89 "Aaaakkkh!" Tubuh Kanaya terpental ke sisi jalan, darah mengalir dari kepalanya yang terbentur pembatas jalan. Para penjual yang berjualan pun berlari menghampiri tempat kecelakaan, melihat dua orang perempuan bersimbah d4r4h. Orang-orang dalam butik pun ikut ke luar dan berteriak histeris begitu mengetahui siapa yang menjadi korban kecelakaan itu. "Woy, jangan lari!" Mobil yang menabrak kini melarikan diri setelah mengenai kedua korban yang tak sadarkan diri. "Ya Allah, bagaimana ini? Mba Ani dan Bu Aya, Ya Allah, cepat panggilkan ambulan!" "Kelamaan, ambil mobil, cepat!" Beberapa pegawai butik membawa Kanaya dan Ani menuju ke mobil, salah satu dari mereka mengabari Devan tentang apa yang terjadi. "Pak! Pak Devan, anu, Bu Aya kecelakaan!" "Apa?! Yang benar kalau bicara!" teriak Devan. "Bu Aya sudah dibawa ke rumah sakit, Pak." Devan menjatuhkan tubuhnya di sofa, lututnya sangat lemas, hampir tidak mampu menopang berat tubuhnya. "Apa
"Siapa lagi kalau bukan Revi, wanita ular berhati iblis itu selalu menggunakan cara keji untuk memuaskan hatinya." Radit menyerahkan bukti rekaman cctv dari sebuah swalayan tak jauh dari butik Kanaya berada. Dari sana terlihat jelas Revi yang baru masuk ke dalam mobil dengan memakai masker dan kaca mata hitam yang dibeli dari swalayan itu. Mobil yang sama yang berada dalam cctv di depan butik. Radit baru saja mendapatkan rekaman itu dari orang suruhannya. "Sudah kuduga! Wanita ular itu harus diberi pelajaran karena telah membuat istriku seperti ini! Gara-gara dia aku kehilangan anak kami!" geram Devan, saat Radit mengatakan penyebab kecelakaan sang istri. "Apa dia pikir bisa lari dariku!" "Sabar, Dev, kamu harus tenang untuk menghadapinya. Biarkan Radit yang mengurus masalah ini." Bu Herlin mengelus punggung putranya, memberikan ketenangan. Sebenarnya ia juga sangat geram dengan kelakuan wanita ular itu. Baru saja beberapa hari yang lalu diusir dari rumah, sekarang di
"Papa harus pergi, Radit mengabari kalau dia sedang mengejar wanita itu!" Pak Pratama memasukkan ponsel ke dalam jasnya setelah mendapat pesan dari Radit. Devan mendekati papanya, membiarkan Kanaya dipeluk oleh mamanya. Ia benar-benar geram dan ingin segera melampiaskan amarahnya pada Revi. Dadanya kembang kempis menahan rasa benci dan amarah yang menyatu. "Rasanya tanganku sudah gatal ingin memberi pelajaran pada wanita itu!" "Biarkan Papa yang menyusul Radit, Aya butuh kamu di sampingnya. Percayakan saja pada kami, orang tua ini masih mampu mengurus bocah ingusan macam itu." Pak Pratama menepuk bahu putranya, memintanya untuk tetap di samping Kanaya. Devan memang sangat ingin melampiaskan kekesalan dan amarahnya pada Revi, tetapi ia juga tidak ingin meninggalkan istrinya yang kini butuh dirinya. "Baiklah, Pa, tunggu aku untuk mengeksekusinya." Pak Pratama mengangguk, lalu memberikan isyarat pada istrinya. Bu Herlin pun mengangguk dan Pak Pratama segera perg
"Jadi di sini kamu membawa perempuan iblis itu?" Devan dan Radit sampai di sebuah rumah yang terbengkalai, tepatnya berada di dekat hutan dan jauh dari keramaian. "Ya, dia sedang menikmati waktu-waktu terindahnya di sini," jawab Radit dengan senyum menyeringai. Keduanya memasuki rumah yang saat ini banyak penjaganya. Radit memang menempatkan beberapa orang untuk menjaga Revi. Radit meminta anak buahnya membuka salah satu pintu kamar, di mana Revi tengah berada di dalam sana. Saat pintu terbuka, wanita dengan tangan terikat dan berbaring di sebuah ranjang kayu dengan kasur lapuk itu menoleh. Pakaiannya sobek-sobek, bagian atas hanya menutupi bagian dada, sementara tubuh bagian bawahnya ditutup dengan kain bekas seprei yang telah usang. Bekas darah di pipi masih ada, begitu pula dengan darah di sudut bibirnya. Wajahnya sangat berantakan, rambut bercat pirang itu menutupi sebagian wajahnya. Ia menangis melihat kedatangan Devan, berharap lelaki yang pernah menjal
