"Apa kamu bilang? Aku nggak salah dengar, kan?" tanya Yura tak percaya.Gilang menggeleng. "Kamu nggak salah dengar," ucap pria itu meyakinkan."Jadi ... kamu juga selingkuh?""Kenapa? Jangan merasa di sini kamulah yang paling tersakiti, karena nyatanya kamu duluan yang memulainya," desis pria itu. Dia sudah muak dengan tingkah polos Yura."Tapi ... aku--""Sebaiknya hal itu nggak usah dibahas lagi. Lebih baik kita bahas masalah kita ke depannya," sela Gilang cepat.Yura menggeleng, wanita itu rupanya tidak setuju dengan penuturan Gilang. "Nggak, aku ingin tahu masalah ini lebih detail. Bukannya kamu cinta banget sama aku? Kenapa kamu bisa kepikiran untuk selingkuh?" tanya wanita itu beruntun.Gilang menghela napas gusar. "Gini aja deh, sekarang pertanyaan itu aku balikin ke kamu, kenapa kamu selingkuh? Padahal kamu nyadar, kan, kalau kamu udah punya suami?"Yura langsung terdiam, dia bingung untuk menjawabnya."Nah, kenapa diam. Aku sedang bertanya.""Maaf, aku khilaf," tutur wanita
Gilang menggeram kesal ketika berkali-kali menghubungi nomor Kasih tapi tidak pernah tersambung. Berbagai pikiran buruk sudah bersarang di kepalanya.Apa yang saat ini wanita itu lakukan? Kenapa nomornya sampai tidak aktif? Apa wanita itu sedang bermesraan dengan suaminya?Itulah pertanyaan yang selalu Gilang lontarkan.Saat ini dia tengah mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, menuju rumah wanita itu, mungkin hanya untuk memastikan bahwa Kasih baik-baik saja. Dia akan memantau dari jarak jauh. Jika saja dia melihat Kasih bermesraan dengan suaminya, dia sudah memutuskan untuk mendatangi wanita itu, memberitahu apa yang sebenarnya terjadi."Sialan!" Berkali-kali Gilang mengumpat ketika pikirannya selalu mengarah ke sana. "Kenapa dia mematikan ponselnya, awas saja kau, habis kau malam ini!" desis Gilang.Kini Gilang sudah berada di dekat rumah wanita itu, Gilang menatap rumah wanita itu cukup tajam. Karena tidak terlalu terlihat, akhirnya pria itu memutuskan untuk memajukan mobil
"Udah kayak orang gila aja kamu itu, kenapa?" tanya Fandi sinis, dia pura-pura tidak tahu masalah pria itu. Dia sengaja memberikan pelajaran untuk pria itu."Diam, Lo!" bentaknya seraya mengacak rambutnya frustasi."Cuma tanya aja, kenapa malah nyolot? Oh, aku tahu, pasti masalah perempuan, kan?"Gilang mendelik kesal, sejujurnya dia enggan untuk membicarakan hal ini, menurutnya sungguh memalukan, tapi dia juga butuh teman curhat, agar emosi yang ada pada dirinya bisa mereda. Siapa tahu dengan dia bercerita, temannya itu bisa membantu mencari solusinya."Kasih pergi, dan aku nggak tahu dia ke mana," katanya pelan.Fandi mendengkus keras. "Kemarin-kemarin kamu ke mana aja? Kenapa baru sekarang dicari? Udah bosan bercinta sama istri baru cari pelampiasan lain," ejek pria itu.Gilang menatap Fandi dengan dahi mengernyit. Curiga sepertinya Fandi tahu sesuatu."Aku sama sekali nggak senang-senang. Aku ketemu Yura karena dia bilang lagi sakit, setiap aku mau pergi selalu ditahan. Kenapa kam
"Sekarang Kasih sudah pergi, jadi perbaiki lah hubunganmu dengan Yura, bila perlu kamu minta maaf sama dia kalau kamu pernah membuat kesalahan," kata Fandi tiba-tiba.Gilang menggeleng pelan. "Hubunganku dengan Yura udah nggak bisa diperbaiki lagi," katanya pelan.Fandi mengerutkan keningnya. "Kenapa? Apa karena Kasih? Kamu lebih memilih wanita itu dari pada istrimu sendiri?" tanya Fandi kesal.Lagi-lagi Gilang menggeleng. "Ini nggak ada sangkut-pautnya sama Kasih, aku dengan Yura udah selesai, bukan suami-istri lagi, makanya aku bertekat mau nikahi Kasih," ujar pria itu memberitahu."Kalau bukan karena Kasih, terus apa?""Sebenarnya Yura telah lama berselingkuh, sejak awal memulai karirnya, mirisnya aku baru tahu hal itu kemarin."Fandi menganga ketika mendengarnya. "Kamu serius? Nggak mengada-ada, kan?" tanyanya tak percaya."Memangnya sekarang aku lagi mood buat bercanda?" tanya Gilang kesal."Wah, wah, wah, pria setampan kamu aja dia bisa berpaling darimu, atau jangan-jangan dia k
