"Mysh, kita harus pergi. Mom tidak ingin kita ketinggalan pesawat," bujuk Marry Johannson.
Mysha bersembunyi di balik punggung William dan masih menangis keras.
"Mysh! Mom tak mungkin meninggalkan kamu di sini. Kita pergi sekarang, ya!" Marry lagi-lagi memaksa Mysha, kali ini ia bahkan menarik lengan Mysha yang masih memeluk William erat.
"Mrs. Johannson, Anda tidak perlu sekasar itu pada Mysha!" seru William marah.
Ia tahu tindakannya tidak sopan, tapi ia tak bisa membiarkan Mysha diperlakukan seperti itu. "Beri saya waktu beberapa menit, untuk membujuknya. Tunggulah di mobil, saya akan mengantarkannya pada Anda," pinta William.
"Baiklah, Will. Lima menit. Tolong antar Mysha ke mobil dalam lima menit. Jika tidak, dengan terpaksa saya akan membopongnya," ujar Marry sambil berlalu meninggalkan mereka.
"Will ... Will ... Will!" Bocah perempuan itu menggerung sekerasnya. Setiap patah kata yang terucap sama sekali tak terdengar kecuali kal
William benar-benar tidak paham akan jalan pikiran Axel. Pria dengan mata hijau itu menatap layar laptopnya dengan alis berkerut tajam. Sebuah surat pengunduran diri dengan nama Axel baru saja masuk ke dalam kotak masuk surat elektroniknya, membuat paginya menjadi muram. Sang direktur membaca kata per kata dengan teliti, berusaha mencari alasan di balik ini semua.Alasan Axel sederhana, dia hanya ingin pensiun dini, menikmati uang berlimpah hasil jerih payahnya selama sepuluh tahun terakhir, dan menikmati pemasukan pasif dari berbagai macam aset yang dia miliki. William mungkin akan percaya begitu saja bila sebelumnya Axel tidak berbuat ulah dengan membatalkan pernikahannya dengan Mysha. Walau William pasti kehilangan aset berharga, tapi pria itu tidak pernah mengekang kebebasan orang. Hanya saja kali ini berbeda. Serangkaian tindakan aneh Axel selama seminggu ini membuat pria tampan itu curiga."Sambungkan ke kantor Axel," perintahnya pada sekretaris tanpa basa-basi.
Ada perasaan tak enak kala Thea Davis berjalan mendekatinya di ruang tamu. Ketenangannya membaca majalah ekonomi pada Jumat malam itu terusik. William berusaha tetap tenang terutama saat ibunya memamerkan senyum manja yang biasa ia keluarkan jika ada sesuatu yang direncanakan diam-diam."Aku mengundang Mysha untuk makan malam besok."William memandang Thea dengan tatapan tak percaya. Ia langsung bangkit dari duduknya meski wajahnya tak menyiratkan keterkejutan. Ibunya kali ini bahkan tanpa memberitahu telah mengundang Mysha untuk makan malam di akhir minggu ini.Demi Tuhan! Bahkan di saat William mati-matian berusaha menekan semua asa yang bersemi dengan begitu suburnya, Thea justru menebarkan pupuk dan berusaha agar rasa itu tak hadir sepihak."Kenapa kau tampak tak senang?" Thea tersenyum begitu lembut. Senyum tulus seorang ibu yang akan melakukan apa pun demi kebahagiaan keluarganya.William masih memasang topeng sekaku pualam. "Mom, kumohon jan
William balas menatap gadis yang memandanginya. Kata-kata Mysha begitu menohok. Namun, hatinya menolak untuk percaya ucapan gadis itu. Ia benar-benar masih berharap suatu saat gadis yang dicintainya akan mampu mengingat masa kecil mereka. Perlahan-lahan, hingga tiada rasa sakit yang dirasa setiap kenangan mereka melintas di kepala gadis berkacamata itu.William kembali menarik napas dalam. Menekan segala perasaan yang berkecamuk di dalam hati. Rasanya akhir-akhir ini ia membutuhkan pengendalian diri lebih dari biasanya.“Seberharga apa pun, masa lalu tetaplah masa lalu,” ujar William tenang. “Mysh ... , percayalah aku hanya tidak ingin melihatmu kesakitan.”Mysha melihat kesungguhan di mata pria itu ketika memintanya untuk percaya. Dan ia meyakininya. Yang tidak ia mengerti adalah sikap pria di sampingnya yang tetap tenang dan datar menghadapi emosinya yang meninggi. Kini ia justru merasa bersalah telah menumpahkan kekesalannya sendiri ke
William menghubungi Michael lewat ponsel. Dia tahu betapa sibuk Michael akhir-akhir ini, firma hukumnya mendapat banyak kasus yang disorot oleh media. Di satu sisi, firma Michael dikenal oleh banyak orang, tapi bagai pedang bermata dua, seluruh tingkah lakunya semakin diawasi dan satu langkah salah dapat berakibat karir pria berkacamata itu hancur.Akibat lainnya adalah dia tidak bisa sepenuhnya menemani Mysha sebagai seorang saudara dalam masa-masa kelam wanita itu. William mendesah, dia hanya berharap Mysha ditemani lebih banyak oleh orang-orang yang peduli kepada dirinya."Halo," sahut Michael riang di ujung sambungan. "Will? Ada apa meneleponku di akhir pekan?""Ada hal yang ingin kubicarakan. Apakah kita bisa bertemu sekarang?""Seperti biasa, tanpa basa-basi." Michael tertawa pelan, memaklumi sikap direktur satu itu. "Aku masih harus menyelesaikan berkas untuk sidang lusa. Kalau tidak keberatan, bisakah kalau kau yang datang ke apartemenku?"
