Share

Bab 2

“Wulan bangun, Mama bilang bangun” suara kencang dengan tarikan selimut yang keras membuat tidur Wulan terganggu.

“Ada apa sih ma? Aku ingin istirahat sebentar” ucap Wulan, yang sedikit membuka matanya melihat sang Mama yang berdiri dengan tangan yang sudah terlipat di dada.

“papamu ingin bicara cepat bangun sekarang” tegas perempuan paruh baya itu dengan sedikit sengit tak suka. “buruan tak usah sok lemah begitu” lagi ucapan dengan nada memerintah begitu mengusik Wulan.

Wulan hanya bisa diam, dan menuruti ucapan sang Mama, dia perlahan menyibak selimutnya dan turun dari ranjang melihat Mamanya yang langsung pergi begitu saja. Sebelum berdiri dia melihat kesisi nakas yang berada di sebelah tempat tidurnya saat ini. terpampang bingkai foto kecil dengan foto seorang pria yang ada di dalam bingkai tersebut.

“Kamu lihat pagi ku seperti apa saat ini, semakin buruk saat kamu tidak ada” gumam Wulan sambil menatap foto itu berkaca-kaca.

Dia dengan lemah berdiri, memakai sandalnya dan berjalan kearah kamar mandi lebih dulu sebelum turun untuk menemui Papanya yang entah akan berbicara apa padanya nanti.

Wulan masuk kedalam kamar mandi, dia menghela nafasnya sebelum mengambil sikat giginya saat ini. hidupnya sudah cukup berat ditambah kehilangan Leon yang selalu ada untuknya semakin membuat dirinya terasa berat untuk sekedar menghirup nafas. Tapi kalau dia begini terus, ia sama saja membuat Leon mati sia-sia karena telah menyelematkan dirinya.

“Kamu bisa Wulan, kamu bisa. Ayo bekerja dengan keras, kejar harapanmu. Jangan sia-siakan pengorbanan Leon” gumam Wulan menyemangati dirinya di depan cermin kamar mandi.

Agendanya saat ini, mencari pekerjaan untuk menambah tabungan biaya kuliahnya. Dia harus mengumpulkan uang sendiri untuk kuliahnya kalau dia tak mengumpulkan uang entah kapan dia bisa kuliah, menunggu ayahnya seakan tak memberikan kepastian dan tak pasti nantinya dia bisa kuliah seperti kakaknya atau tidak.

................................................

Radit baru saja menginjakkan kakinya di lantai dua sebuah mall, tapi semua karyawan sudah berbaris dan menunduk menyambutnya saat ini. Radit tak memberikan respon, dia hanya terus berjalan menuju tempat yang ingin dia tuju saja.

Dia baru saja berjalan beberapa langkah, langkahnya itu langsung berbelok kesebuah toko perhiasan yang cukup besar di mall tersebut.

“Selamat datang tuan Raditya Gilgan,” sambut salah seorang pria yang berpakaian rapi dengan setelan kemeja putih dan celana hitamnya.

“hemm,” Radit hanya berjalan melewati pria tersebut dan mendekat kearah etalase perhiasan yang ada di situ.

“Kau sudah membuatkan apa yang aku minta sebelumnya kan?” tanya Radit tanpa melihat kearah pria yang berjalan di belakangnya.

“Sudah tuan, sesuai permintaan tuan” jawabnya.

“Bagus, mana tunjukan padaku barangnya” pinta Radit dan dia langsung berjalan kearah sofa melipat kedua kakinya sambil memperhatikan sekitar dan melihat beberapa karyawan perempuan yang melihat kearahnya dengan saling berbisik satu sama lain. Menatap malu-malu padanya.

“Ini Tuan” ucap pria tadi yang berdiri didepan Radit sambil membuka sebuah kotak berwarna putih memperlihatkan sebuah kalung Silver dengan liotin berinisial W pada kalung tersebut.

“Bagus, sesuai keinginanku. Bungkus itu, dan persiapkan untukku” Radit tampak puas dengan apa yang ia inginkan sebelumnya. Dia langsung berdiri dari duduknya dan memegang pelan bahu pria dengan kemeja putih itu. “tolong benari pegawaimu sebelum aku menutup toko perhiasanmu ini” bisik Raditya ditelinga pria itu dengan nada mengancam. Membuat pemilik toko perhiasan langsung melebarkan matanya tak mengerti dan melihat arah pandang Raditya ke pegawainya yang tampak curi-curi pandang serta sedikit melayangkan senyum menggoda pada Radit.