Plak!Gilang meringis pelan ketika mendapat tamparan keras dari Diana."Dari awal aku udah peringatin kamu berkali-kali, tapi kamu anggap semuanya itu gampang. Sekarang lihat sendiri akibatnya, ini benar-benar fatal, Gilang!" pekik wanita itu, dia tidak terima jika nasib temannya itu akan seperti itu.Diana tahu, seberapa penting hidup ibunya bagi Kasih, bahkan wanita itu rela menukar kehidupannya demi ibunya, sampai-sampai rela menjual diri pada orang asing, itu juga karena campur tangan dari dia juga."Aku tahu aku salah, makanya aku datang ke sini, aku ingin bertemu dengannya."Diana tertawa sinis. "Kamu pikir Kasih ada di sini? Kalaupun ada, aku nggak bakal izinin kalian untuk bertemu.""Please, kasih tahu aku di mana dia sekarang.""Aku bilang nggak tahu ya nggak tahu! Kenapa maksa banget sih, aku aja kaget karena nasib Kasih sekarang seperti itu. Ibunya meninggal aja aku nggak tahu," gerutu wanita itu.Gilang mengerutkan keningnya. "Emangnya kamu nggak dikasih tahu?""Kasih kala
Beberapa bulan kemudian.Tok ... tok ... tok ...Gilang mendengkus keras ketika ada yang mengetuk pintu rumahnya berkali-kali, bukan hanya mengetuk pintu saja, tapi juga memencet bel rumah itu tanpa jeda. Jelas saja hal itu sangat menganggu tidurnya.Mau tak mau Gilang bangun dari tidurnya, dia langsung berjalan ke arah pintu. Ketika pintu sudah dia buka, Gilang menatap seseorang yang sedari tadi mengusik ketenangannya itu dengan tajam."Permisi, Pak. Maaf telah menganggu waktunya, ini ada paket atas nama Gilang, apa benar itu adalah Anda? Karena di sini tertera alamat rumahnya ada di sini," tanya kurir itu dengan ramah.Gilang terdiam beberapa saat, kemudian mengangguk pelan. "Iya, emang ada apa? Siapa yang mengirimnya? Setahu saya, saya tidak pernah belanja online," kata Gilang dengan dahi berkerut.Kurir itu tampak membolak-balik paket tersebut. Sepertinya tengah mencari tahu apa isi di dalamnya."Sepertinya sejenis kertas, Pak," sahut kurir itu.Gilang manggut-manggut, dia langsun
Gilang langsung menggendong bayi itu, ketika bayi itu sudah berada digendongnya, tiba-tiba saja dia melihat sebuah surat yang ada di kereta dorong, di mana tempat bayi itu diletakkan.Dengan cepat dia mengambil surat itu.[Sesuai dengan apa yang aku ucapkan. Ketika bayi itu lahir, aku akan memberikannya padamu. Aku sudah menunaikan janjiku, dan aku mohon padamu untuk sayangi bayi ini setulus hatimu. Aku sudah memberikan nama bayi ini, Amanda Jafran, itulah namanya. Panggil dia Manda. Dia cantik, wajahnya mirip seperti dirimu.]Gilang meremas kertas itu, matanya tampak berkaca-kaca ketika melihat bayi itu sedang tidur. Wajahnya begitu menenangkan."Tidak. Dia cantik seperti dirimu, Kasih," lirih pria itu.Gilang langsung bergegas menuju ke arah jalanan, dia sangat berharap jika masih bisa bertemu dengan wanita itu. Wanita yang selama ini dia rindukan, tapi semesta seakan tak berpihak padanya. Gilang sama sekali tak melihat kehadiran wanita itu. Padahal kalau dipikir-pikir belum begitu
Lima tahun kemudian."Bunda. Aku pulang."Kasih menatap anak lelakinya dengan dahi mengernyit, tak biasanya anaknya bertindak seperti itu."Kenapa wajahnya cemberut begitu, ada apa, hem?" tanya Kasih lembut, menyuruh anak itu untuk mendekat ke arahnya. Bastian pun menurut."Kenapa?"Anak itu menggeleng pelan, membuat Kasih menghela napas panjang."Bastian lapar, Nak?"Lagi-lagi anak itu menjawab dengan gelengan saja."Terus kenapa, coba bicara sama Bunda. Bicara pelan-pelan, Bastian kenapa?" tanya Kasih sekali lagi."Tadi aku dimarahin sama Bu Dina, dia marah-marah kalau aku belum bayar SPP selama dua bulan, Bun," adu anak lelaki itu dengan wajah cemberut.Kasih mengusap kepala anaknya secara perlahan. "Besok kita bayar ya, biar Bastian nggak dimarahin lagi."Bastian menatap wajah ibunya dengan iba. "Memangnya Bunda udah punya uang? Jualan Bunda udah laku banyak ya?"Kasih mengangguk sambil tersenyum lebar. "Iya, tadi ada orang yang beli dagangan Bunda, dia borong semuanya. Bastian ng