"Are you out of your mind?!" Axel menggeram. "Apa kau pikir aku tak punya otak untuk tahu risiko yang kuhadapi kalau sampai berkeliaran di sana dan bertemu Mysha?"
William hanya menelengkan kepalanya sedikit, seolah nemastikan kata-kata lawan bicaranya.
"Whatever!" Axel berbalik dan membanting pintu kamarnya keras. Membiarkan William sendirian di ruang tamu.
Sementara direktur utama itu seolah paham betul tindakan yang baru saja diterimanya dan sama sekali tidak merasa terkejut. Masih dengan tenang, ia kembali berjalan dan menutup pintu apartemen Axel perlahan.
Dari tindakan Axel, bisa disimpulkan pria itu benar-benar bukan sosok yang dilihat Mysha. Itu sudah lebih dari cukup untuk saat ini. William lebih senang kalau Axel dan Mysha bisa bertemu bukan karena ketidaksengajaan. Namun, karena memang saling ingin membicarakan tentang apa yang seharusnya mereka selesaikan bersama.
Lagi-lagi William harus mampu menahan semua rasa pedih juga kekesalan yan
Baru kali ini Mysha berharap lift yang akan membawanya ke lantai 19 berjalan lambat saja. Bahkan berdiri di dalam kotak besi sendirian, ia dapat mendengar suara detak jantungnya yang bergemuruh.Seandainya ia bisa memiliki sedikit saja ketenangan William, tak mungkin dirinya segugup ini."Rileks, Mysh! Ini hanya meeting seperti biasa," ucapnya lirih kepada diri sendiri.Lift berhenti kemudian membuka. Dengan langkah lambat ia berjalan keluar menuju ruang direktur utama CLD. Sepanjang koridor Mysha menarik napas dalam lalu mengembuskan perlahan untuk menenangkan diri.***"Mr. Davis sudah menunggu Anda, Miss Natasha." Sekretaris direktur menyambut dan membukakan pintu kantor William untuknya.Mysha membalasnya dengan senyum ramah dan anggukan. Lidahnya terlalu kelu untuk bicara."Good afternoon, Sir! Claudia bilang, Anda memanggil saya." Mysha menyapa William yang sedang menatap laptop dengan serius dari kursi kerjanya."Hi, Mys
Mary Natasha terdiam selama beberapa saat dengan tangan masih menggenggam gagang pintu. Matanya mengerjap beberapa kali dengan heran memandangi seorang pria gagah berambut hitam di hadapannya."Will?" tanyanya memastikan."Ya, Mrs. Natasha," balas William tanpa basa-basi. "Apakah saya bisa masuk?"Masih terkejut, Mary membuka pintu lebih lebar dan menyingkir dari ambang pintu, memberikan jalan pada WIlliam untuk masuk. Direktur utama CLD tersebut melangkah ke dalam ruang tamu yang minimalis tapi manis. Di belakangnya, Mary menutup pintu sebelum berjalan mendahului William dan mempersilakan pria itu duduk di sofa."Kau sudah menjadi lelaki yang gagah." Sebuah senyum tipis muncul di wajah Mary ketika dia membawakan teh hangat dan meletakkannya di hadapan William. "Tidak terasa sudah dua puluh tahun sejak terakhir kali kita bertemu."William menyunggingkan senyum datar yang sopan sambil meminum teh yang mengepulkan uap. Menyesap teh di tengah udara mu
Jika bisa, William ingin menyeret Axel keluar dari apartemennya dan melemparkan pria itu ke hadapan Mysha. Ia tak habis pikir bagaimana seorang CEO yang dahulu kerap tampil di garda depan dengan penuh percaya diri, juga acap kali bertindak sangat berani demi mendapatkan tender, kini justru bersembunyi di sini. Mengurung diri dan tak berani menghadapi kenyataan.Sudah tak terhitung berapa kali ia bolak-balik menyambangi apartemen Axel dan berusaha membujuknya untuk menemui Mysha. Namun, hanya kegagalan bertubi didapat.William tahu, ia tak bisa tinggal diam. Tidak ada perkembangan berarti sejak enam bulan yang lalu Axel meninggalkan Mysha. Sebanyak dan sesering apa pun dirinya hadir di sisi Mysha, ia hanya seperti bayang-bayang. Pikiran wanita itu hanya untuk Axel. Meski pedih, tapi William tak bisa mengelak akan kenyataan pahit itu. Cinta Mysha belum bisa beralih padanya.Di kantor, ia memandangi laptopnya sembari terus berpikir. Pekerjaan tak begitu menyita per
