Sara tampak terlalu malas untuk mengatakan apa pun padanya, yang membuat Jefri sedikit frustrasi, bahkan panik. Dia selalu merasa Kak Sara tidak akan kembali lagi.Tangannya seperti refleks melingkar di pinggangnya memeluknya erat ....Aroma tembakau samar yang keluar dari tubuh Sara menusuk hidungnya.Bau ini sangat familier dan dia tiba-tiba merindukannya. Dia membenamkan kepalanya di rambutnya dan menghirup aroma itu dengan lembut."Kak Sara, kamu merokok lagi. Padahal kamu sudah janji nggak akan merokok lagi. Kenapa kamu ingkar janji?"Dia seperti seorang adik laki-laki yang menegur kakak perempuannya. Suaranya penuh rasa tidak senang dan frustrasi, sekaligus rasa tidak berdaya karena tidak bisa berbuat apa-apa."Tuan Muda Jefri, kamu punya pacar, apa pantas kamu memelukku seperti ini?"Suara samar wanita itu terdengar di telinganya, membuat Jefri menegang, tetapi dia tetap nekat memeluknya."Kak Sara, kamu dulu janji akan menemaniku melihat pemandangan salju pegunungan di utara. K
Ivan berhenti sejenak saat membalik halaman buku dan terdiam mungkin selama beberapa detik, lalu perlahan memutar kursi rodanya menghadap Sara."Kak Sara, kenapa kamu ke sini?""Aku ingin bertemu denganmu."Sara menghampirinya dan duduk di seberangnya setelah dipersilakan.Keduanya saling memandang seolah-olah mereka adalah saudara yang sudah lama tidak berjumpa. Mata mereka perlahan memerah."Ivan, bagaimana keadaanmu selama tinggal di Kota Ostia tahun ini?"Pada akhirnya, Sara-lah yang berbicara lebih dulu. Masih dengan nada seorang kakak yang perhatian kepada adiknya."Lumayan."Ivan menutup buku di tangannya dan meletakkannya di atas meja yang ada di sebelah. Lalu, dia mengangkat tangan dan memerintahkan seseorang membuatkan teh untuk Sara."Orang Kota Ostia terbiasa minum teh. Kamu mau teh apa?""Apa saja boleh."Sara mengangguk. Tidak peduli apa yang dia minum, yang terpenting adalah bisa bertemu adiknya lagi.Selanjutnya, mereka berdua tidak berkata apa-apa. Topik yang mereka ba
Dia sebenarnya sudah menduga Wina tidak akan menerima apa pun lagi darinya dan bahwa Sara akan mengembalikannya.Lagi pula, mereka sudah tidak mungkin bisa bertemu lagi sekarang.Setiap kali Ivan memikirkan hal ini, hatinya terasa seperti terkoyak, dan rasa sakitnya sangat menyayat hati.Dia tidak lagi pantas bertemu dengan orang yang pernah dia cintai.Kalau dia tahu sejak awal, tidak seharusnya dia jatuh cinta.Dengan begitu, dia tetap bisa berada di sisinya sebagai teman dan memanggilnya, Wina."Aku memang mau mengembalikan hadiah itu."Sara mengangguk pelan, sedikit canggung, mengeluarkan tas kertas itu dan menyerahkannya."Ivan, kata Wina, dia sudah berutang sangat banyak padamu dan nggak mungkin bisa terbayar seumur hidup. Dia nggak bisa menerimanya lagi."Ivan tidak menjawab, hanya meletakkan cangkir tehnya dan memandang Sara, tersenyum."Aku sudah memindah semua ini ke namanya. Yang ada di tanganmu ini cuma kertas-kertas saja."Jantung Sara tercekik dan dia menggertakkan gigi.
