Jika bisa, William ingin menyeret Axel keluar dari apartemennya dan melemparkan pria itu ke hadapan Mysha. Ia tak habis pikir bagaimana seorang CEO yang dahulu kerap tampil di garda depan dengan penuh percaya diri, juga acap kali bertindak sangat berani demi mendapatkan tender, kini justru bersembunyi di sini. Mengurung diri dan tak berani menghadapi kenyataan.
Sudah tak terhitung berapa kali ia bolak-balik menyambangi apartemen Axel dan berusaha membujuknya untuk menemui Mysha. Namun, hanya kegagalan bertubi didapat.
William tahu, ia tak bisa tinggal diam. Tidak ada perkembangan berarti sejak enam bulan yang lalu Axel meninggalkan Mysha. Sebanyak dan sesering apa pun dirinya hadir di sisi Mysha, ia hanya seperti bayang-bayang. Pikiran wanita itu hanya untuk Axel. Meski pedih, tapi William tak bisa mengelak akan kenyataan pahit itu. Cinta Mysha belum bisa beralih padanya.
Di kantor, ia memandangi laptopnya sembari terus berpikir. Pekerjaan tak begitu menyita per
Ingin rasanya William menghajar pria di hadapannya ini hingga babak belur. Namun ia sadar tindakan itu hanya akan membawa masalah baru. Lagi pula belum tentu juga Axel akan berubah pikiran.Direktur utama CLD itu kembali menarik napas panjang untuk mendinginkan hatinya.“Pikirkanlah baik-baik. Bagaimana pun Mysha berhak mengetahui yang sesungguhnya. Dan aku tidak akan bosan mendatangimu sampai kau bersedia menemui Mysha.” William mengatakannya dengan penuh penekanan.Pria tampan dengan ekspresi datar itu pergi meninggalkan Axel yang masih diam menatap ke arah jendela besar apartemen yang menyuguhkan pemandangan langit malam dan kerlip lampu kota dari kejauhan.***Netra biru itu menerawang, mengingat kembali masa-masa indahnya bersama Mysha. Gadis sederhana yang pada awalnya sama sekali tak menarik perhatiannya justru menjadi seseorang yang paling berharga dalam hidupnya. Kepolosan, keteguhannya memegang prinsip, dan ketulusan gadis itu
Mysha merasakan dadanya berdesir ketika melihat senyum William yang diarahkan kepadanya, merasakan aliran darah mengalir lebih banyak ke daerah wajah. Tidak, ini tidak boleh, Mysha berusaha mengingatkan dirinya. Bayangan Axel seketika berkelebat dalam benak, menghujamkan rasa sakit ke dalam hatinya. Luka yang sempat dia rawat kembali mengeluarkan darah."Ke mana?" tanya Mysha tetap mempertahankan senyumnya. Dia merasa semakin ahli untuk bersandiwara, menutupi kondisi hatinya yang tidak menentu di hadapan para klien dan William."Kau akan tahu." William tersenyum samar sebelum menyalakan mesinnya. "Tapi sebelumnya, aku ingin ke sebuah tempat."Mysha menatap William penuh tanya. Nyaris tidak pernah pria berambut hitam itu menyembunyikan sesuatu, tapi kali ini dia melakukan hal di luar kebiasaan. Walau rasa penasaran mendesak keras, wanita itu memilih tetap bungkam dan membiarkan waktu menjawab.William menggerakkan mobil itu membelah kota New York yang seda
Mata William terbelalak kaget mendengar Mysha ingin mengingat masa lalunya.Belum sampai satu detik kemudian, William kembali menetralkan wajahnya. "Aku percaya, ingatanmu pasti akan kembali, jadi jangan memaksakan diri." Pria itu menggenggam tangan Mysha lembut seolah tak ingin sampai wanita itu terluka kembali.Mysha tersenyum lembut. "Kau membuatku berani, Will. Terima kasih banyak untuk segalanya. Kau mau membantu, bukan?"Ada hening menjeda sebelum Direktur Utama CLD membelai sudut mata Mysha yang mulai tergenang air mata."I will."Mysha cukup banyak bertanya tentang apa yang terjadi di masa lalu. Namun, Willian terus berusaha menjawab semua dengan kalimat diplomatis.Malam sudah tiba kala keduanya tiba di depan apartemen Mysha."Oh, iya. Apa kau mau menemaniku hari Jumat ini?" Ada harapan terpancar samar di wajah William.Mysha terlihat keheranan. "Boleh saja. Tapi ke mana?""Nanti kau akan tahu." William mengecup
Mysha kehilangan kata-kata. Pipinya menghangat, ia yakin rona merah jambu bersemu di sana. Hatinya melambung mendengar kalimat pria yang jarang menunjukkan ekspresi. Namun lidahnya begitu kelu untuk menjawab.“Will, kurasa ….”William menggeleng, “Tidak perlu kau jawab. Aku hanya ingin kau tahu.” Lelaki itu tersenyum singkat. “Sudah waktunya makan siang. Sebaiknya kita pergi,” ajak William memutus pikiran Mysha.William berdiri dan mengulurkan tangannya kepada Mysha yang masih terlihat bingung. Gadis itu pun tersenyum menyambut tangan Direktur CLD.Mereka berpamitan kepada Aris dan Mirna yang masih sibuk melayani pelanggan.***Hari masih sore ketika mereka tiba di apartemen Mysha.“Apa kita tidak sebaiknya kembali ke kantor?” tanya Mysha. Kecemasan tampak jelas di wajahnya setelah hampir seharian meninggalkan pekerjaan.“Sesekali pulang cepat tak masalah.