Kisah tentang Mysha yang terlontar dari mulut Michael membayangi kepala William sejak pagi. Di ruang kerjanya, pria itu mematung tanpa mengerjakan apa-apa. Sebuah masa lalu yang begitu kelam masih tergambar jelas. Pantas saja Mysha menjadi wanita yang begitu mandiri. Ada senyum tertahan kala mengingat wanita itu membetulkan mesin kopinya untuk kali yang pertama. Mysha sungguh telah menjelma sebagai sosok yang luar biasa tegar.Namun, jika mengingat ketegaran Mysha runtuh saat Axel mencampakkan dirinya, mau tak mau itu membuat hati William terasa nyeri. Ia merasa tak mungkin bisa membuat Mysha langsung berpaling kepadanya dan melupakan Axel, meski lelaki playboy itu telah menorehkan segala luka. William tahu, hati Mysha masih setia.Apa yang bisa ia lakukan untuk menghibur Mysha? Setidaknya sembari menunggu sang waktu menunaikan tugasnya untuk menghapus jejak kepedihan yang ditinggalkan Axel dalam hati wanita itu.Pekerjaan.Ya ... William sadar, ia juga t
William menghela napas untuk menenangkan diri. Ia tidak boleh terpancing konfrontasi yang dilancarkan oleh pemilik apartemen itu. Bagaimana pun niatnya datang ke sini adalah demi wanita yang dicintainya.“Kau tak bisa lari selamanya. Hadapilah!” jawab William dingin. Tatapannya mengunci netra biru yang berkilat marah."Bukankah kita sudah bicara semalam suntuk. Kau sudah dengar semua alasannya. Apa lagi yang kau mau?" Senyum sinis terukir di wajah tampan lawan bicara William.William memandang ke dalam ruangan dari pintu yang setengah terbuka di hadapannya. Jendela lebar di dalam apartemen itu memerangkap jutaan garis cahaya ke ruang tamu yang dihiasi sofa putih besar. Bahkan pemilik apartemen ini tak mau repot-repot mempersilakannya masuk."Aku hanya mau Mysha bahagia." William menjawab singkat.Seketika itu juga, kesinisan di wajah pria berambut pirang itu lenyap.“Kalau begitu bahagiakan dia. Buat dia melupakanku!&
Hati William bergolak ketika Mysha melontarkan satu pertanyaan itu. Dia tidak ingin berbohong pada Mysha tapi dia juga tidak ingin melanggar janjinya pada Axel. Sama seperti ayahnya selalu memegang janji, William pun meletakkan prinsip yang sama dalam hidupnya. Hanya saja, pancaran duka di mata emas Mysha membuat hatinya gamang. Pria itu mengambil napas tidak kentara untuk menenangkan diri. Dalam waktu singkat, logikanya berjalan mendahului perasaannya.Jika William memberi tahu kebenaran tanpa persetujuan Axel, Mysha pasti akan segera memelesat pergi ke apartemen Axel yang baru dan wanita itu akan kembali terluka oleh penolakan pria itu. Entah hal bodoh apa yang akan dilakukan Axel untuk menjauhkan Mysha dari kebenaran dan William tidak bisa mengambil risiko adanya luka lain yang tertoreh dalam hati rapuh wanita itu."Will!" panggil Mysha menuntut jawaban membuat kesadaran William kembali mendarat pada kenyataan. "Katakan padaku, apakah kau tahu di mana Axel sekarang?
"Are you out of your mind?!" Axel menggeram. "Apa kau pikir aku tak punya otak untuk tahu risiko yang kuhadapi kalau sampai berkeliaran di sana dan bertemu Mysha?"William hanya menelengkan kepalanya sedikit, seolah nemastikan kata-kata lawan bicaranya."Whatever!" Axel berbalik dan membanting pintu kamarnya keras. Membiarkan William sendirian di ruang tamu.Sementara direktur utama itu seolah paham betul tindakan yang baru saja diterimanya dan sama sekali tidak merasa terkejut. Masih dengan tenang, ia kembali berjalan dan menutup pintu apartemen Axel perlahan.Dari tindakan Axel, bisa disimpulkan pria itu benar-benar bukan sosok yang dilihat Mysha. Itu sudah lebih dari cukup untuk saat ini. William lebih senang kalau Axel dan Mysha bisa bertemu bukan karena ketidaksengajaan. Namun, karena memang saling ingin membicarakan tentang apa yang seharusnya mereka selesaikan bersama.Lagi-lagi William harus mampu menahan semua rasa pedih juga kekesalan yan