"Apa yang terjadi padanya? Apa ini ada hubungannya dengan Revi?" "Ini tidak ada hubungannya dengan apa yang dilakukan oleh Revi. Semua ini murni kesalahan Dewi sendiri. Ini tentang kecelakaan belasan tahun silam, dan Dewi, adalah pelakunya," papar Bu Herlin, yang masih tidak Devan mengerti. "Kecelakaan?" "Ya. Dewi merencanakan pembunuh4n terhadap Bu Meriana, istri pertama Pak Rudy, yang tak lain adalah ibu kandung Revi. Tentu saja demi satu tujuan. Yaitu menjadi istri satu-satunya." "Jadi, kecelakaan itu disengaja?" "Begitulah. Kini Pak Rudy sudah mengetahui semuanya karena pengakuan seseorang. Mama sudah tahu sejak lama, hanya saja tidak mau terlibat lebih jauh." Tanpa mereka sadari, Kanaya mendengar semuanya. Ia tidak menyangka memiliki ibu kandung seorang pembunuh. Bahkan, sifat buruk itu diwariskan kepada anak tiri yang dirawatnya, Revi. Devan dan Bu Herlin kaget saat mendengar suara pecah tak jauh dari tempat mereka berada. Mereka menole
"Nikahkan saja mereka! Beraninya berbuat mesum disini, mencoreng nama baik kampung kita saja!" Ucap para warga yg sudah berkerumun. Sepasang muda mudi yang dituduh melakukan mesum itu pun mengangkat wajah mereka. "Apa-apaan ini? kami tidak saling mengenal dan kita tidak melakukan apa-apa!" sanggah Kanaya. "Iya, Pak, kami tidak melakukan apa-apa, saya hanya berteduh dari derasnya hujan." Jawab sang lelaki sambil meronta karena tangannya dipegangi bapak-bapak. "Sudah ketahuan, masih saja tidak mau mengaku! Lihat itu, celanamu masih terbuka," sahut bapak-bapak di depannya. "Wah iya, dasar mesum! Untung ketahuan," timpal warga lainnya. "Tapi apa yang dikatakannya itu benar, Pak, bahkan kami juga tidak saling mengenal. Saya baru saja pulang kuliah dan tadi kehujanan," bela sang perempuan yang dituduh sebagai pasangan mesum. "Halah, kamu itu memang sama saja dengan ibumu! Sudah, ayo kita bawa saja kerumah pak RT!" Usul ibu-ibu yang memegangi Kanaya. "Aduh, bagaiman
"Ini baju almarhum ayahku dan Anda bisa tidur di kamar Ayah, itu disana." Aya memberikan baju ganti kepada Devan dan juga menunjukkan kamar sang ayah untuk tidur. "Terima kasih, dan maaf jika aku terpaksa menikahimu. Aku tidak ingin kamu dibawa ke kantor polisi gara-gara aku." "Tidak apa-apa, lagi pula semua sudah terjadi. Dan ini bukan sepenuhnya salah Anda. Saya hanya tidak percaya tiba-tiba bisa menikah." Kanaya tersenyum kecut. "Bisakah kita menggunakan bahasa santai saja, jangan 'Saya' dan 'Anda'." "Maaf, tapi kita memang tidak saling mengenal, bukan? Tapi ya sudahlah mari kenalan, namaku Kanaya dan sering dipanggil Aya." Kanaya mengulurkan tangannya. "Ya, dan bahkan aku sudah menyebutkan namamu dalam ijab qabul tadi," kekeh Devan. "Namaku Devandra, panggil saja Devan." Mereka saling berjabat tangan. "Lucu sekali ya kita, sudah menikah baru kenalan," ucap Kanaya tertawa. "Jika kau keberatan berada di sini, atau merasa tertekan dengan pernikahan ini
"Aduh!" Kanaya terjatuh karena menabrak seseorang. "Makanya hati-hati," ucap seorang laki-laki yang ditabrak Kanaya. "Iya, maaf." Kanaya menerima ukuran tangan dari orang yang ditabraknya. "Makasih, Lex." Kanaya tersenyum menerima bukunya yang jatuh dan diambilkan oleh Alex. "Kamu kenapa sih buru-buru? Kan ini masih pagi, belum ada dosen yang hadir," tanyanya. "Enggak apa-apa, aku buru-buru karena mau ke ..., toilet, iya toilet!" "Oh, ya sudah jangan lari-lari lagi." Alex mengacak rambut panjang Kanaya. "Oke!" Kanaya mengacungkan jempolnya. Ia pergi meninggalkan Alex dan pura-pura ke kamar mandi. Ia menghembuskan napas kasar. Ia merasa bersalah pada Alex dan tidak tahu apa yang harus ia katakan pada laki-laki itu tentang pernikahan yang sudah terjadi. Kanaya menemui kedua sahabatnya dan berjalan berdampingan. Namun para mata lelaki lebih fokus pada Kanaya. Kanaya memang memiliki daya pikat tersendiri di mata laki-laki. Dia memiliki wajah mani