30.
Mobil Mas Rafka melaju membelah jalanan terik kota Bandung. Aku bersama Belfania mengisi kursi tengah dan Mas Rafka sendirian di kursi depan sebagai supir. Tadinya aku hendak pergi berdua saja dengan Belfania, tapi ternyata Mas Rafka ingin ikut. Jadilah kami pergi bertiga. Hingga sekitar tiga puluh menit perjalanan, akhirnya mobil berhenti di parkiran satu mall besar di kota ini.Kami bertiga bersama-sama memasuki gedung mall. Mengunjungi store pakaian, membiarkan Belfania untuk memilih pakaian yang dia inginkan. Aku dan Mas Rafka menemani di belakangnya, Namun sudah hampir dua putaran mengelilingi store yang kami datangi, belum ada satupun pakaian yang Belfania ambil.“Sayang, tidak ada pakaian yang cocok di sini?” tanyaku ketika Belfania mneghentikan langkahnya di display pakaian anak lima tahun.Anak berambut ikal itu menggeleng pelan. “Bajunya bagus-bagus, Tante. Emm … nanti kalau mahal bagaimana?” ungkapnya terdengar lirih.Sudah satu minggu Belfania bersekolah. Duduk di bangku kelas dua sekolah dasar. Meski katanya dia tidak pernah masuk taman kanak-kanak, tapi dia sudah bisa menulis, membaca dan berhitung dasar. Sepertinya, Purnama memang telah mengajarkan itu pada putrinya.Sudah satu Minggu juga aku selalu mengantarnya ke sekolah. Kemudian pergi ke butik lalu menjemputnya setelah masuk jam pulang. Setelah itu, aku bersama-sama pulang dengannya dan menghabiskan waktu bersama di rumah. Jika sebelumnya aku bisa seharian berada di butik, mengurus ini dan itu, tapi setelah adanya Belfania, aku menjadi rindu rumah.Adanya Belfania, memberiku peran baru yakni menjadi seorang Bunda. Mulai dari bangun tidur hingga waktunya tidur lagi, dialah yang kulihat. Menyiapkannya pakaian sekolah, sarapan, makan siang hingga makan malam. Menemaninya belajar juga bermain. Pantas saja Mas Rafka menyayanginya, karena ternyata memiliki anak bukanlah hal yang menakutkan.Setelah di
Tiga hari berikutnya ....Keadaan Belfania berangsur membaik. Dia sudah bisa keluar dari kamarnya. Makan dan juga minum seperti biasa lagi. Namun, memang dia belum masuk sekolah lagi.Pagi ini, setelah menyelesaikan sarapan pagi. Kami justru akan pergi menuju pondok. Semua perlengkapan sudah siap untuk menempuh perjalanan hampir sembilan jam lamanya.Mobil Mas Rafka sudah menjauh dari rumah. Menebus jalan raya hingga akhirnya mulai memasuki jalan tol. Mobil melaju tanpa hambatan berarti. Berjalan mulus dan sudah begitu jauh dari rumah.Dua jam sekali, Mas Rafka selalu menepi dan beristirahat lebih dulu di rest area. Beristirahat lima belas sampai dua puluh menit agar bisa berkendara dengan baik kembali. Hingga setelah melewati perjalanan panjang, sampai lah kami di pondok pada sore hari. Sebuah tempat yang berada di satu desa yang masih sangat asri dan sejuk.Kami semua turun dari mobil, berjalan memasuki gapura pondok
Tiga tahun kemudian ........Drrt Drrrt Drrrt.Dering serta vibrasi ponsel di atas nakas membangunkan tidurku. Mataku mengerjap, mengumpulkan sejenak kesadaran yang telah melambung ke nirwana. Barulah Kuraih benda pipih yang masih terus berbunyi itu."Assalamualaikum, Fan?" Suara Purnama terdengar lembut mengucap salam begitu panggilannya kuterima."Wa'alaikumussalam.""Fan, maaf aku mengganggu, aku ingin bicara."Aku mengucek mata yang terasa lengket hingga benar-benar bisa terbuka sempurna. "Iya, kenapa?"Purnama lalu bercerita dan aku mendengarkannya. Hingga cerita itu usai dan panggilan pun diakhiri. Kusimpan ponsel seiring dengan Mas Rafka yang terbangun di sampingku. Ia masih bertelanjang dada, di bawah selimut yang sama denganku."Sayang? Siapa yang menelpon?" tanyanya dengan suara parau khas orang baru bangun tidur."Purnama.""Kenapa?""Hari ini dia mau ke mari, Mas. Dia baru saja berangkat untuk ke sini.""Oh, ya? Ada apa?""Nanti aku jelaskan. Sekarang kamu bangun, dan
"Bapak, Ibu, saya bisa bantu menjelaskan yang sebenarnya seperti apa," ucapku kemudian."Menjelaskan apalagi? Menjelaskan kalau Purnama hanya khilaf?" tuding si Ibu terlihat murka."Tidak, Bu. Tidak seperti itu. Purnama hamil pun itu karena musibah yang menimpanya. Dia hanya korban. Dia korban rudapaksa," jelasku tak tahan lagi.Nampak kedua orang tua itu membelalakan mata. Terlihat syok dengan apa yang baru saja kukatakan."Astaghfirullah ... kami tidak menyangka sama sekali." Si Ibu berkata lirih."Bu, kehamilan Purnama dulu itu bukan atas dasar suka sama suka, tetapi karena musibah. Purnama kehilangan mahkotanya akibat rudapaksa. Purnama tidak seburuk itu. Saya bisa menjamin." Bukan hanya aku, Mas Rafka pun turut menjelaskan.Terdengar si ibu dari lelaki itu mendecak. "Saya tidak menyangka, di balik penampilannya yang begitu tertutup dan alim, ternyata masa lalunya begitu kelam dan buruk. Pantas s
