PERNIKAHAN KEDUA 34Rani menarik tangannya dari cekalan tanganku dengan membabi buta. Dia panik luar biasa, padahal aku hanya main-main. Rasanya aku ingin tertawa melihatnya. Aku memang sengaja, supaya dia tahu bahwa dia tak seharusnya main-main denganku. Dan ketika cekalannya kulepaskan, Rani langsung berlari naik tangga sambil menyumpah-nyumpah. "Astaga, anakmu Sarah. Mama rasa dia sudah gila!" Seru Eyang sambil menekap dada.Aku tersenyum kalem."Belum Eyang. Tapi kalau ada yang coba-coba menyakitiku, Ibu dan Kiara, aku bisa benar-benar menggila."Eyang melotot. Dia lalu berjalan ke depan dan berseru-seru memanggil sopirnya. Ibu menggeleng-gelengkan kepala memandangku, lalu bergegas mengikuti Eyang. Masih kudengar suara Ibu meminta maaf dan suara Eyang mengomel panjang pendek. "Maafkan Keysha Ma.""Didik anakmu Sarah. Bisa-bisa aku kena serangan jantung kalau dia masih begitu.""Iya, Ma."Aku tertawa kecil, kuletakkan pisau buah itu kembali ke dapur, lalu naik ke lantai atas, men
PERNIKAHAN KEDUA 35Rani memandangku dengan tampang curiga, lalu tak lama dia mendesah."Rasanya nggak mungkin.""Kenapa nggak mungkin?" Aku mengerutkan kening menatapnya. Dia balas menatapku."Papa sangat mencintai Ibumu, bahkan saat Mamaku masih ada, nyaris semua sumber pertengkaran adalah karena Papa tak pernah melupakan Ibumu."Aku terdiam, sebuah fakta yang baru kudengar. Kupikir ini hanya tentang balas dendam. Rani tertawa getir."Karena itulah aku membenci Ibumu dan ingin membuatnya tak bahagia seperti apa yang dirasakan Mama sampai dia meninggal dunia."Kali ini aku semakin kehilangan kata-kata. Ternyata bukan hanya aku yang menjadi korban masa lalu mereka. Masa lalu yang tak mau pergi."Wajar nggak kalau aku benci Ibumu?" Rani tertawa, tapi dapat kulihat matanya menyorot sedih."Apa Papamu nggak sayang sama Mamamu?""Papa sayang sama Mama, tapi setiap kali Mama melakukan kesalahan, Papa akan selalu bilang : Sarah nggak begini… nggak begitu… meski dengan suara pelan. Mamaku or
PERNIKAHAN KEDUA 36"RANI!"Bentakan Om Reyhan yang menggelegar membuat Rani nyaris melompat. Dia langsung bersembunyi di belakang tubuh Ibu. Sementara Om Reyhan berpaling dengan murka ke arahku."Suruh tamumu pergi dan bawa kembali semua ini!"Aku memandang Ibu. Pada saat seperti ini, ingin sekali rasanya aku melihat Ibu mengeluarkan suara untuk membelaku, bukan hanya diam. Bang Zaid mungkin tak menyangka semua ini akan terjadi. Pastilah dia hanya berpikir bagaimana cara membantuku. Aku menoleh pada Mbak Riri dan Mbok Imas."Mbak Riri dan Mbok Imas, pulanglah dulu, saya nanti akan bicara pada Bang Zaid."Mbak Riri mengangguk tanpa membantah. Mereka lalu berjalan menuju mobil tanpa menoleh lagi."Hey! Bawa ini semua!"Seperti kesetanan, Om Reyhan melempar paper bag itu ke halaman. Astaga, dia benar-benar tipe orang yang tak bisa menghargai maksud baik orang lain."Maaf, Pak. Saya hanya menyampaikan perintah Bos saya. Dan benda yang telah dia berikan, dilarang untuk dibawa lagi. Kata B
PERNIKAHAN KEDUA 37Aku spontan tertawa membaca chat dari Rania, dan tiba-tiba saja merasa kalau aku punya adik remaja, adik selain Kiara. Lalu aku mengingat-ingat, berapa usia Rania? Lima belas atau enam belas tahun? Ah, dia masih anak-anak. Mengingat ceritanya tentang almarhum Mamanya, aku jadi menduga, mungkin saja dia selama ini mendapat didikan yang baik dari Mama yang sangat dia cintai. Lalu setelah dia ditinggal pergi, tiba-tiba saja Papanya menikahi Ibuku. Sikap judesnya, bisa jadi adalah caranya untuk protes.Mobil Bang Zaid datang tak lama kemudian. Di hari-hari biasa, Bang Zaid hanya memakai mobil Innova reborn, tapi bagiku itu sudah cukup mewah karena selama ini, Ayah mengajariku berhemat demi bisa menabung untuk kuliah. Mobil kami adalah mobil Avanza keluaran tahun lama, yang itupun dipakai sesekali saja. Dan itu pula yang membuat Eyang mencibir setiap kali kami datang. "Katanya suamimu kepala cabang perusahaan, mobil jelek seperti itu, bikin malu saja."Ah, Ayah hanya k
