“Ada apa, Nak Ajeng?” tanya Ki Joko yang berada di belakangku bersama istrinya.“I –itu, Ki. Siapa wanita yang berada di dalam air itu? Apa dia penunggu sungai ini?” tanyaku sambil menunjuk ke arah sungai.“Kemari, Nak Ajeng.” Ajak Ki Joko sambil menggandengku.Ki Joko beserta istrinya mengajakku ke sungai di mana aku melihat bayangan wanita tadi, dan aku lalu berhenti ketika kami sudah mendekati sungai.“Jangan takut, Nak Ajeng. Ayo,” ajak Ki Joko.“Tapi, Ki. Ajeng takut.”“Percayalah dengan akik, Nak Ajeng. Kami tidak akan mencelakakanmu,” tambah Ni Imah.Aku yang awalnya ragu, akhirnya berusaha untuk mempercayai mereka berdua. Karena bila mereka memang berniat mencelakaiku, hal itu pasti sudah mereka lakukan ketika aku terbaring tidak berdaya waktu itu.Akik dan ninik lalu menuntunku hingga kami tiba di tepi sungai, dan akik lalu memintaku untuk menatap sungai itu dan memperhatikan baik-baik siapa yang sebenarnya yang ada di sungai itu.“Itu, Ki. Wanita itu siapa? Apa dia penunggu
“Cempaka, cepat ke sini! Bawa sekalian makanan yang ada di depanmu itu!” teriak Bu Darmi.“Baik, Bu.” Teriakku tak kalah kencangnya.Aku yang baru saja selesai menyusun makanan yang diminta Bu Darmi segera membawa makanan itu ke depan. Hiruk pikuk suara pembeli dan warga yang sedang menyantap makan siang mereka menambah ramai warung Bu Darmi.Berbagai makanan dan minuman yang menggugah selera, semua tersedia di warung ini. Mulai dari nasi pecel, nasi rames, nasi ayam bakar dan masih banyak lagi, dan warung ini hanya buka sampai selesai makan siang saja. Karena bila sudah lebih dari jam makan siang semua hidangan yang disiapkan warung ini pasti akan habis.“Cempaka, cepat antar makanan ini ke meja itu,” perintah Bu Darmi sambil memberiku dua piring makanan yang sudah dipesan pelanggan.Dengan langkah hati-hati aku membawa makanan itu. Karena banyak sekali orang yang sedang mengantri untuk mendapatkan makan siang mereka di warung Bu Darmi ini.“Ini makan siang anda, Pak.” ucapku sambil
Pria tua itu masih saja menatapku dengan tatapan penuh harap, dan aku yang masih ragu memberitahu di mana Ajeng saat ini hanya bisa membeku tanpa bisa meneruskan kata-kataku lagi.“Kenapa diam, Nak Cempaka? Apa Nak Cempaka takut saya akan melukai Nak Ajeng?” tanya pak tua.“Bukan begitu, Pak. Saya hanya … maaf, Pak. Memangnya ada apa bapak mencari Ajeng?”Kali ini pria tua itu terlihat gelagaban ketika aku bertanya tentang tujuan dia mencari Ajeng, dan itu membuatku curiga.“Kenapa tidak bapak jawab? Apa bapak memang berniat mencari Ajeng untuk tidak menyakitinya?”“Bukan bapak tidak mau menjawab pertanyaan Nak Cempaka, tapi bapak tidak bisa menjelaskan di sini,” jawab pria tua itu.“Apa maksud bapak?” tanyaku penasaran.Tapi belum juga pria tua itu menjawab apa yang aku tanyakan, tiba-tiba Mbak Siti memanggilku dan menghampiri kami.“Siapa bapak ini, Cempaka?” tanya Mbak Siti sambil menatapku.“Hmmm, dia—,” ucapku binggung harus menjawab apa. Karena aku sendiri tak tahu siapa pria tu
Pak Dirga menghentikan langkahnya ketika aku aku bertanya kepadanya, dan pria tua itu lalu berbalik menatapku.“Ikut saja dengan saya, Nak Cempaka,” jawab Pak Dirga.“Saya tidak akan ikut dengan anda, Pak Dirga. Kalau bapak ingin berbicara dengan saya, kita bicara di sini saja,” tolakku.Pak Dirga hanya diam dan menatapku setelah aku mengatakan hal itu. Bahkan bergerak dari tempatnya saja tidak, dan itu membuatku semakin takut.Ketika pria tua itu baru saja akan memasuki hutan itu pikiranku sudah tidak enak, dan aku takut kejadian akan di masa lalu akan terjadi lagi. Lagi pula aku juga tidak bisa langsung percaya dan ikut dengan pria tua itu.Kami berdua diam di tempat kami masing-masing tanpa ada yang berbicara, dan tak lama pria itu kemudian melangkah mendekatiku. Tapi karena aku merasa takut, aku lalu melangkah mundur untuk menjaga jarak dengan pria tua itu.“Ada apa denganmu, Nak. Bapak tidak akan menyakitimu. Bukankah tadi kamu meminta bapak untuk berbicara denganmu di sini saja,
