Sinta mengedarkan pandang ke sekitar resort. Ada dua mobil yang terparkir di halaman luas tersebut, sungguh asri dan nyaman. Udaranya terasa sangat sejuk, berbagai macam pohon dari mulai kelapa sampai tanaman hias tertata rapi di seluruh area resort, membuat mata tak jemu memandang.
"Silahkan, Non, lewat sini," tunjuk salah satu lelaki berbadan gempal. Dua lelaki lain berada di luar, tak ikut masuk, mungkin berjaga-jaga.Sinta melangkah masuk ke dalam bangunan kecil tersebut, berbagai pertanyaan memenuhi kepalanya. Dirinya ingin bertanya namun sungkan pada lelaki tersebut karena baru kali ini bertemu dengannya. Ragu-ragu, setelah semenit berpikir akhirnya Sinta memberanikan diri untuk bertanya pada lelaki tersebut."Pak," panggilnya lirih. "saya mau tanya." Mereka berhenti di depan meja resepsionis."Tolong berikan kamar untuk tamu tuan Biru," ucapnya pada wanita yang berdiri di balik meja resepsionis, wanita tersebut mengangguk dan tersenyum ramah. Sinta menatapBiru dan Sinta tertawa bersama, setelahnya diam sejenak, merasakan embusan angin yang menerpa, terasa sejuk dan menyegarkan. "Kamu kenapa bawa aku ke sini?" tanya Sinta menatap lelaki itu, tatapan yang berbeda, bukan benci. "yakin cuma gara-gara pengen aku aman dari cewek-cewek yang ngejar kamu?" cibirnya. "Iya, emang apa lagi?" ledek Biru, menatap Sinta lekat, mendekat perlahan sampai pipi Sinta memerah seperti udang rebus. "Ciyee ..." goda Biru jahil. "hayo kamu kira apa?" "Apaan sih, ngeres aja.""Eh, siapa yang mikir ke sana, hahaha ... berarti kamu yang lagi mikirin yang basah-basah, hahaha." Biru tertawa lepas. "Iih, enggak apaan, seenaknya aja ngomong," sanggah Sinta malu. Biru menjawil dagu kekasihnya, mecubit pipi, kemudian memencet hidungnya, menggelitiki pinggangnya, terus menjahili Sinta sampai gadis itu memohon ampun agar Biru berhenti. "Ampuuuun," pinta Sinta, menghadang tangan Biru yang akan menggelitiki pinggangnya. "Ampun doang, ampun siapa? Bilang yang mesra d
Kecupan singkat mendarat di bibir Sinta. Gadis itu melotot, tak percaya. Biru tersenyum, tapi tidak dengan Sinta, bukannya tersenyum ia malah refleks memukul kaki Biru yang sakit kemudian bangkit dan pergi meninggalkannya sendirian. Biru mengaduh juga tersenyum, berhasil menjahili kekasihnya, dia dengan tergesa memakai sepatunya dan mengejar Sinta yang menuruni tangga. "Honey, tunggu!" teriak Biru. Gadis itu mengabaikan Biru yang tergesa mengejarnya menuruni tangga. Sinta semakin tergesa, dia ingin segera beristirahat di pondoknya. Kakinya melangkah cepat berbelok ke kanan menuju bangunan pondok, sesekali menengok ke belakang memastikan Biru masih jauh, namun nyatanya Biru bisa mengejarnya. Sinta menaiki tangga kayu yang cukup banyak, cukup menguras tenaganya. Dari belakang Biru mengejarnya, lelaki itu berhasil meraih lengan Sinta ketika mereka sampai di halaman pondok. "Lepasin," ucap Sinta lirih, melotot ke arah biru, memintanya untuk melepaskan tangannya karena mereka berdua j
Biru melihat layar sebelum mengangkat telepon. Dia berdecak kesal tapi tetap mengangkat telepon tersebut."Kamu di mana sih, papa sakit begini kamu malah nggak peduli sama papa!" hardik wanita di seberang telepon. "Kenapa sih, Ma, marah-marah mulu, besok aku bakal jengukin papa lagi. Aku lagi di luar kota sekarang ... ada urusan penting.""Hah?! kamu di luar kota? Coba bilang kamu di mana, Biru?" "Bentar ya, Ma, aku mau meeting sama klien dulu," bohong Biru tentu saja. "Biru-Biru, nggak bisa gitu do-"Biru sudah memutus sambungan telepon, Mamanya di sana marah-marah. Papa Biru dan Sarah bertanya karena wanita itu terus mengoceh. "Kenapa sih, Ma?" "Itu anak kamu tuh-gak bisa dibilangin, nanti kalau mamanya darah tinggi terus mati, baru nyesel itu anak," gerutunya dongkol, menghentak-hentakkan kakinya di lantai. "Udahlah, Ma, lagian kamu itu sama anak laki-laki harusnya bisa lebih sabar lagi," balas Papanya lirih karena masih lemas. Sarah mengelus punggung wanita yang dianggapnya