Ingin rasanya William menghajar pria di hadapannya ini hingga babak belur. Namun ia sadar tindakan itu hanya akan membawa masalah baru. Lagi pula belum tentu juga Axel akan berubah pikiran.Direktur utama CLD itu kembali menarik napas panjang untuk mendinginkan hatinya.“Pikirkanlah baik-baik. Bagaimana pun Mysha berhak mengetahui yang sesungguhnya. Dan aku tidak akan bosan mendatangimu sampai kau bersedia menemui Mysha.” William mengatakannya dengan penuh penekanan.Pria tampan dengan ekspresi datar itu pergi meninggalkan Axel yang masih diam menatap ke arah jendela besar apartemen yang menyuguhkan pemandangan langit malam dan kerlip lampu kota dari kejauhan.***Netra biru itu menerawang, mengingat kembali masa-masa indahnya bersama Mysha. Gadis sederhana yang pada awalnya sama sekali tak menarik perhatiannya justru menjadi seseorang yang paling berharga dalam hidupnya. Kepolosan, keteguhannya memegang prinsip, dan ketulusan gadis itu
Mysha merasakan dadanya berdesir ketika melihat senyum William yang diarahkan kepadanya, merasakan aliran darah mengalir lebih banyak ke daerah wajah. Tidak, ini tidak boleh, Mysha berusaha mengingatkan dirinya. Bayangan Axel seketika berkelebat dalam benak, menghujamkan rasa sakit ke dalam hatinya. Luka yang sempat dia rawat kembali mengeluarkan darah."Ke mana?" tanya Mysha tetap mempertahankan senyumnya. Dia merasa semakin ahli untuk bersandiwara, menutupi kondisi hatinya yang tidak menentu di hadapan para klien dan William."Kau akan tahu." William tersenyum samar sebelum menyalakan mesinnya. "Tapi sebelumnya, aku ingin ke sebuah tempat."Mysha menatap William penuh tanya. Nyaris tidak pernah pria berambut hitam itu menyembunyikan sesuatu, tapi kali ini dia melakukan hal di luar kebiasaan. Walau rasa penasaran mendesak keras, wanita itu memilih tetap bungkam dan membiarkan waktu menjawab.William menggerakkan mobil itu membelah kota New York yang seda
Mata William terbelalak kaget mendengar Mysha ingin mengingat masa lalunya.Belum sampai satu detik kemudian, William kembali menetralkan wajahnya. "Aku percaya, ingatanmu pasti akan kembali, jadi jangan memaksakan diri." Pria itu menggenggam tangan Mysha lembut seolah tak ingin sampai wanita itu terluka kembali.Mysha tersenyum lembut. "Kau membuatku berani, Will. Terima kasih banyak untuk segalanya. Kau mau membantu, bukan?"Ada hening menjeda sebelum Direktur Utama CLD membelai sudut mata Mysha yang mulai tergenang air mata."I will."Mysha cukup banyak bertanya tentang apa yang terjadi di masa lalu. Namun, Willian terus berusaha menjawab semua dengan kalimat diplomatis.Malam sudah tiba kala keduanya tiba di depan apartemen Mysha."Oh, iya. Apa kau mau menemaniku hari Jumat ini?" Ada harapan terpancar samar di wajah William.Mysha terlihat keheranan. "Boleh saja. Tapi ke mana?""Nanti kau akan tahu." William mengecup
Mysha kehilangan kata-kata. Pipinya menghangat, ia yakin rona merah jambu bersemu di sana. Hatinya melambung mendengar kalimat pria yang jarang menunjukkan ekspresi. Namun lidahnya begitu kelu untuk menjawab.“Will, kurasa ….”William menggeleng, “Tidak perlu kau jawab. Aku hanya ingin kau tahu.” Lelaki itu tersenyum singkat. “Sudah waktunya makan siang. Sebaiknya kita pergi,” ajak William memutus pikiran Mysha.William berdiri dan mengulurkan tangannya kepada Mysha yang masih terlihat bingung. Gadis itu pun tersenyum menyambut tangan Direktur CLD.Mereka berpamitan kepada Aris dan Mirna yang masih sibuk melayani pelanggan.***Hari masih sore ketika mereka tiba di apartemen Mysha.“Apa kita tidak sebaiknya kembali ke kantor?” tanya Mysha. Kecemasan tampak jelas di wajahnya setelah hampir seharian meninggalkan pekerjaan.“Sesekali pulang cepat tak masalah.
William melirik ke arah Mysha yang memandangnya khawatir. Dia pamit dengan pandangan mata sebelum berjalan menjauh dari wanita itu."Maksud Anda?" tanya William dengan suara pelan menahan emosi."Saat ini Mr. Delacroix sedang berada di instalasi gawat darurat dan beliau tidak sadarkan diri. Saya harap Anda bisa segera kemari."William memandang Mysha dari kejauhan. Axel tidak boleh meninggal sebelum membereskan luka yang ada di hati Mysha.Direktur itu menghela napas dalam sebelum berkata, "Baiklah, saya akan tiba di sana paling lambat satu jam lagi. Tolong lakukan apa saja untuk membuat Axel bertahan.""Baik."William menutup teleponnya dan menghitung mundur dari angka sepuluh untuk menenangkan diri. Mysha tidak boleh tahu akan hal ini. Pria itu segera menghampiri Mysha yang masih asyik mengamati pemandangan."Is everything alright?" tanya wanita itu memandang William khawatir."I'm so sorry, Mysh. Sepertinya aku harus pergi,