William melirik ke arah Mysha yang memandangnya khawatir. Dia pamit dengan pandangan mata sebelum berjalan menjauh dari wanita itu."Maksud Anda?" tanya William dengan suara pelan menahan emosi."Saat ini Mr. Delacroix sedang berada di instalasi gawat darurat dan beliau tidak sadarkan diri. Saya harap Anda bisa segera kemari."William memandang Mysha dari kejauhan. Axel tidak boleh meninggal sebelum membereskan luka yang ada di hati Mysha.Direktur itu menghela napas dalam sebelum berkata, "Baiklah, saya akan tiba di sana paling lambat satu jam lagi. Tolong lakukan apa saja untuk membuat Axel bertahan.""Baik."William menutup teleponnya dan menghitung mundur dari angka sepuluh untuk menenangkan diri. Mysha tidak boleh tahu akan hal ini. Pria itu segera menghampiri Mysha yang masih asyik mengamati pemandangan."Is everything alright?" tanya wanita itu memandang William khawatir."I'm so sorry, Mysh. Sepertinya aku harus pergi,
Ada luka yang masih mengerak di relung hati Mysha. Sampai kapan nyerinya akan sirna tanpa jejak? Kadang wanita itu merasa bahwa yang ia butuhkan hanyalah penjelasan penuh kejujuran. Ditinggalkan tanpa ada penyelesaian membuatnya tak tenang.Mysha meregangkan tubuh. Pekerjaannya hari ini telah selesai. Diliriknya ponsel yang terletak di sisi kanan meja. Tak ada tanda-tanda William menghubunginya. Ada rasa aneh menyisip. Keinginan untuk tahu di mana pria itu berada sekarang. Apa ini artinya ia merindu?Mysha menggeleng. Memang sudah hampir satu tahun berlalu, tapi hawa gigil tetap terasa setiap mengingat Axel. Entah karena pengaruh musim gugur yang baru datang, atau karena hatinya belum juga bisa menerima kehangatan.Dering ponsel membuyarkan lamunan. William menghubunginya. Mungkin hendak mengonfirmasi tentang rencana makan malam mereka hari ini. Namun, dugaan Mysha meleset."I'm so sorry." William terdengar penuh rasa bersalah. "Ada urusan mendesak. Aku h
Setelah menolak dan berdebat cukup lama dengan William akhirnya Mysha menurut. Pria itu benar, dirinya tidak akan bisa berjalan maju jika masih berkubang dalam pikiran tentang Axel. Dan pertemuan ini ibarat sebuah pintu yang akan menentukan ke arah mana langkah berikutnya harus ia tempuh.William masih tetap diam sepanjang perjalanan. Pria itu bahkan tidak memberi tahu ke mana tujuan mereka. Mysha pun menyerah. Ia berhenti bertanya dan memalingkan wajahnya, menatap pemandangan dari jendela.William berusaha berkonsentrasi untuk menyetir, tetapi pikirannya tetap bercabang. Melihat Mysha hanya membuang pandangan ke luar jendela, ia semakin yakin, ada pergulatan batin di sana. Ia ingin menenangkan wanita itu, tapi ia tak tahu harus berbuat apa. Saat ini yang bisa ia lakukan hanya menunggu.Ada rasa lega di hatinya karena pada akhirnya Axel meluluskan permintaannya. Ia berharap sakit hati Mysha bisa hilang setelah tahu alasan kepergian Axel yang sebenarnya. Di sisi
Waktu berlalu. Musim gugur telah berubah menjadi musim dingin.Kesibukan akhir tahun menuntut Mysha dan William untuk sering bekerja lembur. Apalagi mereka harus mempersiapkan laporan tahunan dan menyelenggarakan annual meeting. Namun, kesibukan tidak membuat Mysha melupakan Axel. Wanita itu masih saja menjenguknya setiap akhir pekan. Membawakan bunga, membacakan buku, bercerita, juga memasak makanan untuknya."Mysh, kau juga harus menjaga kesehatanmu. Kita tidak perlu menjenguk Axel setiap minggu." William mengingatkan Mysha saat wanita bermata keemasan itu kembali mengajaknya ke Greenwich Village."I'm okay, Will. Axel membutuhkan kita. Dia butuh teman, butuh orang-orang yang peduli dan menyayanginya agar tetap semangat," ujarnya beralasan."Ya, tetapi kau juga perlu beristirahat. Satu minggu kau selalu bekerja lembur, dan di akhir pekan kau masih bepergian untuk merawat orang sakit. Aku tidak ingin kau juga jatuh sakit." Lagi-lagi William mengungkapkan