Biru melepaskan tangannya karena permintaan kekasihnya. Ia tersenyum, walau cahaya remang karena disinari rembulan wajah tampannya masih terlihat jelas. Sinta langsung balik badan dan terkejut, antara tak percaya dan lega karena ternyata yang menutup matanya adalah Biru. Muka kagetnya tak luput dari pandangan Biru, walau gadis itu buru-buru berbalik karena mendadak gugup. "Kenapa balik badan? Katanya mau hajar? Sini ayo, mau ngapain aja aku nurut deh," goda Biru, menjawil pundak Sinta. Sinta malu, menutup mukanya sambil menggumam. "Dasar! Nyebelin." "Kalo nggak jadi ngehajar, aku cium aja ya," katanya menyejajarkan kepala di samping Sinta, jantung gadisnya terasa mau copot. "Astaga!" Sinta memegangi dadanya, sambil terengah-engah agak menjauh dari Biru, lelaki itu tertawa kecil. Sinta sedikit kesal, bibirnya manyun sedangkan Biru mengambil sesuatu dari saku celananya yang berwarna putih. Sebuah kain berwarna hitam, Sinta heran untuk apa kain tersebut? apa akan ada sesuatu? Dia
Sinta terpana dengan panorama laut malam, bulan bersinar dengan terangnya, bintang-bintang bertaburan ... deburan ombak diiringi angin sepoi-sepoi, terasa sejuk dan menenangkan. Sinta duduk agak dekat dengan pinggiran laut, berjarak dua meter saja. Biru yang heran menggelengkan kepalanya karena Sinta tak menghampirinya malah berjalan mendekat ke pinggir laut, lelaki itu kemudian langsung menghampiri Sinta, duduk di sampingnya. "Nakal ya kamu," ucap Biru sambil memencet hidung Sinta. Sinta cemberut, menepuk punggung tangan Biru yang berhasil membuat hidungnya merah sekejap. "Cium nih," ancam Biru, mendekatkan wajahnya ke Sinta. Gadis itu tersipu, meski Biru tak melihat jelas rona merah dipipinya namun ia tahu Sinta tersenyum. Biru melekatkan bibirnya menyapu permukaan bibir Sinta, gadis itu langsung menutup matanya. Lelaki itu menjauh dan menatap gadisnya sejenak, Sinta yang heran karena Biru tak lagi menciumnya akhirnya membuka matanya perlahan. Biru tersenyum, berhasil menjahili
Dia lupa, Sinta lupa, dirinya tak melihat apakah Biru memakai pengaman atau tidak. Dia terlena sampai benar-benar lupa akan hal yang penting."Mati gue!" batinnya resah."Kamu kenapa sih, Honey?" tanya Biru masih dengan mata terpejam. "Nggak," balas Sinta singkat, dia kesal dan sekarang merubah posisinya memunggungi Biru. Laki-laki itu malah memeluk Sinta dari belakang. "Nggak papa ngomong aja pasti aku dengerin kok," ucapnya. Sinta memutar bola mata malas, dia tak percaya dengan ucapan lelaki di belakangnya. Sinta memindahkan tangan Biru yang melingkari perutnya, namun tangan itu malah memeluknya lagi bahkan rasanya ingin meremukkan tulang iganya. Sekarang 2 tangannya bergerilya ditubuhnya, tangan kirinya menyelusup ke bawah pinggangnya, dan satunya lagi di atas perutnya, Biru malah makin mengeratkan pelukannya. "Lepasin dong!" pekiknya sambil berusaha membuka kedua tangan Biru. "Nggak ... nggak akan aku lepas sebelum kamu jujur ke aku ada masalah apa," balas Biru tenang."Plis
Dari kejauhan, lelaki dan perempuan itu menyipitkan mata memandang ke halaman bangunan lobi, melangkah semakin dekat ... Biru menangkap sosok yang tak asing baginya yaitu asistennya, Pak Sony. "Bukannya itu pak Sony?" tebak Sinta ragu, menatap lelaki yang menggandengnya, Biru menatap sebentar pada kekasihnya dan menatap depan lagi. "Iya, kamu bener, yuk kita ke sana." Biru dan Sinta mempercepat langkah untuk menghampiri Pak Sony yang berdiri di samping mobil berwarna hitam. "Iya, yuk," balas Sinta mengangguk samar. Pak Sony terlihat gelisah, sesekali melirik ke pergelangan tangannya dimana jarum arlojinya terus berjalan, pria itu lantas menoleh ke kiri dengan waspada lalu ke kanan. Senyumnya terbit ketika melihat orang yang ditunggu-tunggu berjalan mendekat, mereka saling berpandangan. "Ah, Tuan, akhirnya Anda datang juga," ucap Pak Sony tersenyum setelah majikannya berdiri di hadapannya, asistennya tersebut menegakkan badan kemudian membungkuk sebentar. "Apa Bapak sudah lama nu
Setelah mereka bertiga selesai mengisi perut yang kosong, barulah Biru bertanya ada apa gerangan Pak Sony menyusulnya ke sini. Biru menatap lekat asisten pribadinya, melipat kedua tangan di atas meja. Sinta yang hendak pergi di tahan oleh Biru untuk sekadar menemaninya, tak ada hal yang ingin ia rahasiakan dengan calon istrinya itu. "Gimana, Pak? Ada apa?" Pak Sony mengelap mulutnya dengan tisu kemudian mulai berbicara. "Begini, Tuan. Ibu meminta saya untuk menyusul Tuan, meminta Tuan untuk segera pulang." Raut wajah Pak Sony berubah drastis, menjadi sangat serius. Biru hanya santai mendengarnya, menyedot kembali smoothie buah naga pesanannya yang belum habis, setelah Pak Sony diam lelaki itu meletakkan minumannya dan menatap asprinya, menyatukan jemari tangannya yang diletakkan di atas meja. "Saya sudah bilang ke mama, Pak, saya ada urusan di luar kota, Bapak juga tinggal bilang gitu harusnya.""Tapi, Ibu memaksa saya untuk membawa pulang Tuan hari ini