hella melayangkan tangan kearahku, dengan tangkas aku menghindar sehingga yang dia pukul hanya udara membuat tubuhnya sedikit oleng."Huh ..." matanya semakin membesar, kemarahan semakin memuncak saat targetnya tak mengenai sasaran. Hella membalik badan dan meraih tanganku. Tak sempat menghindar, kuku itu mengenai lengan ini menyisakan goresan yang cukup panjang."Aduh ...."Perih dan panas membakar kulit, membuat emosiku kini tersulut dibuatnya."Apa-apan kamu sundaal!" ucapku menahan geram. Otakku begitu mendidih, melihatnya tersenyum sinis kearahku."Jangan belaga sok suci kamu! Kau yang menjebakku kan? Kau yang menyekapku, hingga para bajing itu menodaiku!" sembur Hella dengan mata merah melotot tajam.Aku terkekeh geli menanggapinya, memba
"He--lla, dia yang su--dah menusukku," jelas Mas Mahesa. Membuat aku dan Mamah saling berpandangan."Maksud kamu apa, Mas?" tanyaku antusias."Hella, di-a marah dan menusuk perutku," jelas Mas Mahesa dengan nafas terengah-enagah.Mamah mendengkus, menatap tak percaya."Belum sebulan kalian menikah, dia sudah mau membunuhmu?" cecar Mamah tak habis pikir. "Ini Mahes ... perempuan yang membuatmu berpaling dari anak dan istri? Kelakuannya begitu kasar, tak lebih baik dari preman pasar!" gerutu Mamah, sangat kesal.Aku sendiri cukup terkejut mendengarnya, tidak menyangka perempuan itu bisa berbuat anarkis terhadap mangsanya sendiri.Entah aku harus tertawa atau bersedih mendengar pengakuannya.Namun jujur saja, hati menertawakan keadaannya saat ini.Gimana, Masqu?Kapokkkk!"Gila! Benar-benar tidak waras dia." sembur Mamah dengan nafas terengah-engah."Belum apa-apa, karma sudah datang menghampirimu, Mahes." cibir Mamah. Mas Mahesa yang mendengar hanya meringis, entah menahan sakit dibagia
"Dia penyebabnya, Mah. Dia berselingkuh dan menularkan penyakit HIV pada Mas Mahesa!" jerit Hella sambil menuding kearahku.Mamah langsung menoleh ke belakang, menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan."Diana, benarkah itu?" tanya Mamah sedikit ragu, namun sorot matanya meminta penjelasan."Penyakit HIV?" ucapku antusias. "Jadi suamiku terkena penyakit mematikan itu?" Aku melangkah mendekati Hella. Benar-benar terkejut dengan pengakuannya."I-ya ... kau perempuan hina yang berlaga sok Suci. Kau marah melihat Mas Mahesa selingkuh dan kini kau ingin membalasnya!" ucapnya tegas, meski wajahnya berubah menjadi pias saat aku sudah ada dihadapannya."Argh!!" Hella merintih, tanganku dengan cepat mencengkram rambut kepalanya hingga kepala dia mendongkak menatap kearahku.Sungguh aku geram sekali dengan gundik, jahanam ini!Sudah lama, aku ingin mencekiknya dengan tanganku sendiri."Kau tahu! Selama tiga bulan belakangan ini, aku bahkan tidak sudi bersentuhan dengan, Mas Mahesa." ucapk
"Hhhpppp ..." Mas Mahesa terus berontak, membuat aku mengerahkan seluruh tenaga untuk menindih wajahnya dibalik bantal.Maafkan aku, Mas ....Ranjang bergetar hebat, air mataku mengalir begitu saja. Tubuhku menggigil, seirama dengan gerakan Mas Mahesa yang perlahan melemah."Hei mau apa kamu!!" jantung seakan keluar dari tempatnya, suara teriakan seseorang membuat tubuhku membeku ditempat."Sus ... tangkap perempuan itu," titah suara berat seorang laki-laki. Aku langsung berbalik badan, mendorong kuat suster dan Dokter yang berusaha menangkapku."Argh!" Suster memekik kesakitan saat aku menarik tangan dan mendorong tubuhnya keranjang, Mas Mahesa. Dia tersungkur diatas lantai, membuat langkahku luas mencapai pintu."Mau kemana kamu?" Dokter mencekal tanganku. Aku yang panik langsung menendang keras bagian sensitifnya, membuat Dokter muda itu menjerit melepas cekalan tangannya."Ada apa ini?" tubuhku menegang, Mamah Hana sudah berdiri didepan pintu berhadapan denganku dengan wajah kebin
"Ma--af," lirihnya terdengar pilu. "Mas banyak dosa padamu dan anak-anak. Hukuman ini, rasanya belum sepadan dengan segala luka yang aku torehkan dihatimu," ucapnya dengan bibir bergetar dan lelehan air mata.Aku hanya mengangguk, menikmati segala tangis penyesalannya."Tolong maafkan, aku Mih," Mas Mahesa terisak pilu. Menatapku nanar, aku hanya bergeming meraba hati yang terasa mati.Lihatlah, Mas ... kau benar-benar menyedihkan. Sudut hati ini menertawakan penderitaannya.Perlahan tangan itu menarik lembut tangan ini, membawanya ke dalam dada bindang yang dulu selalu membuatku merasa nyaman.Ya itu dulu, sebelum kamu merusak segalanya Mas!"Maafin, Papih ya ..." lirihnya sambil mengeratkan pelukan. Aku hanya bernafas panjang, tak menjawab ucapannya.Hambar ... hanya itu yang kini ada didalam hatiku.Benarkah cintaku telah memudar?Bukankah aku pernah memberinya kesempatan, dengan kembali pulang kerumah. Tapi ternyata ... Mas Mahesa belum merasa puas. Dia masih tetap dengan keingina