~Pagi menjelang.Aku kembali harus meninggalkan Belfania di tempat penitipan anak dengan berat hati, karena aku harus segera bergegas ke rumah sakit jiwa dan memeriksa kondisi dari Purnama.Jalanan lengang pagi hari ini membuatku hanya berjalan kaki saja untuk menuju rumah sakit. Hanya sekitar 10 menit berjalan kaki, aku pun telah tiba di depan gerbang dari bangunan khusus para penderita gangguan kejiwaan itu.Aku membawa langkahku dengan cepat melewati gerbang hingga tiba di halaman luas dari rumah sakit jiwa ini.Langkahku seketika terhenti ketika kaki ini baru saja menapaki halaman rumah sakit. Satu pemandangan di taman depan rumah sakit ini mengejutkan penglihatan.Mataku melebar sempurna melihatnya. Kubawa langkah kaki begitu lebar menuju taman depan di halaman ini. Entah keajaiban dari mana namun apa yang kulihat pagi ini sangatlah membuatku syok.Bagaimana tidak?Kurang lebih 2 bulan setengah aku bolak-b
Bang Elang menggeleng. "Abang mendatangi ustad bukan dukun! Bukan jampi-jampi yang Abang berikan, tetapi doa tulus dan doa ketenangan yang akan menyusup ke dasar hati Purnama," jelasnya.Demi apa pun, aku melongo mendengarnya. Betulkah seperti itu? Apa mungkin? Aku bertanya-tanya sendiri. Hal itukah memang luput dari pemikiranku? Aku terlalu sibuk mengobati Purnama dengan tindakan medis dan aku lupa, jika Purnama memang terluka batin bukan lahir.Ya Allah ... Aku sendiri sering meminta Belfa berdoa untuk kesembuhan Purnama. Tapi aku sendiri seolah melupakan ikhtiar lain yang seharusnya kulakukan."Sekali lagi Abang mohon sama kamu, Raf, berikan Abang kesempatan untuk bisa hidup bersama Purnama dan juga Belfania. Jangan kamu biarkan seumur hidup Abang, hanya dipenuhi oleh rasa sesal mendalam. Abang mohon maaf berikan Abang kesempatan itu,"ucap Bang Elang kemudian memohon hal yang sama kembali.Aku lantas menoleh menatap wajah tampannya. R
BAB 18.POV PURNAMA~Mataku terbuka seketika. Langit-langit plafon berwarna putih menyapa penglihatan ini pertama kalinya. Aku mengangkat kedua tangan, dimana terdapat kelopak mawar merah yang wanginya masih bisa kuhidu.Entah di mana ini, karena seluruh ruangan ini berwarna putih dan berukuran lebih kecil dari kamar tidur di rumahku sendiri.Hari ini, tubuhku terasa lebih ringan. Ada setitik perasaan yang membuat hati ini terasa lebih tenang, entah apa yang telah terjadi padaku, aku hanya ingat jika sebelum hari ini aku selalu diliputi rasa takut dan cemas. Rasa marah, kesal serta benci.Namun hari ini, rasa yang selalu melanda dan menguasai diriku itu seolah tidak ada lagi. Aku sendiri pun tidak mengerti apa yang sudah terjadi dan apa yang telah menimpa dalam diriku.Pintu mirip jeruji besi yang menutupi ruangan ini terdengar dibuka. Sontak aku pun menoleh. Kulihat seorang perempuan berpakaian perawat masuk bersama Rafka. Apa mungkin ini di rumah sakit? Tapi aku tidak menemukan per
~Malam perlahan merangkak. Hawa dingin mulai menyelimuti. Hanya detak jarum jam yang terdengar dalam kamar saat ini.Belfania Sudah terlelap di sampingku, matanya terpejam rapat dengan dengkuran halus yang mulai terdengar teratur. Aku perlahan bangkit dari samping Belfania, kubenahi selimut hingga menutupi sampai dadanya. Dengan hati-hati aku beringsut turun dari tempat tidur, jangan sampai menimbulkan gerakan dan membuat putri kecilku itu justru terbangun.Kubawa langkah menjauh dari tempat tidur berjalan menuju pintu kamar lalu ke luar. Seharian ini aku menghabiskan waktu berdua bersama Belfania, dia teramat merindukanku katanya. Begitu lamakah aku pergi meninggalkannya?Setelah pintu kamar tertutup. Gegas Aku berjalan menuju ruang depan mendekat pada media lukis yang ditutupi kain putih. Di mana nampak dihinggapi debu, pertanda jika rumah ini benar-benar tidak terjamah tangan manusia entah untuk berapa lama.Aku menyibak kain putih it
