Bibirku terangkat sebelah, mataku menatap penuh amarah pada punggung belakang perempuan liar itu.Nikmati kejutan kecil dariku, Hella. Semoga kali ini kau jera dan menjauh dari kehidupanku.Kaki terayun masuk kedalam ruangan, Mas Mahesa cukup terkejut melihat kedatanganku."Sibuk?" tanyaku."Ehm ... ya begitulah," jawabnya gugup. Seperti ada yang dia sembunyikan."Hella.. aku kira, dia terlalu sering masuk ke dalam ruanganmu." sindirku sambil menyilangkan kaki diatas sofa."Dia itu asistenku. Wajar jika sering masuk kesini," Mas Mahesa terlihat tidak suka dengan ucapanku."Begitukah?" suamiku mengangguk tak acuh."Apa tidak ada staf yang layak menjadi asistenmu selain, Hella? Aku rasa dia bukan perempuan dengan otak pintar," ucapku tenang, namun nada suaraku terdengar meremehkan."Kamu tidak tahu apa-apa. Menurut aku dia cukup baik pekerjaannya," tukas Mas Mahesa. Aku tersenyum tipis mendengarnya, lalu mengamatinya dengan lekat.Terus saja membela gundikmu, Mas ....Mas Mahesa kembali
Kutatap mata menyedihkan itu, berpura prihatin dengan segala cibiran yang terlontar dari rekannya sendiri.Sementara Mas Mahesa, dia membeku ditempat. Menatap layar tanpa berkedip sedikitpun."Tidak ... ini salah faham!" teriaknya nanar, meratap pada suamiku.Hella segera bangkit dari duduknya, dengan cepat dia mencabut sambungan kabel pada alat proyektor. Gambarpun menghilang seketika.Mas Mahesa menatap datar, wajahnya pias. Tersandar dikursinya."Gila ... itu lo kan, La?" seloroh Bayu dengan alis menaut."Bukan ... bukan gue!" seru, Hella."Doyan mabuk juga lo, ajak-ajak dong," sela Kevin dengan tatapan genit."Cih ... murahan banget, mabuk satu perempuan di kamar hotel. Cowoknya ga kehitung," cibir Vani.Ya ... video itu berisikan, Hella yang sedang tercekoki minuman keras, sambil dikelilingi laki-laki yang entah berapa jumlahnya. Aku pun sedikit ngilu melihatnya, takki sangka orang suruhanku bisa bekerja sekeras itu."Apa ada video lain?" kekeh Kevin dengan wajah mesum."Kayanya
"Ada apa Mas? Aku lihat Hella keluar sambil menangis," tanyaku sambil berjalan mendekatinya."He--lla?" Mas Mahesa nampak gugup. Aku mengangguk samar, menikmati expresi salah tingkahnya."Ya ... Hella," gumamnya dengan wajah berfikir. "Tadi dia datang, untuk menjelaskan bahwa itu tidak benar," sahut suamiku kemudian."Untuk apa dia repot-repot menjelaskan padamu?" pancingku."Di-a dia takut dipecat. Ya dia takut aku memecatnya ..." jelasnya sambil meringis tak jelas."Ck ... jelas-jelas itu wajahnya. Mau jelasin apa lagi," cibirku."Sehari-hari kau bersamanya. Pasti hapal luar dalamnya bukan?""Maksud, Mamih?" Alis tebal itu menaut."Yah ... maksudku, kau pasti tahu dia seperti apa. Kaliankan selalu bersama kalau kerja," sahutku.Mas Mahesa tersenyum kecut, lalu menyeka kening yang nampak berkeringat. Padahal ruangan ini cukup sejuk, sepertinya hati Mas Mahesa tengah terbakar. Membuat suhu badannya ikut memanas.Aish ... andai kamu tahu, hatiku lebih panas Mas."Perempuan seperti dia.
