Sejak pagi wanita itu sudah duduk di ruang kerjanya, ia tak sekantor dengan suaminya, tapi ia berada di toko pakaian yang baru saja ia buka usaha tersebut. Wanita berambut cokelat keemasan itu bertopang dagu seraya termenung memikirkan putranya yang ia takutkan akan menuruni sifat ayah kandungnya – Fausto – yang jalan hidupnya cukup menyeramkan. Terlibat dengan dunia hitam, juga dalam hal asmara tak mulut. Laurent berdecak pelan, ia menghela napas dengan terus menatap layar komputernya yang menampilak wajah Alexander, ia dan Pras.
“Kamu mau menyiksa batin Ibumu, Lex?” Laurent mendengkus. Pintu ruang kerjanya diketuk seseorang. Tampak seorang karyawannya masuk untuk menyerahkan map laporan kegiatan mingguan mereka. Laurent akan gencar melakukan promosi, bahkan hingga terjun melakukan penjualan di toko.
(Percakapan sesungguhnya dengan bahasa Jerman)
“Mrs. Laurent, untuk kerja sama dengan mall besar, apa jadi? Aku akan mengurusnya ke s
Laurent dan Pras bergelung di dalam selimut, keduanya masih saja begitu panas saat saling melayani urusan ranjang, seolah tak kenal umur, keduanya masih begitu menggebu. Laurent mengusap wajah suaminya yang mengkungkung dirinya, keduanya tersenyum. “Tenagamu sungguh luar biasa, Daddy Pras,” ledek Laurent mengedipkan sebelah matanya. Pras tertawa, ia menciumi wajah istrinya itu tanpa jeda, membuat Laurent tertawa geli. “Aku selalu menjaga kesehatanku, bukan, vitamin semua olahraga itu membuat staminaku prima,” jawab Pras sombong. Laurent berdecak. “Cek jantungmu besok, bukankah kau harus pasang 1 ring. Jangan kira aku lupa, ya, Pras.” Laurent mengingatkan suaminya itu. Pras menindih tubuh telanjang istrinya, memeluk lalu menenggelamkan wajahnya di dada Laurent. “Jangan ingatkan aku, Rent, aku seperti mau mati saja,” tukas Pras. “Jangan lupa bawa aku jika kau ingin mati, ya, kita berjanji akan bersama selamanya, bukan?” Jemari lentik Laurent men
Mereka hanya saling menatap, tanpa tak ada suara apa pun dari keduanya. Bukannya marahan atau kesal, tapi hanya rasa canggung setelah lama tak dekat. Lily diam, menunduk melihat lukanya yang dibalur perban dengan plester, jelas luka itu menganga dan berdarah, ia meringis, melirik Alexander yang ternyata menatapnya.“Kenapa pergi dari rumah tidak memberitahuku, apa kamu tak menganggapku?” pemuda itu merapikan kotak obat yang mendadak ia beli tadi dan kembali ia masukan ke dalam kantong pelastik.“Kau sibuk, aku sudah bilang dengan Daddy dan Mommy, aku rasa itu cuk—““Jessie kekasihku. Aku ingin memberi taumu hal itu.” Lalu Alex beranjak, berjalan ke luar minimarket tanpa menoleh lagi ke Lily. Gadis itu menunduk, memang jelas sia-sia mengharapkan sesuatu yang tak akan pernah bisa ia miliki, bahkan sekedar menggapainya juga terasa sulit. Lily beranjak, memakai rompi pegawai minimarket, menyimpan tas sekolah di loker ruang g
Semalam, saat Andreas menceritakan semuanya ke Alexander, pemuda itu merasakan sesal karena membentak wanita yang sudah membesarkan dirinya dengan penuh kasih sayang. Ia berdiri di depan cermin, bersiap ke sekolah, namun ia tak mendengar suara apa pun dari luar kamar, hingga ia keluar, tak mendapati hingar bingar pagi hari seperti biasanya. Di dalam lubuk hatinya, ia masih marah karena fakta tentang Laurent Margareth – mommyny – yang hidup dengan masa lalu tak mengenakan.Rumah tampak sepi, Alex memutuskan pergi ke sekolah, entah ke mana semua penghuni rumahnya saat itu. Dengan menyugar rambutnya, ia mencoba berpenampilan tampak biasa dengan wajah yang ia paksakan tersenyum. Rasa hatinya tak karuan, karena fakta dalam hidupnya perlahan muncul. Mobil masuk ke area parkiran sekolah, setelah memarkirkan di tempat biasa, ia segera turun lalu tampak Jessie berjalan cepat menghampiri.“Jangan ke dalam Alex, jangan sekolah hari ini. Pergi Alex,” pinta
Laurent masih tak sadarkan diri, sudah dua hari ia koma, dan Alex pun masih menolak untuk ikut bersama Fausto. Keadaan memburuk, bagi Pras. Karena media lokal menyorot tentang dirinya juga Laurent. Sementara di tanah air, berita itu sudah dianggap biasa karena dulu pernah terjadi. Masyarakat juga memaafkan, toh, hal itu urusan pribadi Laurent dan Pras.Fausto menatap Pras yang tampak lesu, ia harus konferensi pers secepatnya. Nilai saham perusahaan di sana pun anjlok, semua sibuk, ekspetasi masyarakat kepada Pras dan Laurent yang seperti malaikat baik hati berubah. Maka, tangan dingin Fausto pun bertindak. “Pras, biarkan aku membalas kebaikanmu dan Laurent untuk putraku. Ini hal sepele, walau juga penuh resiko. Aku akan menghubungi geng Loco, mau tak mau.” Kata-kata Fausto membuat Pras terkejut.“Geng Loco akan mencari dengan cepat siapa penyebar semua hal ini, sementara kau hadapi media di sini, juga orang-orang yang berbisnis denganmu. Alex akan aku