Aku hanya bisa menghela napas sejenak dan terdiam setelah Rafka berucap demikian. Membuat hanya keheningan yang tercipta antara aku dan RafkaTok Tok Tok!Sampai kemudian terdengar ketukan dari arah pintu depan. Aku melihat pada jam dinding di ruangan ini di mana jarum pendeknya menunjuk pada angka sembilan."Biar aku saja yang buka kamu cepat-cepat ke kamar dan temani Belfania di sana!" Rafka mencegahku yang sudah berdiri dan akan membuka pintu. Rafka bangkit dengan cepat dari sofanya.Dia melangkah lebar menuju pintu memutar kembali anak kunci lalu membuka daun pintu. Bukannya membuka lebar-lebar agar aku tahu siapa yang datang, Rafka justru cepat-cepat keluar dan menutup pintunya rapat-rapat."Siapa yang datang?" gumamku bertanya.Aku lantas membawa langkah menjauh dari media lukis. Berjalan pelan menuju jendela di samping kusen pintu, menyibak gorden hingga terlihat jika Rafka sedang berhadapan dengan seorang pria di teras sa
BAB 20POV PURNAMA."Setelah semua yang kamu lakukan? Baru malam ini kamu mendatangiku? Setelah puluhan purnama aku lalui dengan kepiluan. Setelah hanya kesakitan yang menemani hari-hariku. Baru hari ini kamu menampakkan wajahmu di depanku?" Aku bertanya datar pada lelaki yang bahkan belum kuketahui namanya."Maaf, mohon maafkan aku ...," ujarnya dengan lirih.Wajah itu penuh dengan pengharapan. Wajah itu begitu memelas. Sama seperti saat aku memelas kepercayaan Ibu dan Bapak yang tidak kudapati sebelum benar-benar terusir."Maafmu tidak dapat mengubah apa-apa," ucapku kemudian."Aku tahu. Tapi setidaknya, aku sudah mencoba meminta maaf pada kamu. Mungkin maaf ini hanya sia-sia, tapi aku sendiri tidak tahu apa yang bisa kulakukan selain meminta maaf terhadap kamu," ucapnya lagi."Sudahlah, Bang. Aku minta sekali lagi pada abang, lebih baik Abang pergi dari sini sekarang dan jangan pernah lagi menampakkan wajah Abang di sini. Aku tidak bisa kembali pada Fanisa, aku memang mencintainya
POV ELANG~Aku berjalan lunglai meninggalkan rumah mungil yang ditempati Rafka dan Purnama. Dadaku sesak, karena keinginan yang tak bersambut.Di malam yang gelap juga sepi hanya bertemankan cahaya rembulan. Aku menyusuri jalanan perumahan ini.Apa yang harus kuperbuat setelah ini? Aku bahkan tidak bisa membujuk Rafka untuk kembali pada Fanisa.Bagaimana nasib adik perempuanku satu-satunya nanti tanpa Rafka? Aku tahu, saat dia telah berhasil mengusir Rafka, itu tidak sepenuhnya dia lakukan.Itu hanyalah luapan dari kekecewaannya semata.Membiarkan Rafka pergi dan meninggalkannya sendiri, sama saja dengan membiarkan separuh nyawa Fanisa turut pergi.Aku mendengkus lemah. Melewati taman komplek, aku lantas mendaratkan bokong di kursi kayu sejenak ditemani semilir angin yang bersiul di gendang telinga.Kuhembus napas dalam-dalam. Menutup wajah dengan kedua telapak tangan dan tenggelam dalam pikiranku sendiri.Aku bahkan sudah menghindar entah berapa lama dari adikku sendiri. Rasanya aku
POV ELANG~"Aku memang bukan ayah kandung Belfania. Pemeriksaan di tiga rumah sakit berbeda memvonis bahwa aku ini tidak bisa memiliki anak. Tapi akulah yang mengadzani Belfania saat ia baru saja lahir. Aku yang menyaksikannya terlahir ke dunia ini. Aku yang turut merawat dan membesarkan dia hingga seperti sekarang, meski aku tahu itu sudah melanggar kesepakatan dari perjanjian kita. Tapi aku melakukannya karena rasa kemanusiaan bukan cinta. Aku tidak pernah membagi cinta dan ragaku dengan Purnama, kami harus tahu itu!"Rafka menjelaskan semuanya pada Fanisa. Aku masih bergeming di tempatku. Semua sudah terbongkar. Fanisa sudah mengetahuinya. Entah bagaimana dia menilai diriku setelah ini."Aku bukanlah ayah biologis Belfania, sedikit pun tidak ada darahku yang mengalir dalam dirinya. Tetapi Abang kamulah, Elang Arif Yunanda, ayah biologis Belfania! Dia yang sudah menodai Purnama. Memperk0sa Purnama hingga Purnama hamil. Abang kamu pelakunya!" tegas Rafka dengan jari telunjuk mengar