Pengkhiantan memang sangat menyakitkan, tidak semua orang bisa menerima kepedihan. Aku harap, aku bisa kuat menghadapi semua masalah pelik ini. Demi anak-anak dan juga pernikahan yang sudah ternoda ini, aku akan berjuang sekuat tenaga.Kutinggalkan Mas Mahesa dengan segala kegundahannya, kaki jenjangku melangkah menuju parkiran. Menjatuhkan tubuh dikursi pengemudi, memejamkan mata dengan segala beban yang begitu berat dikedua pundak.Mendongkakkan wajah, mataku nanar menatap jalan. Bayangan kebersamaan dengan Mas Mahesa dari masih pacaran hingga menikah, terbayang diingatan. Begitu manis. Kehidupan kami benar-benar bahagia, tanpa orang ketiga.Kuhempas nafas secara kasar, mengurut kening dengan urat-urat yang terasa menegang. Perselingkuhan ini, sungguh menyiksa batinku. Aku tak tahu, seberapa kuat aku akan bertahan.Dengan lemas aku memutar kunci mobil, melajukan kendaraan menuju tempat Deolina sekolah. Hatiku benar-benar kosong, mungkin saat mata ini melihat buah hati akan kembali b
Pov Hella.Menjadi wanita cantik memang menguntungkan, semua mata laki-laki selalu mengikuti setiap gerakkanku. Tubuh tinggi dengan bagian padat di daerah tertentu, menambah daya pesonaku. Siapapun, jika aku sudah berkehendak, dia pasti bertekuk lutut dikakiku.Tentu ... targetku adalah laki-laki berdompet tebal, bagiku tampan saja tidak cukup, yang aku butuhkan adalah limpahan materi. Tak peduli, dia sudah bau tanah sekalipun, jika dia bisa memenuhi segala keinginanku. Maka dengan senang hati aku akan selalu ada disisinya untuk menyenangkan segala yang mereka butuhkan.Hidup itu harus realistis, aku tidak munafik. Menjadi diri sendiri adalah pilihanku dan seperti inilah hidupku. Sejak dulu aku sudah terbiasa merasakan sakit, malu dan dihina bertubi-tubi. Bagiku hidup adalah perjuangan, semua pasti ada konsekuensinya. Aku sama sekali tidak mempermasalahkannya.Hidup berasal dari keluarga miskin, sangatlah susah. Jangankan untuk beli baju baru, untuk makan saja aku harus berebut dengan
"Silahkan, Pak." ucapku seraya menaruh minuman kaleng dan dua potong brownis diatas meja."Kamu tinggal disini, sendiri?" tanya Pak Mahesa sambil mengamati apartement milikku."Iya ..." jawabku sambil menjatuhkan tubuh di atas sofa tepat di depannya."Sudah lama?""Lumayan, tapi sebentar lagi saya pindah dari sini." sahutku."Kenapa?" alis itu nampak menaut."Saya tidak bekerja, jadi tak ada uang untuk bayar sewa." jawabku. Pak Mahesa menatap sekilas, lalu mengalihkan pandangan."Kenapa tidak balik kerja di kantor lagi, dari pada disini tidak ada kerjaan," ucapnya."Untuk apa kembali kekantor? Untuk melihat kemesraan, Bapak bersama istri? Aah ... menyakitkan," desahku sambil menyenderkan tubuh. Wajah aku buat sesedih mungkin, demi manarik simpatinya."Kamu tak suka dengan istri saya?" tanyanya. Aku hanya tersenyum kecut menanggapinya.Tentu aku tidak suka, istrimu menghalangi langkahku!"Ada perlu apa repot-repot mampir kesini?" ucapku sambil mengambil toples cemilan di bawah meja, la
"Jangan galak-galak dong cantik, mari kita bersenang-senang dulu ..." ucapnya dengan tatapan mesum sambil menyorot bagian sensitifku.Aku tersentak kaget, saat tangan kasar salah satu dari mereka meraih dagu ini.Refleks aku menghindar, lalu mundur beberapa langkah."Cantik ..." kekehnya sambil melempar pandang pada teman penjahatnya."Dia benar-benar cantik. Menang banyak kita." bisik manusia berwajah seram itu. Tatapan mereka begitu aneh, keduanya bahkan mengecap bibir sendiri."Dari jauh sudah wangi ... gimana dalamnya." sambungnya dengan senyum menyerigai.Laki-laki berambut plontos itu terkekeh, lalu berjalan mendekatiku."Pergi!!" teriakku sambil terus memundurkan langkah."Pergi kemana? Enak disini temani kamu. Haha ...."Tatapan mereka semakin liar, gelak tawa keduanya memenuhi ruang sempit ini."Mereka bilang kamu ahlinya memuaskan laki-laki," ucap laki-laki dengan brewok yang memenuhi rahannya."Aku jadi penasaran," kekeh si rambut plontos.Jantungku semakin berdetak tak kar
"Cepat bantu aku," ucap seseorang. Kemudian tubuhku terangkat dengan pelan dan hati-hati.***OfdMata terbuka pelan, kepala langsung berdenyut sakit saat kesadaran mulai kembali. Samar terdengar suara orang bicara diluar kamar yang aku singgahi ini. Aku langsung memijat pelipis, sambil meringis menahan sakit.Agrh ....Kandung kemihku terasa penuh, dengan susah payah aku beringsut menuruni tangga. Suara orang berbincang semakin jelas, perlahan aku membuka pintu."Permisi ..." ucapku kikuk saat sudah keluar. Ada tiga laki-laki remaja, dan satu perempuan tua. Berkumpul diruangan."Eh ... sudah bangun?" Perempuan tua itu menatap hangat lalu berjalan kearahku. Semua mata kini tertuju padaku."Mau kemana?" tanyanya."Mau pipis, Buk." jawabku."Ayo, Ibu antar ..," ajaknya lalu berjalan mendahuluiku. Remaja yang berkumpul menatap kasihan kearahku, tersenyum tipis saat melihat aku menganggukkan kepala pada mereka."Maaf ya ... rumahnya pabalatak," ucapnya ramah. "Silahkan ..." sambungnya samb