Mysha menahan semua gejolak dalam dada. Memejamkan mata selama dua detik untuk mengumpulkan emosinya yang tercecer akibat Axel.
Tidak boleh menangis di hadapan pria yang sudah menghancurkannya.
General manager muda itu melangkah mantap menuju podium, menghilangkan jejak-jejak patah hati yang membayangi wajah. Dia sudah mempersiapkan segalanya, flashdisc berisi data sudah diserahkan kepada operator dan materinya lengkap.
Mysha menarik napas sebelum mulai berbicara, "Good morning, ladies and gentleman. My name is Mysha Natasha, Crown Land Development's general manager. I would like to ...."
Selanjutnya berjalan lancar. Mysha berbicara tentang kondisi perusahaan, merangkum hal-hal penting yang terjadi selama setahun di CLD serta mengajukan beberapa perubahan sistem kerja agar lebih efektif. Pandangan mata berwarna emas itu menyapu setiap undangan, memastikan poin-poinnya tersampaikan dengan baik. Mysha dapat melihat kekaguman di pa
Tanpa bisa dicegah, kali ini Michael mengarahkan pukulannya ke rahang Axel tanpa ampun.Axel terhuyung ke samping, tapi ia langsung mampu kembali tegak. Belum sempat Axel melakukan apa pun, kali ini tangan kiri Mike menyerang ke ulu hati.Kembali Axel terdorong mundur dengan rasa sakit hebat menyergap.Michael seolah tak mendengar Mysha terus memanggil namanya histeris, berusaha mencegah pria berkacamata itu melampiaskan seluruh amarah tertahan di balik senyum manis yang sedari tadi ia pancangkan di wajahnya. Michael ingin menghajar Axel sampai wajah yang selalu lelaki itu banggakan hancur.Beraninya ia melanggar janjinya! Beraninya Axel menyakiti adik angkatnya.Baru saja Michael hendak melancarkan serangan berikutnya, seseorang menahan tubuh dan menariknya ke belakang."Lepaskan, Wil!" Michael meraung.William bergeming dan mengencangkan seluruh ototnya guna menahan Michael yang masih meronta. Harus William akui, pria berkacamata it
Mysha terdiam menatap pemandangan dari balik kaca jendela taksi yang berganti cepat. Pohon-pohon yang memutih karena salju, gedung-gedung bertingkat, mall, serta jalan-jalan yang dulu selalu dilewatinya. Semua masih tetap sama. Seolah menyambut kedatangan Mysha kembali ke kota tempat ia dibesarkan. Kepulangan yang sama sekali tidak direncanakannya. Hanya ibunya yang sanggup memaksanya pulang.Mysha teringat pembicaraan telepon terakhir mereka, mom masih saja menanyakan apakah ia masih memegang teguh nasehatnya agar tidak melakukan hubungan seks pranikah, walau dirinya dan Axel sudah berencana akan menikah?Mom juga tidak terdengar begitu sedih saat Mysha mengatakan hubungannya dan Axel telah berakhir. Sejak dulu ibunya memang tak pernah memaksa, apalagi soal pernikahan. Mom selalu berprinsip menikah harus didasari oleh cinta dan komitmen untuk setia seumur hidup. Jika tidak ada kesetiaan, untuk apa pernikahan dipertahankan.
Michael menghela napas panjang sebelum melanjutkan. Genggaman tangannya tidak pernah lepas dari Mysha, memberikan ketenangan sementara suara rendahnya mulai terdengar, "Aku yang pertama kali memberikan ide pada Mysha supaya dia menggantikan ayahnya. Waktu itu aku berharap Mysha dapat mengelola aset dan hal-hal yang sudah dibangun oleh beliau."Mary melipat tangannya di dada, mengeratkan sifat defensif setiap kali Eric disinggung. Dari matanya Michael dapat melihat rasa tidak suka yang nyata. Untung saja, wanita setengah baya itu menahan lidahnya dari menyela."Mysha tidak ingin langsung mendapatkan jabatan sebagai direktur utama. Karena itu, dia minta diizinkan bekerja sebagai general manager agar dapat lebih mengenal kondisi perusahaan," lanjut Michael dengan menyunggingkan senyum ramah. "Anda sudah membesarkan seorang gadis yang luar biasa, Ma'am. Ia meminta agar tidak ada seorang pun yang tahu siapa dirinya agar bisa bergerak bebas, mengetahui seti
William masih tak mengucap sepatah kata pun menghadapi cecaran pertanyaan Mysha. Pria itu tetap menyetir tanpa ada perubahan mimik wajah yang berarti, meski Mysha sempat menaikkan nada kepadanya karena kesal. Toh pada akhirnya ketenangan William yang menjadi pemenang. Mysha pun menyerah dan memutuskan diam seraya membuang pandangan ke luar jendela. Mobil yang ditumpangi mereka menerobos lalu lintas padat New York entah menuju ke mana.Sepanjang perjalanan yang ternyata memakan cukup banyak waktu itu, Mysha tak henti berpikir tentang bagaimana ia harus bersikap jika bertemu Axel. Apa dia akan mengamuk? Apa ia akan bahagia? Atau justru dirinya akan jatuh dalam tangis tak berkesudahan?Namun dari semuanya, ada satu pertanyaan yang menggantung di kepala. Mysha ingin memastikan perasaannya. Apakah ia masih mencintai Axel seperti dulu?Satu tahun sudah ia berjuang--sangat keras--untuk melupakan eksistensi seorang Axel Delacroix. Menghilangkan semua kepahitan