“Aku akan memenggal kepalanya!” maki Alex saat ia melihat bagaiman orang yang menghancurkan keluarganya duduk santai di kantor milik Pras. Iya, orang itu membeli saham Pras. Sial, Alex kecolongan dengan sikap santainya yang melupakan permintaan Pras untuk mulai mengelola bisnis keluarganya. Suara tembakan dengan proyektil yang berjatuhan terdengar di jalaman belakang rumah Fausto. Musim dingin tiba, tapi hawa panas selalu mendidih dan menyelimuti diri Alexander. Semalam ia terbangun kembali ditengah malam, menjerit memanggil Laurent. Hampir tiap malam ia mengalami mimpi buruk. Fausto khawatir, tapi El berkata jika kondisi itu masih aman, mental pemuda itu sedang ditempat sebelum siap tempur. El juga bercerita tentang kawan lama Pras yang juga ahli dalam hal memata-matai – Dastan – namun sayang, pria itu sedang terlibat masalah sendiri dan tak mungkin terlibat dengan masalah Pras kali ini. Fausto tak masalah, ia cukup bahagia bisa tinggal bersama putranya lagi, walau jelas, A
Edmon duduk di kursi ruang tamu apartemen sederhana miliknya. Ia memangku kotak warna cokelat, perlahan membukanya. Tampak banyak benda-benda yang lama ia simpan. Termasuk foto mendingan istri dan gadis kecil bermata yang sama dengan Lily. “Apa, kau Dasha, putriku yang hilang di culik mereka. Para penjahat itu?” jemari Edmon bergetar. Pria dengan wajah dominan Rusia itu mendadak pucat. Ia mengambil foto istrinya – Orlena – yang meninggal karena tertembak tepat di dadanya. Kepala Edmon tertunduk, ia beranjak cepat, mengambil mantel seraya memakainya dengan cepat, menyambar kunci mobil lalu bergegas meninggalkan apartemen itu menuju ke kantornya. Kantor polisi. Tak butuh waktu lama, ia sudah memarkirkan mobilnya, turun dengan cepat lalu berlari. Beberapa rekannya menatap bingung. “Opsir, apa yang terjadi?” tanya salah satu rekan. “Carikan aku berkas putriku yang hilang, Dasha Lena Edmona. Cepat!” perintahnya. Rekannya mengangguk. Edmon berdebar tak karuan, jika
Kedua mata Andreas juga istrinya terkejut melihat siapa yang mengetuk pintu rumah kayu sederhana itu. Tak percaya hingga keduanya lemas. 3 orang berdiri di sana menatap mereka, tepatnya menemukan mereka. Gemetar, itu yang keduanya rasakan.Pras memanggil Andreas, ia hanya bisa bergeming, justru 3 orang itu yang masuk ke dalam rumah menuju ke sumber suara. Derap langkahnya menimbulkan suara hentakan sepatu yang bertemu lantai kayu. Mereka tiba di ambang pintu, menatap Pras yang tak kalah terkejut dengan apa yang ia lihat. Ia pun ikut gemetar, hingga tak bisa bersuara.***Lily memeluk Edmon saat mengantarkan ia ke sekolah, semenjak pindah ke apartemen ayahnya, ia selalu tampak bahagia, walau masih bekerja di minimarket karena Lily ingin ada kegiatan, Edmon pun mengalah. Dre melihat dari jarak jauh, ia bingung, siapa Opsir itu? Akhirnya setelah Edmon pergi, Dre berjalan mendekati Lily.“Hei,” sapa Lily saat melihat Dre yang langsung memeluknya.
Senyum tak pergi dari wajah cantik Lily, selepas pulang sekolah dan berjalan keluar area bangunan itu, Lily sudah melihat mobil partoli plisi yang biasa digunakan Edmon terparkir di halaman sekolah. Lily berlari kecil menghampiri sang ayah. Ia seperti anak kecil, dan Edmon juga merasa bahagia menyambut putrinya yang tumbuh menjadi gadis cantik dan anggun seperti mendiang istrinya.“Bagaimana sekolah mu, Ly?” tanya Edmon sembari meletakkan tas di jok belakang sementara Lily sudah duduk di dalam mobil, melongokkan kepala ke jendela yang ia buka.“Baik, dan manis. Ayah bagaimana?” tanyanya balik. Edmon menaruh satu tangan di atas mobil kemudian mencondongkan kepala ke arah Lily.“Manis? Apa ada yang perlu Ayah tau dari putri kecil Ayah, hem?” Edmon menatap Lily curiga. Putrinya mengulum senyum lalu menutup wajahnya karena malu. Edmon berjalan memutar lalu masuk dan duduk di balik kemudi.“Ayah, aku mau menceritakan s