"Pingsan? Apa yang terjadi?" Mas Rafka bahkan sudah berdiri di belakangku dan bertanya pada Belfania, padahal tadi ia masih bergelung di balik selimutnya.Belfania nampak menggeleng. "Tidak tahu, Yah. Tadi aku lihat Ibu sedang sholat Subuh, tapi tiba-tiba tubuhnya ambruk. Aku coba bangunkan tapi Ibu masih gak sadar juga." Ia bercerita dengan panik."Ayok mas buruan kita lihat!" titahku cepat. Buru-buru aku pun keluar kamar. Bersama Mas Rafka dan Belfania memasuki kamarnya."Astaghfirullahaladzim, Purnama!" Aku memekik saat melihat tubuh itu tergolek di atas sajadah."Purnama, Purnama?" Aku menepuk-nepuk pipi perempuan yang masih memakai mukena itu, sama sepertiku juga."Purnama? Are you oke, Purnama?" Aku masih berusaha menyadarkannya. Namun, tidak berhasil."Mas, gimana ini, Mas?" tanyaku khawatir pada suamiku."Tenang, Dek, tenang dulu. Kita pindahkan dulu Purnama ke kasur. Ayok," pinta Mas Rafka.Aku mengangguk setuju. "Kamu angkat, Mas. Bawa ke kasur," tukasku segera. Menurunkan k
"Aku berangkat sekolah dulu, Bunda." Belfania sudah siap dengan seragam sekolahnya.Belfania datang bersama Mas Rafka, menyusulku dan Bang Elang yang sedang berada di tanah belakang."Hati-hati, Sayang," pesanku usai Belfania mencium tanganku dengan takdzim.Belfania mengangguk seraya tersenyum. Tanpa diperintah, ia melakukan hal yang sama kepada Bang Elang."Kamu sudah besar," ujar Bang Elang sembari membelai wajah Belfania. Kemudian memeluk gadis berseragam itu. Mendekap dan membelai rambutnya."Dek, mas pergi dulu, ya?" Mas Rafka turut berpamitan.Aku mencium tangannya, lalu suamiku itu mengajak Belfania untuk segera berangkat. Bang Elang melepaskan dekapannya pada Belfania. Kemudian mereka berangkat bersama-sama. Meninggalkanku bersama Bang Elang di taman belakang."Kelas berapa Belfania sekarang?" tanya bang Elang."Kelas lima, Bang.""Waktu berjalan begitu cepat. Rasanya baru kemarin Abang bertemu dia di rumah sakit dan dia masih kecil."Iya, Bang. Sebentar lagi, Belfania akan m
"Dek?"Aku tergeragap. Terkejut saat sentuhan lembut mendarat di pundak. Sontak aku menoleh dan mendapati Mas Rafka sudah berdiri di belakang sofa yang kududuki."Eh, Mas? Kamu udah pulang?" tanyaku bingung. Aku bahkan tidak mendengar deru mesin mobilnya. Punggungku yang semula menempel pada badan sofa, kini sudah tegap.Nampak Mas Rafka berjalan memutari sofa sampai akhirnya duduk tepat di sebelahku. Dia tiba-tiba saja mengulurkan tangan lalu menyentuh wajahku. Meraba-raba pipi serta kening. Raut khawatir dan lelah, tergambar jelas di wajahnya."Kamu kenapa? Kamu sakit? Kenapa dari tadi melamun aja? Kamu mikirin apa? Atau kamu lagi gak enak badan?" Ia memberondong dengan pertanyaan yang membuatku kebingungan."Melamun? Masa'? Enggak kok, aku emang cuma lagi di sini aja," jawabku kemudian.Terdengar helaan napas berat dari Mas Rafka. "Dari tadi mas itu manggil-manggil kamu, lho. Mas juga nanyain Belfania sudah tidur atau belum. Tapi kamu diem aja. Kamu gak jawab, bahkan kamu gak denge
POV Purnama.Satu bulan berlalu setelah lamaran itu dibatalkan.Aku tidak merasa kecewa. Aku justru lega dengan apa yang sudah kuputuskan. Sejatinya, pernikahan adalah ibadah paling lama yang dijalani. Kejujuran dan keterbukaan sangat diperlukan. Jika dari awal aku tidak jujur, aku tidak tahu resiko apa kedepannya yang akan terjadi. Bisa saja justru akan menjadi bumerang yang menghancurkan rumah tanggaku nantinya. Dan aku tidak mau itu terjadi. Meski harus berakhir dengan penolakan dan batalnya lamaran, aku tidak masalah.Aku percaya, takdir Allah itu adalah yang terbaik.Sejak batalnya lamaranku dan Risyad di rumah Fanisa hari itu. Aku tetap menjalani hidupku dengan normal di pondok. Tidak ada yang berubah. Tidak ada patah hati atau lainnya. Hari-hariku berjalan seperti biasa.Aku tetaplah aku yang terus berbenah diri, memperbaiki kualitas ibadah dan makin mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Tidak ada sandaran dan pegangan yang nyata, selain berserah dan berpasrah pada Sang Pemilik