Mysha terperanjat, tak menyangka jika Axel akan langsung menolak permintaan tulusnya. Bagaimanapun Axel adalah orang yang pernah ia sayangi dan cintai. Tak mungkin ia bisa meninggalkan orang yang pernah begitu berharga dalam hidupnya berjuang seorang diri."Why?" tanya Mysha getir."Aku tak ingin waktu hidupmu dihabiskan untuk merawat dan melihatku menderita." Axel terbatuk lagi. Ia membuang wajah dari iris keemasan yang terpaku menatapnya."Kau pengecut!" ucap Mysha tegas.Ucapannya terbukti mampu membuat Axel kembali berpaling ke arah Mysha."Kau bahkan memilih lari dariku daripada membicarakan masalahmu. Membuatku berkubang dalam kesalahpahaman yang sengaja kauciptakan. Kepura-puraanmu adalah bentuk kepengecutanmu karena kau tidak mau aku melihat kelemahanmu! Egomu yang membuat kita berpisah." Mysha membiarkan kalimatnya menggantung. Ia tak mampu membendung air mata yang tertumpah akibat gumpalan emosi yang begitu menyesakkan dadanya. "
"Baik, Mike. Aku serahkan semua padamu, pastikan pengacara Axel melakukan bagiannya." Mysha berbicara melalui telepon selular sambil terus memperhatikan angka-angka di hadapannya. "Tolong sampaikan kepada orang tua Axel bahwa semua wasiat sudah dipenuhi. Terima kasih." Mysha menutup telepon lalu mematikan laptop lebih cepat dari yang seharusnya, berdiri, dan berjalan menuju ke jendela sambil merenggangkan tubuh. Wanita itu melepaskan kacamata dan memijat pelan keningnya yang penat.Dilihatnya langit senja kota New York dari ketinggian, gedung-gedung menutupi hampir seluruh pandangan, tapi Mysha tetap bisa menikmati keindahan warna merah yang membias. CEO itu menghela napas, sebelum memakai kembali kacamata berbingkai hitam hadiah ulang tahunnya yang ketiga puluh dari William. Dia menutup matanya sejenak mengingat hal-hal yang sudah berlalu.Rasanya masih seperti kemarin ketika dia memeluk tubuh Axel yang mendingin, menjerit histeris meminta pria itu kembali membuka mat
Axel berdiri termangu menatap sebuah pesta pernikahan yang sangat megah. Ia melihat Mysha berdiri dengan anggun dalam balutan gaun putih yang begitu cantik. Pria itu ingin memanggil namanya, tapi suaranya seperti tercekat di tenggorokan.Ketika dirinya mencoba mendekat, hanya kabut gelap yang terus menghalanginya maju. Saat itulah terdengar suara yang berulang di telinganya. Lonceng gerejakah?Perlahan Axel terjaga dari mimpi buruknya.Suara bel membangunkan Axel yang tertidur di sofanya. Pria itu berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya sebelum bangkit berdiri.Sial! Mengapa ia selalu melihat Mysha dalam mimpinya.Wajah tanpa ekspresi itu muncul menghias interkom.William Davis.Untuk apa pria bernetra hijau emerald itu datang ke apartemennya? Apa ia juga ingin menghajarnya seperti yang telah Michael lakukan?Pintu terbuka dengan Axel yang tampak masih terkejut dan mempersilakan William masuk. Tak lama, keduanya sudah duduk saling
"Halo," sapa sebuah suara yang membuat Axel membuka mata.Pria itu memandang keheranan ke arah seorang pemuda yang memakai jubah hitam di hadapannya. Dia memandang sekeliling dan melihat Mysha menangis sambil meneriakkan namanya. Tak lama kemudian dia melihat William, berlari masuk ke dalam kamar perawatan di apartemennya dan memeluk Mysha, berusaha menenangkan wanita itu."Apa yang terjadi?" tanya Axel keheranan. Dia masih berada di kamarnya. Dia ingat, dia sedang berbicara dengan Mysha, lebih tepatnya wanita itu yang bercerita sementara Axel menutup mata karena lelah. Suara lembut wanita itu yang memenuhi indera pendengarannya dan tiba-tiba ketika dia membuka mata dia sudah berdiri berhadapan dengan orang asing. Dia tidak merasa pernah bertemu dengan pemuda itu sebelumnya.Lawan bicaranya tidak langsung membalas. Dia mengangkat bahu. "Apakah kau siap meninggalkan dia?"Pemuda itu menggerakkan kepalanya, menunjuk dengan dagu ke arah Mysha yang sedang men