Raditya Gilgan, paling benci dengan godaan wanita murahan yang terus menggodanya. Hatinya berkata cukup satu wanita saja yang ada di hatinya tak ada yang lain. Wanita manapun tak akan bisa menggoda dirinya barang sedetikpun. Hal itu sungguh membuatnya tak suka dan jijik sendiri dengan para wanita murahan yang terus melayangkan tatapan menggoda padanya. Benar sebutan wanita murahan lebih pantas bagi mereka yang tukang menggoda pria yang baru saja di kenal.

“Aku tunggu di depan, bawakan kedepan” perintah Radit dan langsung melenggang pergi, ia lebih memilih menunggu barang miliknya selesai dikemas di depan toko daripada di dalam toko yang dipenuhi wanita murahan.

Radit bersandar di tembok dengan santai memegangi ponsel miliknya, melihat galeri ponselnya saat ini melihat foto seorang perempuan cantik tengah tersenyum di sebuah taman bunga.

“Kau tunggu diriku, sebentar lagi kita akan bersama lagi. Dan kau akan menjadi milikku seutuhnya sayang” seringai senang nampak jelas di mata Radit. Harapannya untuk mendapatkan pujaan hatinya sebetar lagi akan terlaksana.

..............................................

Wulan berjalan menemui Papanya yang ada di teras samping rumahnya, dia menatap tanpa ekspresi kearah sang papa.

Hermantyo yang menyadari kedatangan sang putri langsung melihat putrinya itu yang sudah berdiri didepannya saat ini.

“Duduk dulu Wulan, Papa ingin mengobrol denganmu” ucapan lembut keluar dari mulut pria paruh baya tersebut.

“Papa ingin bicara apa?” tak menuruti perintah Papanya Wulan malah melayangkan pertanyaan.

“Kamu duduklah dulu, Papa ingin mengobrol santai denganmu bisa kan?” pinta Herman pada putrinya.

“kalau Papa tidak ingin bicara sekarang, lebih baik aku pergi tenagaku habis Pa. Aku tidak bsia berdebat denganmu saat ini” ucap Wulan terus terang, tenaganya memang habis tubuhnya tak bertenaga sama sekali.

Herman akhirnya mengalah, dia berdiri dari duduknya sekarang dan berjalan perlahan mendekati putrinya itu lalu memberikan pelukan hangat bagi sang putri.

“Papa minta maaf, Papa sudah salah padamu. Kamu jangan merasa sendiri masih ada Papa dan keluargamu, Papa tahu pasti kau sangat merasa kehilangan Leon” Herman memeluk Wulan mengusap lembut pundak putrinya yang perlahan mulai terasa getaran.

“Itu Papa tahu kalau aku kehilangan Leon, Papa pasti juga tahu kan kalau hanya Leon yang ada disisiku. Papa yang katanya papaku mana tidak pernah membelaku, Mama yang katanya mama kandung tapi seperti mama tiri bagiku membedakan diriku dan kakak. Dan katanya aku yang punya adik tapi tak pernah ada untukku. Mana yang dibilag keluarga, nggak pa kalian bukan keluarga bagiku” Wulan menangis sambil perlahan melepaskan pelukan sang Papa.

“keluarga tidak seperti ini Pa keluarga itu saling menyayangi bukan saling iri dengki dan menjatuhkan seperti ini. aku tersiksa Pa, aku tersiksa” Wulan histeris meluapkan segala emosinya didepan wajah sang Papa yang tak selalu membelanya didepan Mamanya.

“Wulan, Papa minta maaf. Tapi Papa selalu ada untukmu, maafkan Papa sayang. Papa janji Papa akan membelamu saat ini” Herman berusaha menenangkan sang anak.

“Aku sudah tidak butuh Pa, tidak ada rasa percaya lagi di hatiku buat kalian. Kalian bagaikan orang asing bagiku saat ini” Wulan perlahan menurunkan tangan Papanya yang ada di bahunya.”Tidak usah perdulikan aku, perdulikan saja Mama dan yang lainnya. Aku hanya orang asingkan untuk kalian” lanjut Wulan dan akan pergi dari hadapan sang Papa. Tapi dia berhenti dan berbalik melihat Papanya yang menunduk merasa bersalah.

“Seharusnya dulu, tidak usah kalian melahirkanku kalau hanya sebagai bayang-bayang atau pengganti kak Widya” sinis Wulan sebelum pergi dari hadapan Papanya. Ia sudah tak ingin banyak bicara lagi dengan sang papa.

°°°

T.B.C

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status