Aku yang terkejut dengan apa yang baru saja aku lihat hanya bisa membeku dan bersembunyi di balik pohon. Karena kecurigaan dan ketakutanku selama ini akhirnya menjadi nyata.Untung saja di sekitar pemakaman desa ini ada beberapa pohon besar. Sehingga aku bisa bersembuyi sambil mengintip apa yang terjadi.Awalnya ketika aku baru saja pergi dan bersembuyi di balik pohon sambil mengawasi Pak Dirga semua baik-baik saja. Tapi lama kelamaan aku melihat sesuatu yang aneh ketika pria tua itu menoleh ke sekitar seperti mencari sesuatu.“Nak Cempaka, Nak Cempaka,” panggil Pak Dirga sambil menoleh sekitar seperti mencariku, “Kmau di mana Nak Cempaka?” lanjutnya.Karena tidak mendapat jawaban dariku, pria tua itu kemudian kembali menatap makam Ajeng, dan pemandangan tak terduga tiba-tiba terjadi.Kaki Pak Dirga yang awalnya sama seperti kakiku, tiba-tiba hilang dan berubah menjadi ekor ular. Sedangkan badannya tetap sama seperti sebelumnya, dan itu membuatku merasa ngeri dan juga takut.Karena ak
Orang yang sedang mencariku itu sekarang sedang dikerumuni oleh beberapa wanita yang ada di warung ini. Bahkan sekarang untuk melihat wajahnya secara jelas saja aku hampir tidak bisa, tapi aku masih ingat sekali bagaimana wajah dan bentuk tubuh dari orang itu.“Cempaka, ada apa denganmu? Apa kamu kenal dengan pria itu?” tanya Mbak Siti menyadarkanku.“Tidak, Mbak. Aku tidak mengenalnya,” jawabku berbohong tanpa memandang Mbak Siti dan masih menatap pria yang duduk di ujung warung ini.“Benarkah kamu tidak mengenalnya, Cempaka? Kalau kamu tidak mengenalnya, mengapa dia bisa tahu kamu bekerja di sini?”Pertanyaan Mbak Siti membuatku menoleh ke arahnya, dan aku lalu mengatakan kepadanya bahwa aku benar-benar tidak tahu siapa dia, dan mungkin saja dia hanya pelanggan di warung Bu Darmi ini dan dia mengenalku dari warung ini.“Apa kamu yakin dia pelanggan kita, Cempaka? Karena sepertinya baru kali ini mbak melihat pria itu datang ke sini.”“I –Iya, Mbak. Dia pelanggan kita dan dia juga per
Aryo hanya tersenyum begitu aku melontarkan pertanyaan itu, dan dia lalu duduk di salah satu pohon patah yang ada di hutan di mana kami berada saat ini.“Duduklah di sini, Ajeng. Aku akan menceritakan semuanya,” jawab Aryo.Ada rasa enggan ketika aku akan duduk di samping Aryo. Jadi aku memilih untuk tetap berdiri dan mendengarkan cerita Aryo tentang bagaimana dia tahu bahwa aku adalah Ajeng.Ternyata pria itu tahu karena dia mengintip selama aku melakukan ritual bersama akik dan ninik, dan itu juga tanpa sepengetahuan akik dan ninik.Bahkan ketika aku pergi dan sudah mengganti identitasku dan wajahku, dia juga tahu dan masih mengikutiku hingga aku keluar dari desa hutan terlarang.Namun karena tugasnya sebagai pangeran tidak bisa dia tinggalkan dan abaikan, dia tidak bisa mengikutiku lagi. Tapi dia lalu meminta anak buahnya untuk mengikutiku hingga saat ini, dan dari anak buahnya itulah dia tahu di mana aku berada saat ini dan apa yang terjadi padaku.“Tunggu dulu, Aryo. Apa maksudmu
“Makam? Makam apa yang kamu maksud, Aryo?” jawabku berpura-pura tidak mengerti.“Tidak usah berpura-pura, Cempaka. Kamu tahu apa yang aku maksud. Jadi jangan berpura-pura lagi dan jelaskan kepadaku itu makam siapa,” ucap Aryo sambil mendekaatkan wajahnya dan menatapku dengan tatapan yang serius.Aku yang masih tidak tahu harus menjawab apa pada Aryo hanya diam membeku menatapnya kembali, dan kedua mata kami saat ini saling menatap satu sama lain seperti mencari jawaban dari pertanyaan kami masing-masing.Apakah aku harus menceritakan yang sebenarnya kepada Aryo, ataukah aku harus mengarang cerita tentang makam Ajeng itu seperti yang aku lakukan pada Pak Dirga?Pikiranku benar-benar kacau dan aku tidak tahu harus mempercayai Aryo atau tidak. Karena di dalam hatiku aku juga takut yang berdiri di hadapanku saat ini bukanlah Aryo yang asli, tapi orang suruhan Pangeran Dayu yang menyamar menjadi Aryo.Tapi cara bicara dan perilaku Aryo saat ini sama seperti Aryo yang aku kenal sebelumnya.