Share

Tak Dapat Restu

Kicau burung di pagi hari seharusnya menjadi penanda kebahagiaan bagi Camelia. Namun, wanita itu resah. Sudah dua minggu Dika tidak mengunjunginya.

Beberapa kali ia mencoba menelepon tapi suaminya selalu menjawab sedang sibuk, kalau tidak kuliah maka pekerjaan yang menjadi alasan. Amel sangat merindukan suaminya, walau bagaimanapun juga ia merupakan wanita normal yang telah disentuh sebagai seorang istri.

“Aku tidak seperti ibuku. Aku menikah dengan baik-baik dan memiliki suami secara sah. Aku tidak merebut milik orang juga tidak menjadi wanita kedua. Dika menikahiku ketika masih lajang. Tapi kenapa sulit sekali untuk memilikinya utuh-utuh.” Amel memandang langit yang kebiruan, hari itu musim kemarau, sinar mentari di jam delapan saja sudah seperti jam dua belas siang.

“Baik, mungkin alasannya memang karena bekerja. Tapi jangan lupakan kalau aku sudah kamu nikahi. Atau aku akan datang ke rumah orang tuamu dan menunjukkan bukti kalau kita sudah menikah,” gumam wanita itu sendirian.

Amel masih bersabar, dua minggu menanti telah berubah menjadi satu bulan. Malam itu ia duduk di teras rumahnya. Setiap malam ia masak sedikit lebih banyak takutnya Dika tiba-tiba mengetuk pintu rumah dan menginap bersamanya.

Dalam hati Amel merasa ia seperti wanita simpanan saja. Tak jauh dari kontrakannya tinggal ada satu kos-kosan yang isinya perempuan cantik dan seksi. Mereka mendapatkan uang untuk menyambung hidup sebagai simpanan om-om kaya.

Angin semakin berembus, musim kemarau nampaknya akan berganti menjadi musim hujan. Amel pun masuk karena tak tahan dengan dingin embusan yang terasa menusuk tulangnya. Perlahan-lahan matanya mulai terpejam dan pada saat itulah pintu rumahnyanya diketuk beberapa kali.

Lekas wanita dengan lesung pipi itu mengintip dari tirai jendela. Benar saja, suami yang ia rindukan datang padanya.

Amel membuka pintu dengan penuh semangat. Dika belum masuk ke rumah dan sudah ia peluk tanpa rasa malu sama sekali, untung saja komplek itu sedang sepi karena akan turun hujan. Anak lelaki manja itu menyerahkan beberapa buah tangan untuk istrinya. Kemudian Dika masukkan motor besarnya ke teras rumah agar tak terkena guyuran air.

“Kangen kamu, Bang.” Amel bergelayut manja di lengan suaminya.

Begitu juga dengan Dika yang merindukan segala sesuatu tentang istrinya, mulai dari makanan termasuk pelayanan di atas ranjang.

“Maaf, Abang lama pulang. Hari ini gaji pertama yang Abang terima. Ini semua untuk kamu.” Dika memberikan sebuah amplop cokelat pada istrinya.

Semringah wanita itu menerimanya. Beberapa lembar uang seribu, lima ribu juga sepuluh ribu. Tidak semua diserahkan, sebagian telah Dika sisihkan, kata orang tuanya lelaki itu disuruh untuk memulai pendekatan pada Sinta. Ciuman di pipi kiri juga kanan ia dapatkan sebagai hadiah. Camelia menyambutnya pulang dengan penuh pelayanan dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Malam semakin dingin ketika hujan lebat terus saja turun, sebagai penanda masuknya musim hujan. Dua insan yang saling merindu itu tentu saja melepas rasa cinta dalam selimut yang sama pula.

Cukup lama lelaki rupawan itu mengambil libur, tiga hari karena alasan ada kumpul-kumpul dengan temannya. Tiga hari yang cukup untuk melepaskan segala gelora pada diri Camelia.

“Bang, gimana kedua orang tua Abang. Apa udah ada tanda-tanda mau terima aku sebagai istri kamu?” tanya Amel ketika liburan Dika telah selesai.