PERNIKAHAN KEDUA 38"Mas, tidak bisakah ditunda? Nanti malam Key tunangan. Ini moment penting untuknya."Samar aku mendengar suara Ibu. Subuh masih sangat muda, dari kejauhan suara adzan sedang dikumandangkan. Aku keluar kamar hendak mengambil minum ketika tanpa sengaja mendengar suara Ibu dari celah kamar yang terbuka sedikit."Justru karena dia mau tunangan, aku tak mau hadir.""Ya Allah, Mas. Sampai kapan kebencianmu pada anak-anakku usai?"Suara Ibu bergetar. Aku menggigit bibir mendengarnya, sedih dan juga geram. Entah terbuat dari apa hati lelaki ini sehingga begitu bebal dan tinggi hati. Dia pikir aku dan Ara lahir dari batu kah?"Sampai mati!"Astaga.Aku nyaris saja menginterupsi perdebatan itu kalau tak ingat bahwa itu akan makin mempersulit keadaan Ibu."Sudahlah, kubilang sabar. Saat ini aku masih terus teringat wajah Arman dan bagaimana kamu mengkhianati aku."Suara Om Reyhan melunak. Lalu tak terdengar apa-apa lagi. Aku melipir naik lagi ke atas dan menutup pintu kamar d
PERNIKAHAN KEDUA 39PoV OM REYHANEmpat jam sebelumnya.Dari balik jendela kamar hotel, Aku memandang Jembatan Ampera yang tampak indah di sore hari. Banyak orang lalu lalang, wisatawan lokal maupun mancanegara yang menanti sunset di sungai Musi. Aku berencana mengajak Sarah wisata kuliner lalu belanja. Kami mungkin akan menghabiskan malam yang romantis disini. Sesuatu yang kuimpikan bertahun-tahun lamanya. Disini, akan kulakukan apa saja agar dia bisa melupakan bahwa nanti malam seharusnya dia ada disana, mendampingi Keysha menerima cincin pertunangan dari Zaid.Pintu kamar mandi terbuka, istriku keluar dari sana dengan wajah basah setelah mandi. Aku memandangnya sambil tersenyum, bahagia karena akhirnya berhasil menjauhkan dia dari Keysha. Tapi, Sarah menunduk dan dia menghindari tatapanku."Ada apa?" Aku mengangkat dagunya, dan tampak matanya yang bengkak dan merah. Aku mendesah, sungguh tak suka melihatnya seperti ini."Kau masih ingat pada Keysha?"Sarah membuang muka, mengalihka
PERNIKAHAN KEDUA 40"Aku tahu bahwa ini akan terjadi."Aku terkejut, menegakkan tubuh dari posisiku yang sedang membetulkan tali sepatu. Sandal sepatu putih cantik ini memiliki tali di bagian tumit, yang menahannya agar tetap berada di tempatnya meski aku berlari sekalipun. Solnya empuk meski sedikit tebal."Apa kabar, Bu Guru."Aku tertawa kecil, menyambut uluran tangan Diaz. Dia masih memanggilku Bu Guru. Ini adalah pertemuan pertama kami sejak pernyataan cintanya waktu itu. Dia pergi tanpa pamit dan tahu-tahu muncul menghadiri pertunanganku."Kau pergi tanpa pamit.""Aku nggak mau membuatmu ragu dan menangis.""Kenapa memangnya aku harus ragu dan menangis?""Karena aku terlalu ganteng untuk kamu tolak."Aku refleks memukul bahunya. Ternyata dia belum berubah, masih over-pede dan bicara seenaknya."Ternyata nggak ada cewek bule secantik kamu."Aku melotot."Berhenti menggoda. Aku ini calon kakak iparmu."Diaz meringis. Tatapan matanya lekat padaku. Tamu-tamu telah pulang, tinggal ke
PERNIKAHAN KEDUA 41Aku mengerjakan ujian Nasional untuk kelulusan SMA dengan wajah pucat Ibu di pelupuk mata. Susah payah kucoba untuk berkonsentrasi, tapi kemudian aku menyerah. Kukerjakan semua seadanya saja. Setelah selesai, aku nyaris berlari ke parkiran dan ngebut ke rumah sakit. "Mas, sudah jam sebelas. Berangkatlah. Nanti Mas ketinggalan lelang tender itu."Kudengar suara Ibu yang lemah dari balik pintu. Aku terdiam, menunggu jawaban Om Reyhan."Apa gunanya aku mendapatkan kontrak itu kalau kau sakit Sarah.""Jangan begitu. Mas masih punya Rani.""Kamu dan Rani sama berartinya bagiku. Sembuh lah Sarah. Tak apa jika kau tak kuat, kita turuti saja opsi yang ditawarkan dokter untuk mengakhiri kehamilan.""Tidak, Mas. Jangan. Kita nggak boleh mendahului takdir Tuhan."Aku bersandar di pintu, mencoba meraba apa yang terjadi pada Ibu. Sepertinya kehamilan Ibu sangat bermasalah. Aku tak tahu dengan pasti karena Om Reyhan tak mau bercerita padaku.Aku ragu untuk masuk, khawatir Om Re