Dia tidak akan mati, tapi hidupnya lebih sengsara daripada kematian!Sara tidak bisa mengerti perasaan Ivan seluruhnya.Yang dia tahu, Ivan pasti sangat menderita sampai dia ingin mati.Kehidupan macam apa yang dia jalani di Kota Ostia selama setahun terakhir ini!Orang sebaik dia, kenapa bisa menderita depresi berat?!Sara memandang Ivan yang tersenyum cerah. Dia sungguh tidak tahan dan membiarkan air mata mengalir di kedua pipinya ...Dia kehilangan kekasih hatinya, kehilangan kakinya dan menderita depresi berat. Mengapa hidup Ivan begitu sulit?"Ada yang bilang, beberapa orang dilahirkan di dunia ini untuk melewati ujian yang akan mengangkat derajatnya di kehidupan selanjutnya. Jadi, Kak Sara, kamu nggak perlu merasa kasihan padaku."Ivan mengambil tisu dari meja dan menyerahkannya. Sikap lembut pria itu membuat Sara merasa bahwa dialah orang terbaik di dunia."Ivan, karena kamu bilang kamu nggak akan mati karena dia, kamu harus hidup sebaik mungkin dan jangan memikirkan yang macam-
Pikiran Sara dipenuhi rasa khawatir soal Ivan dan sedang tidak mood untuk pergi ke pesta dansa, tetapi Lilia sudah lama sudah berkali-kali mengajaknya, dia merasa tidak enak kalau tidak pergi.Setelah dia sampai ke rumah dan mandi, dia mengenakan gaun malam berwarna kuning gading keemasan. Gaun itu tidak terlalu berlebihan, sederhana dan agak formal.Dia pergi membawa tasnya dan segera tiba di Hotel Obsidian.Di ruang perjamuan, dalam sinar lampu yang redup, pria dan wanita berjas dan pakaian formal berdiri berkelompok, memegang gelas anggur, mengobrol penuh senyum.Dengungan pelan dan lembut musik Barat membuat suasana hati Sara yang awalnya murung menjadi lebih baik.Dia mengambil foto ruang perjamuan dan mengirimkannya ke Ivan:"Ivan, aku mau kencan buta lagi. Lihat pengalamanku, setelah melalui hubungan yang sangat gagal, aku akhirnya berhasil melepaskan diri. Kamu juga harus selalu semangat."Kata-kata penyemangat memang tidak kecil artinya, tetapi itu tetap membuat Ivan tersenyum
Gadis kecil itu sangat antusias. Begitu Sara duduk, dia mendekat ke telinganya dan berbisik,"Bibi Sara, ada yang ganteng di arah jam dua.""Aku sudah lama mengawasi dia untukmu. Ayo Bibi, kamu suka nggak? Kalau kamu suka, nanti aku bantu bawa ke sini."Sara memijat keningnya sambil menggeleng tanpa daya. Namun, melihat ke arah yang dikatakan Gisel ....Di area sofa yang ada di sudut memang ada seorang dokter berjas hitam dengan rambut potongan sedang yang ditata kasual.Kacamatanya berbingkai perak. Dia terlihat sangat elegan, baik-baik, dan auranya seperti orang pintar."Hmm ... penampilan dokter ini lumayan masuk tipenya.Sara menyelipkan rambut ke belakang telinganya dan mengangkat dagunya ke arah Gisel dengan sedikit malu-malu."Bawa dia ke sini.""Oke!"Gisel segera berdiri dan berlari ke arah pria tampan itu dengan penuh semangat.Sara melihat Gisel menepuk tangan dokter itu, lalu si dokter memandang Gisel dan tersenyum lembut.Segera, dia memberi beberapa potong kue kepada Gise
SMA Utara adalah sekolahnya, sementara Sandy Timothy ... adalah ketua OSIS kelas tiga.Dulu, setiap kali dia terlambat, seorang siswa laki-laki bernama Sandy akan menangkapnya dan memberinya poin.Sandy dalam ingatan Sara adalah tipe pemuda yang memakai kacamata berbingkai tebal, berkulit agak gelap dan tidak suka bicara.Namun, Sandy di hadapannya berkulit putih, tampan, sama sekali tidak terlihat seperti dirinya saat masih SMA."Kamu ... beneran Sandy Timothy?"Sara agak sulit percaya dan menatapnya dari atas ke bawah, "Kenapa kamu beda banget dari sebelumnya?"Sandy mengatupkan bibirnya dan tersenyum, "Waktu sekolah, aku cuma fokus belajar dan nggak pernah mengurus diri."Sara sangat malu pada awalnya, tetapi sekarang, setelah dia tahu bahwa pria ini teman sekolahnya di SMA, dia jadi santai.Dia memandang Sandy dan mendesah berulang kali. "Perubahanmu luar biasa, aku bahkan nggak kenal ...."Dia dulu berpikir bahwa dia tidak tampan. Tak disangka, latar belakang keluarganya juga sang
Menyentuh topik ini, Sara merasa sedikit sadar diri dan menundukkan kepalanya."Waktu masih sekolah memang banyak yang mendekatiku, tapi itu sudah lama sekali.""Lagi pula, aku janda. Aku bisa datang pesta kencan buta para dokter ini berkat direkturmu."Sara tidak berani menatap Sandy. Dia tidak tahu ekspresi apa yang ada di wajahnya, dia hanya mendengarnya berkata ...."Memangnya kenapa kalau janda? Jangan paksakan diri untuk menjalani sisa hidupmu dengan orang yang salah.""Karena pernikahan bukan belenggu, tapi rumah dan keluarga yang hangat."Pernikahan bukanlah belenggu, tetapi rumah dan keluarga ....Sara perlahan mengangkat kepalanya dan menatap Sandy di seberangnya.Dia menghadiri kencan buta ini dengan niat melihat-lihat saja.Sekarang, dia tiba-tiba merasa, mungkin jika dia bertemu pria baik, bukan tidak mungkin dia mempertimbangkannya lagi.Namun, Sara melirik Sandy dan bertanya ragu-ragu, "Kak Sandy, kamu tahu tempat hiburan terkenal di Kota Aster?"Sandy hanya fokus belaja