“Belum. Abang lagi sibuk kerja. Masih banyak urusan, belum sempat bicara. Nanti Abang cari waktu, ya. Kamu tenang aja, Abang tidak akan meninggalkan kamu. Kamu istri Abang, tanggung jawab dunia sampai akhirat.” Begitulah lelaki itu melontarkan rayuannya, seolah-olah tak akan ada yang bisa memisahkan mereka berdua.

Amel memeluk suaminya, lelaki itu sebentar lagi akan pergi. Lalu ponsel nokianya berdering, panggilan masuk dari sang ibu.

Dika menjauh agar obrolan itu tak terdengar oleh Amel. Perintah dari seberang sana sangat jelas, kalau Bu Inah meminta Dika lekas pulang dan menyempatkan diri membeli beberapa buah tangan untuk kedua orang tua Sinta. Akan ada pertemuan kecil-kecilan untuk mempertemukan dua orang anak pengusaha itu. Dika hanya mengangguk saja.

Dika pulang membawa bunga mawar juga bingkisan kecil-kecilan sesuai titah sang ibu. Ia masuk ke kamar tanpa berkata apa-apa lagi. Rindu dengan Camelia rasanya belum juga tuntas.

Wajar saja, sebab ia baru merasakan manisnya menjadi pengantin baru. Rasa tak ingin berpisah andai mengingat pernikahan mereka harus dirahasiakan dari kedua orang tua Dika.

Pintu kamar lelaki itu diketuk, Bu Inah berdiri di depan kamar putranya dengan tatapan sedikit curiga. Lekas saja wanita itu tanyakan apa yang mengganjal dalam hatinya.

“Kamu tidak ada hubungan apa-apa dengan Camelia, lagi, bukan? Anak haram itu tidak ada pantas-pantasnya, jangankan jadi istri kamu, jadi pacar kamu saja tidak cocok.” Bu Inah menghirup aroma parfum khas wanita dari tubuh Dika. Naluri seorang ibu sulit untuk dielakkan.

“Tidak, Ma. Dika bener-bener ke hutan sama temen, cari hiburan,” jawab lelaki itu bohong lagi.

“Ke hutan? Tapi nggak ada jejak tumbuhan sama sekali. Wangi juga seperti habis keluar dari tempat pelacuran. Mama kasih tahu sama kamu, ya, jaga nama baik keluarga. Jangan buat macam-macam. Kuliah kamu selesaikan cepat. Habis itu menikah sama Sinta. Tidak ada bantahan. Itu perintah dari Papa. Paham kamu!” tegas Bu Inah. Dika hanya mengerjapkan mata cepat saja.

“Tapi Dika belum kenal dengan Sinta, Ma.”

“Itu gampang. Malam nanti kamu bungkus rapikan semua barang-barang yang kamu beli. Kita ke rumah orang tua Sinta. Sekalian silaturahmi, ada urusan bisnis dua orang kepala keluarga. Ingat jaga sikap. Jangan sebut nama Camelia di depan keluarga calon besan kita.” Bu Inah menutup pintu kamar putranya.

Dika menarik rambutnya yang sudah mulai sedikit panjang. Sibuk antara kuliah, kerja serta mengunjungi istrinya membuat lelaki itu tak sempat mengurus dirinya sendiri. Namun, yang paling membuatnya bingung ialah perintah menikahi Sinta.

Bagaimana caranya? Apa ia harus punya dua istri? Sedangkan Camelia hanya ingin menjadi satu-satunya saja.

“Aku harus bagaimana?” Lelaki itu menghela napas panjang. Sembari menunggu malam tiba, lelaki itu pergi ke tukang cukur. Memotong rambutnya sampai rapi, jika ada Camelia di sisinya, wanita itu pasti akan senang melihat tampilan barunya.

“Rindu kamu, Mel. Padahal belum satu malam kita berpisah. Semoga restu bisa segera Abang dapatkan. Supaya kita bisa jadi keluarga kecil bahagia, punya anak dan sampai tua bersama.” Khayal lelaki manja itu. Padahal hidupnya diatur penuh oleh kedua orang tuanya.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status